Masih Gak Jelas, Aprobi Pertanyakan Kapan B40 Bakal Jalan?
CNBCIndonesia.com | Rabu, 16 Desember 2020
Masih Gak Jelas, Aprobi Pertanyakan Kapan B40 Bakal Jalan?
Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) mempertanyakan kapan program biodiesel B40 akan diterapkan pemerintah karena sampai saat ini belum juga ada kepastian dari pemerintah kapan program ini dapat dijalankan. Ketua Aprobi Paulus Tjakrawan menilai perlu adanya ketegasan terkait aturan mandatori biodiesel B40. Pasalnya, lanjutnya, ini berkaitan dengan minat investor yang ingin masuk ke usaha biodiesel. “Perlu sinyal yang tegas dari pemerintah, aturanya seperti apa supaya investasi tidak terhambat, karena sampai saat ini banyak investor yang mau investasi ke biodiesel masih bertanya-tanya soal kelanjutan ini,” ungkapnya dalam Webinar Majalah Sawit Indonesia, Rabu (16/12/2020). Paulus menjelaskan, memang dari awal program mandatori biodiesel ini diterapkan, ditujukan untuk mengurangi impor BBM, termasuk solar dari luar negeri. Tapi, pada tahun ini impor solar nyaris tidak ada. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan bahwa hampir semua solar dan biodiesel sudah diproduksi di dalam negeri. “Masih ada impor sedikit. Sekarang lagi proses untuk alokasi biodiesel di kewenangan saya, lalu di Dirjen Migas sedang disusun alokasi untuk BBM-nya, itu termasuk berapa nanti yang diizinkan untuk impor,” katanya. Dia melihat saat ini ketahanan energi untuk solar sudah hampir 100%. Tapi opsi impor solar ke depannya menurutnya masih akan dikaji apakah masih diperlukan atau tidak. Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto mengatakan peran biodiesel terhadap upaya mengurangi impor pada 2020 bisa menggantikan solar sebanyak 159 ribu barrels oil equivalent per day (boepd). “Dan ini akan meningkat menjadi 210 ribu boepd di 2025, sementara di 2030 mencapai 238 ribu boepd,” jelasnya.
Bisnis.com | Rabu, 16 Desember 2020
Permintaan Biodiesel Turun hingga 14 Persen
Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia memproyeksikan permintaan biodiesel sepanjang tahun ini bakal lebih rendah 14 persen daripada target. Ketua Harian Aprobi Paulus Tjakrawan mengatakan bahwa permintaan biodiesel pada tahun ini mengalami penurunan karena permintaan yang berkurang selama pandemi Covid-19. Adapun, pada tahun ini produksi biodiesel awalnya diproyeksikan mencapai 9,6 juta kiloliter (kl) atau setara dengan 60 juta barel. Per Oktober 2020 total produksi biodiesel telah mencapai 7,19 juta kl, sedangkan konsumsi domestik mencapai 7,01 juta kl. “Sampai akhir tahun ini kira-kira berkurang sekitar maksimum nantinya tidak lebih dari 13 persen—14 persen berkurangnya dari target,” katanya dalam webinar yang digelar pada Rabu (16/12/2020). Produksi biodiesel terendah tercatat pada Juni 2020 dengan realisasi sebesar 648.705 kl diikuti dengan konsumsi terendah sepanjang tahun ini yakni 633.575 kl. Kendati demikian, produksi biodisel mulai berangsur meningkat mulai dari Juli 2020 sebesar 718.469 kl, Agustus 733.126 kl, September 740.295 kl, dan Oktober 722.627 kl. Paulus menjelaskan bahwa saat ini terdapat 19 produsen biodiesel yang berkontribusi terhadap total produksi biodiesel dalam negeri dengan kapasitas terpasang 11,61 juta kl yang berproduksi pada tingkat utilisasi pabrik maksimum 85 persen. Pada tahun ini, kata Paulus, kapasitas pabrik biodiesel hanya mencapai 11,61 juta kl per tahun. Pandemi Covid-19 turut menahan investasi untuk meningkatkan kapasitas produksi sebesar 3,4 juta kl per tahun. “Ini diundur jadi tahun depan, jadi tahun depan akan ada tambahan produksi sebesar 3,9 juta kl per tahun sampai dengan akhir tahun depan,” ungkapnya.
BERITA BIOFUEL
CNBCIndonesia.com | Rabu, 16 Desember 2020
Harga Gak Stabil, Gimana Nasib Kelanjutan Program Biodiesel?
Pemerintah mengatakan butuh kestabilan harga biodiesel agar program pengembangan biodiesel mulai dari B30 dan seterusnya dapat terus berlanjut ke depannya. Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana. Dia mengatakan, ketidakstabilan harga terjadi pada kondisi pandemi Covid-19 saat ini, sehingga kondisi ini cukup menyulitkan. “Bicara prinsip yang lebih makro, kita harus pastikan harga biodiesel ini stabil dan terkendali karena di sektor energi ini yang dibutuhkan adalah kestabilan,” katanya dalam diskusi ‘Masa Depan Biodiesel Indonesia: Bincang Pakar Multi Perpspektif’ yang ditayangkan dalam kanal YouTube Majalah Sawit Indonesia, Rabu (16/12/2020). Dadan menjelaskan, dalam penentuan alokasi biodiesel ke depan pihaknya harus yakin soal harga biodiesel, sehingga bisa menjamin ketersediaan suplai dan menjaga kualitas biodiesel dengan baik. “Proses produksi harus makin efisien, biaya konversi juga harus semakin efisien sebagai gambaran agar industri kita semakin maju dan berkelanjutan,” katanya. Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional Djoko Siswanto mengatakan, pada tahun ini harga keekonomian biodiesel menjadi terganggu akibat adanya pandemi Covid-19. Harga CPO tinggi, sedangkan harga solar rendah, khususnya harga Fatty Acid Methyl Esters (FAME) lebih tinggi dibandingkan harga solar, sehingga subsidi yang dibutuhkan untuk menutup selisih kedua harga komoditas tersebut meningkat. “Sehingga dana iuran ekspor yang terkumpul kurang lebih Rp 26 triliun sudah habis sejak Agustus. Ini kita sedang pusing gimana supaya semuanya jalan, B30 jalan semuanya jalan, ini kita pusing gimana caranya selisih harga dibiayai. Kita sudah minta APBN juga, kita juga memikirkan menaikkan iuran ekspor, tapi tantangan tidak mudah,” katanya. Bila ini terus terjadi, maka menurutnya produsen bisa kesulitan untuk memenuhi kebutuhan biodiesel. Untuk ketersediaannya, dia meminta agar dana iuran ekspor sawit dinaikkan. Selain itu, dia juga meminta insentif dari program BPDPKS yang bersumber dari dana pungutan ekspor produsen CPO. “Kita minta ada kenaikan dana iuran ekspor, tentu beberapa pihak akan keberatan,” katanya. Seperti diketahui, pemerintah telah kembali mengubah besaran tarif pungutan ekspor minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/ CPO) menjadi disesuaikan berdasarkan batasan lapisan nilai harga CPO yang mengacu pada harga referensi yang ditetapkan Menteri Perdagangan. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No.191/PMK.05/2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan No.57/PMK.05/2020 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Pada Kementerian Keuangan. Peraturan ini mulai berlaku setelah tujuh hari sejak diundangkannya peraturan ini pada 3 Desember 2020. Ini artinya, tarif ekspor baru ini berlaku pada Kamis, 10 Desember 2020.
Dalam peraturan baru ini, tarif pungutan ekspor untuk minyak kelapa sawit (CPO) minimal sebesar US$ 55 per ton dan paling tinggi US$ 255 per ton. Tarif pungutan US$ 55 per ton dengan asumsi harga CPO berada di bawah atau sama dengan US$ 670 per ton. Untuk harga CPO di atas US$ 670 per ton sampai dengan US$ 695 per ton, maka tarif pungutan ekspor naik sebesar US$ 5 per ton menjadi US$ 60 per ton. Namun, bila harga CPO di atas US$ 695 per ton sampai dengan US$ 720 per ton, maka tarif pungutan naik lagi sebesar US$ 15 per ton menjadi US$ 75 per ton. Begitu pun bila harga CPO di atas US$ 720 per ton sampai US$ 745 per ton, pungutan akan naik menjadi US$ 90 per ton. Dan seterusnya, setiap harga CPO naik US$ 25 per ton, maka pungutan ekspor akan naik sebesar US$ 15 per ton. Bila harga CPO di atas US$ 995 per ton, maka tarif pungutan ekspor mencapai US$ 255 per ton. Jumlah pungutan yang sama terjadi pada Crude Palm Kernel Oil (CPKO), Crude Palm Olein. Sementara pada peraturan sebelumnya, tarif pungutan ekspor dipatok tetap US$ 55 per ton tanpa membedakan harga referensi minyak sawit. Sedangkan untuk pungutan ekspor biodiesel dipatok minimal US$ 25 per ton dan paling tinggi US$ 192,5 per ton. Tarif pungutan ekspor biodiesel sebesar US$ 25 per ton dengan asumsi harga CPO di bawah atau sama dengan US$ 670 per ton. Lalu naik menjadi US$ 30 per ton bila harga CPO di atas US$ 670 per ton sampai US$ 695 per ton.
Bisnis.com | Kamis, 17 Desember 2020
Pelaku Industri Alat Berat Minta Kepastian Regulasi Program B40
Pelaku industri alat berat dan otomotif meminta kepastian pemerintah terkait dengan program biodiesel 40 persen atau B40. Peta jalan yang jelas dinantikan industri tersebut agar mereka bisa menyesuaikan pengembangan spesifikasi yang sesuai. Sekretaris Gabungan Kepala Kompartemen Teknik Lingkungan dan Gabungan Industri Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Abdul Rochim mengatakan bahwa pihaknya mengusulkan agar pemerintah segera menetapkan peta jalan pengembangan B40. Hal tersebut dinilai dapat memberi kepastian kepada industri terkait dengan arah pengembangannya. “Usulan kami penetapan peraturan atau roadmap B40, B50 itu terlebih dahulu harus ditetapkan agar kami semua ada kepastian bagi industri untuk mempersiapkannya termasuk speknya kapan mulainya,” katanya dalam webinar yang digelar pada Rabu (16/12/2020). Abdul menambahkan bahwa tahapan studi dan evaluasi B40 sebaiknya mengikuti program pengembangan biodiesel sebelumya dan dikonfirmasi melalui tes jalan. Di samping itu, implementasi peraturan sebaiknya diberikan waktu yang cukup untuk industri. “Industri melakukan penyesuaian karena ada komponen yang berdampak langsung dengan bahan bakar at least berdasarkan roadmap sebelumnya minimal 3 tahun setelah ditetapkan regulasi itu baru kita bisa implementasi,” kata Abdul. Sementara itu, Komisi Teknis Himpunan Industri Alat Berat Indonesia Fahmi meminta agar pemerintah untuk memberi peta jalan yang jelas agar memiliki waktu untuk penyesuaian produk. Selain itu, pihaknya meminta supaya pemerintah memberi kejelasan campuran yang digunakan dalam B40 nantinya. Dia mengusulkan campuran yang digunakan memiliki tingkat kestabilan yang tinggi atau setara dengan B30. “Ketika ditetapkan sampai waktu implmentasi mungkin butuh waktu 2 tahun untuk penyesuaian produk,” ungkapnya.
CNBCIndonesia.com | Rabu, 16 Desember 2020
10 Tahun Mendatang, RI Targetkan Biofuel Gak Cuma dari CPO!
Pemerintah menargetkan bahan baku bahan bakar nabati (BBN/ biofuel) dalam 10 tahun mendatang tidak hanya mengandalkan dari minyak sawit (Crude Palm Oil/ CPO), tapi juga bisa dari limbah maupun turunannya seperti gliserin. Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana dalam diskusi ‘Masa Depan Biodiesel Indonesia: Bincang Pakar Multi Perpspektif’ yang ditayangkan dalam kanal YouTube Majalah Sawit Indonesia, Rabu (16/12/2020). “Bicara 10 tahun ke depan, kita tidak membatasi sawit adalah biodiesel, menurut saya perluas tidak hanya CPO. Bahwa kita harus mulai memastikan dari hal yang meningkatkan nilai tambah secara konsolidasi, baik dari limbah maupun produknya seperti gliserin,” tuturnya dalam acara diskusi tentang biodiesel tersebut. Selain itu, lanjutnya, dia juga mengatakan kini sudah banyak wacana dan proposal ke pemerintah untuk membangun industri penunjang seperti methanol yang berbasis batu bara maupun gas melalui proses gasifikasi, serta katalis dan lainnya untuk mendukung produksi biodiesel atau bahan bakar minyak berbasis sawit. “Pemanfaatan produk dan limbah kelapa sawit sebagai sumber energi akan berkontribusi pada pencapaian target bauran energi terbarukan serta meningkatkan ketahanan energi yang berbasiskan sumber daya dalam negeri,” tuturnya. Dia menyebutkan target biofuel ke depan tidak terbatas untuk biodiesel, tapi juga untuk green gasoline dan bio-avtur, lalu tidak terbatas pada pengusahaan skala besar, melainkan didorong pada pengusahaan berbasis kerakyatan. Begitu pun dengan spesifikasi menyesuaikan dengan kebutuhan konsumen. “Ke depan, diharapkan pemanfaatan hasil sawit non-CPO,” ujarnya. Namun demikian, dia mengakui, saat ini pemerintah tengah mempersiapkan pengembangan biodiesel tidak hanya pada program B30, namun juga di atas itu seperti B40 dan seterusnya. Ada 10 hal yang perlu disiapkan untuk mengembangkan program B30 ke atas tersebut, antara lain:
1. Menyusun Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk spesifikasi biodiesel, green fuels hingga katalisnya
2. Kajian teknis dan tekno ekonomi
3. Mempersiapkan kebijakan pendukung
4. Mempersiapkan insentif
5. Mempersiapkan Road Test (tes jalan) kendaraan
6. Memastikan kesiapan badan usaha BBN
7. Memastikan tata cara penanganan dan penyimpanan biodiesel (B100)
8. Memastikan kesiapan infrastruktur
9. Program Strategis Nasional
10. Sosialisasi secara massif
Liputan6.com | Rabu, 16 Desember 2020
Pengembangan Biodiesel Bisa Jadi Energi Baru
Energi baru menjadi hal saat ini sedang dilakukan. Pengembangan biodiesel menjadi salah satu program percepatan pengembangan energi baru terbarukan yang tengah diupayakan oleh Pemerintah. Capaian tahun 2019, biodiesel memberikan kontribusi yang besar sekitar 30% dari total capaian bauran EBT. Meski banyak tantangan dalam pelaksanaan mandatori B30 pada masa pandemi Covid-19 saat ini, Pemerintah tetap berkomitmen untuk terus melaksanakan pengembangan B30, yang menjadi bagian dari upaya substitusi energi primer/final dengan tetap menggunakan teknologi yang sudah ada. “Dari capaian yang ada, bisa kita lihat peran biodiesel sangat besar, untuk mengejar target 23% di 2025 memang kita berupaya untuk bisa mendorong ataupun melakukan akselerasi agar target yang sudah kita tetapkan bisa kita capai. Dimasa pandemi ini, dari upaya-upaya yang sudah kita lakukan maka subsitusi energi itulah yang paling mudah, murah dan cepat untuk dilaksanakan,” tutur Direktur Bioenergi, Andriah Feby Misna dalam Webinar “Keberlanjutan Program B30 Tahun 2021 yang berlangsung hari ini (Kamis, 10/12). Selain pengembangan biodiesel, Pemerintah juga tengah berupaya melaksanakan susbstitusi energi primer melalui cofiring biomassa pada PLTU dengan target produksi listrik sebesar 0,76 juta SBM. Untuk pelaksanaan program B30 tahun ini, Feby mengungkapkan adanya beberapa tantangan seperti terhambatnya beberapa kegiatan komisioning di industri yang sedang melakukan ekspansi. Oleh karenanya, Pemerintah menetapkan beberapa kebijakan antisipatif yang bersifat dinamis terkait perencanaan alokasi pengadaan dan kebutuhan insentif untuk menyesuaikan perubahan yang mungkin terjadi. Sementara itu, terkait rencana pengembangan B30, Feby menuturkan bahwa saat ini Direktorat Jenderal EBTKE sedang melakukan persiapan pelaksanaan mandatori B40 sebagaimana arahan Presiden, meski terdapat beberapa tantangan dalam upaya pengembangan tersebut. “Kita saat ini sedang melakukan persiapan. Berdasar arahan dari Presiden diharapkan di tahun 2021 sudah B40, jadi kita sudah melakukan persiapan dari tahun 2020 kemarin. Kita akui, ada beberapa tantangan yang dihadapi yang datangnya dari aspek teknologi, teknis, finansial, feedstock, dan inftrastruktur pendukung,” ujar Feby.
Adapun berbagai upaya yang perlu dilakukan untuk penerapan B40 dan B50 antaralain meningkatkan kapasitas produksi Badan Usaha (BU) BBN, memperbaiki spesifikasi biodiesel, memperhatikan ketersediaan dana insenstif, meningkatkan sarana dan prasarana BU BBM dan melaksanakan uji jalan untuk seluruh sektor pengguna. Lebih lanjut, Feby menjelaskan beberapa upaya persiapan yang telah dilaksanakan menuju implementasi program B40. Upaya itu antaralain melakukan kajian teknis dan keekonomian dimana dari hasil kajian tersebut akan dilakukan revisi SNI biodiesel untuk spesifikasi yang akan digunakan untuk B40 ataupun B50, serta penyusunan SNI greenfuel karena petani saat ini sudah dapat menghasilkan greenfuel D100 dan dapat menjadi opsi untuk campuran B40 ataupun B50. Selain itu, Ditjen EBTKE juga telah menyiapkan kebijakan pendukung untuk memastikan pelaksanaan program berjalan dengan baik seperti kebijakan insentif. Berikutnya, akan dilakukan kajian terkait perlu tidaknya roadtest dan memastikan kesiapan BU BBN khususnya sisi kapasitas produksi maupun dari sisi spesifikasi produk yang dihasilakan ketika digunakan untuk pencampuran. “B30 ke B40 artinya semakin besar volume dari biodiesel yang akan dikirimkan kemudian juga distribusinya dan bagaimana untuk lingkungannya, ini juga harus disiapkan dari sekarang. Untuk program bio-refinery ini juga kita masukkan kedalam program strategis nasional. Kita juga mendorong kedepan nantinya bioenergi berjalan dengan baik. Upaya yang lain, akan ada sosialisasi secara masif sehingga program ini benar-benar menjadi program kita bersama dan diterima oleh seluruh masyarakat,” tandas Feby. Peran Bahan Bakar Nabati atau dalam hal ini Biodiesel cukup besar dalam pencapaian EBT, 2% dari Biodiesel. Dengan pencampuran B30 mungkin nanti jauh lebih besar lagi, apalagi jika bisa B40 dan seterusnya. Manfaat yang didapat dari program BBN cukup besar juga berdampak pada penghematan devisa dengan mengurangi impor.
Liputan6.com | Rabu, 16 Desember 2020
Progres Program Pemerintah Wujudkan BBM Ramah Lingkungan
Situasi pandemi tak menyurutkan pemerintah untuk menyukseskan program-program strategis dan penting bagi keberlanjutan lingkungan. Melalui Kementerian ESDM, pemerintah berkomitmen mewujudkan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) yang ramah lingkungan. Sejumlah langkah telah dilakukan untuk meningkatkan pemanfaatan BBM ramah lingkungan yang berdampak besar mengurangi emisi gas rumah kaca serta mendukung kesehatan masyarakat tersebut. Pelaksana Tugas Direktur Teknik dan Lingkungan Migas Mustafid Gunawan dalam webinar yang diselenggarakan YLKI, Jumat (11/12), memaparkan, progres komitmen Pemerintah mewujudkan BBM ramah lingkungan, antara lain melalui kilang Pertamina di Plaju dan Cilacap yang sedang dalam tahap penelitian untuk memproduksi green gasoline yaitu bensin yang dihasilkan dari campuran crude oil dan minyak kelapa sawit (85:15) sebagai bahan bakunya.
Green Diesel
Selain itu, Pertamina juga sedang melakukan uji coba membuat Green Diesel dari 100% tanpa fossil fuel. BBM ini menggunakan bahan baku kelapa sawit dengan spesifikasi setara solar yang bersumber dari fosil, bahkan dengan kualitas yang lebih baik yakni cetane number yang lebih tinggi dan sulfur yang jauh lebih rendah. Inovasi ini menggunakan katalis merah putih, yaitu katalis inovasi para ahli katalis Indonesia yang diproduksi sendiri di Indonesia. Kilang Plaju ditargetkan beroperasi pada tahun 2025 dan Dumai pada tahun 2026. “Selanjutnya, program mandatori pencampuran 30% biodiesel (FAME) ke BBM solar yang telah dimulai sejak Januari 2020. Program ini merupakan kelanjutan dari Program B20 yang telah diterapkan sebelumnya dalam rangka menghemat devisa negara, memberdayakan para petani kelapa sawit dalam negeri dan mengurangi penggunaan BBM jenis solar yang berasal dari fosil,” papar Mustafid.
Potensi B40
Progres lainnya adalah potensi penggunaan B40 pada tahun 2021 sesuai arahan dari Presiden Joko Widodo. “Saat ini masih dalam tahap penelitian dan kajian baik dari aspek teknis, lingkungan dan keekonomian,” tambahnya.
Bioethanol
Terakhir, program pencampuran bioethanol sebesar 2% ke BBM jenis bensin dalam rangka peningkatan penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT). Namun saat ini masih ada beberapa kendala tertutama dari aspek keekonomian. Dalam rangka mendukung implementasi BBM ramah lingkungan, untuk solar CN 51, Kementerian ESDM telah menerbitkan SK Dirjen Migas No. 0234.K Tahun 2019 di mana untuk kandungan sulfur CN 51 telah sesuai dengan ketentuan Permen LHK No. 20 Tahun 2017 yakni kandungan sulfur maksimal 50 ppm pada April 2021. Sedangkan untuk CN 48, rencananya akan diterbitkan SK Dirjen untuk menurunkan batasan kandungan maksimal sulfur dari 2500 menjadi 2000 ppm pada tahun 2021 dan dari 2000 menjadi 500 ppm pada 2024 dan 500 ppm menjadi 50 ppm pada 2026. Dalam kesempatan tersebut Mustafid mengingatkan, kebijakan mengenai BBM bukan hanya urusan Kementerian ESDM semata, melainkan keputusan bersama. Hingga saat ini, RON dengan nilai oktan rendah memang masih beredar di masyarakat, ini tentunya dengan berbagai pertimbangan. “Kami sangat mengapresiasi dan mengajak masyarakat yang berkemampuan untuk beralih menggunakan BBM yang lebih ramah lingkungan di kendaraannya,” ujar Mustafid.
Kontan.co.id | Rabu, 16 Desember 2020
Harga CPO jadi tantangan pengembangan biodiesel
Upaya pengembangan biodiesel di Indonesia kini menemui tantangan harga komoditas Crude Palm Oil (CPO) yang masih meroket. Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Andriah Feby Misna mengungkapkan jika merujuk regulasi yang ada yakni Permen ESDM Nomor 12/2005 maka pengembangan biodiesel hingga 2025 mendatang masih akan berkutat di B30. “Ini yang memang ke depan kita akan coba lihat kapan akan masuk ke B40, walaupun dari Presiden harapannya dari smester 2 2020 bisa naik ke B40 dan 2021 naik ke B50,” ujar Feby dalam diskusi virtual, Rabu (16/12). Feby mengakui dampak pandemi covid-19 membuat rencana pengembangan B40 menemui sejumlah kendala antara lain turunnya demand, penurunan harga minyak serta harga CPO yang terjaga dengan baik. Hal ini diakui membuat terjadinya disparitas harga antara solar dan biodiesel. “Memang kita saat ini agak kewalahan di insentif sehingga 2021 ini tetap dengan B30,” kata Feby. Kendati demikian, ia memastikan saat ini pihaknya tetap melakukan kajian untuk pengembangan B40. Kementerian ESDM menargetkan pada akhir tahun 2020 atau awal tahun depan sudah ada kajian teknis dan ekonomi yang dapat diperoleh. Feby menjelaskan dengan target bauran EBT sebesar 23% pada 2025 mendatang, realisasi 2019 baru mencapai 10,9%. Dari capaian tersebut, 7,16% berasal dari Pembangkit listrik EBT sementara dari Bahan Bakar Nabati sebesar 3,74%.
Bisnis.com | Rabu, 16 Desember 2020
Program B40 Diupayakan Dilanjutkan Kembali pada 2022
Program biodiesel 40 persen atau B40 tengah diupayakan untuk bisa berlanjut pada 2022 setelah mundur dari rencana awal yakni pada 2021. Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Andriah Feby Misna mengatakan bahwa pengembangan B40 harus terhambat karena adanya pandemi Covid-19. Sejumlah persiapan dan kajian untuk B40 turut terdampak oleh pandemi. Di samping itu, pandemi Covid-19 telah menyebabkan harga minyak dunia melemah, tapi di sisi lain harga crude palm oil (CPO) tetap bertengger di harga yang tinggi. Kondisi itu membuat selisih harga biodiesel yang perlu ditanggung oleh insentif semakin besar sehingga membuat implementasi B40 semakin tidak memungkinkan. “Kita tetap dengan B30 untuk saat ini, kami dari kementerian dengan pihak lain memastikan program ini berjalan baik, kita sedang melakukan kajian [B40] untuk bisa masuk di tahun berikutnya,” katanya dalam webinar yang digelar pada Rabu (16/12/2020). Dia menuturkan bahwa untuk 2020 serapan B30 semula ditargetkan bisa mencapai 9,3 juta kiloliter (kl). Namun, dengan adanya pandemi terjadi penyesuaian target serapan pada tahun ini sekitar 8,4 juta kl—8,5 juta kl. Kondisi terberat yang dihadapi pada tahun ini, kata dia, program biodiesel sangat didukung oleh insentif yang bersumber dari pungutan ekspor dari produk CPO dan turunannya. Namun, karena selisih harga CPO dan solar yang terpaut jauh membuat kondisi jadi berat. “Selain itu permasalah utama pada 2020 kalau kita melihat implementasi B30 kita punya masalah selain spesifikasi dan juga penyalurannya,” ungkapnya.
Bisnis.com | Rabu, 16 Desember 2020
Kajian Teknis B40 Rampung Januari 2021
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyebutkan bahwa kajian teknis dan tekno ekonomi program biodiesel 40 persen atau B40 akan rampung dalam waktu dekat. Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Andriah Feby Misna menjelaskan bahwa kendati penerapan program B40 tidak bisa diimplementasikan pada tahun depan, tapi pihaknya telah memulai kajian-kajian sejak tahun ini. Kementerian ESDM bersama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi Lemigas dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tengah mengkaji campuran yang dibutuhkan untuk B40. Pada saat ini tengah diuji campuran FAME (fatty acid methyl ester) D100 untuk nantinya digunakan pada B40. “Kajiannya masih sedikit delay, mudah-mudahan akhir tahun ini atau awal Januari [2021] kita bisa dapat kajian teknis dan juga tekno ekonomi untuk penerapan B40,” katanya dalam sebuah webinar yang digelar pada Rabu (16/12/2020). Andriah menjelaskan bahwa kajian teknis tersebut nantinya digunakan sebagai salah satu masukan untuk perubahan regulasi penerapan program B40. Selain itu, kajian teknis bakal digunakan untuk penyempurnaan spesifikasi bahan bakar biodiesel itu. Menurutnya, setiap peningkatan campuran biodiesel, Kementerian ESDM bakal melakukan penyempurnaan-penyempurnaan agar nantinya bisa sukses diuji coba dan digunakan masyarakat. “Memang target kita bagaimana membuat bahan bakar itu benar-benar comply dengan engine dan benar-benar bisa dekat dengan karakteristik solar,” jelasnya.
Medcom.id | Rabu, 16 Desember 2020
Pemkab Musi Banyuasin Ajak Investor Olah Sawit Jadi Bensin Ramah Lingkungan
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Musi Banyuasin, Sumatra Selatan, mengundang investor untuk menggarap peluang bisnis pengolahan minyak sawit menjadi bensin atau bahan bakar ramah lingkungan. Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex di Sekayu mengatakan sejauh ini Pemkab Muba sudah melakukan uji coba pembuatan campuran bahan bakar minyak dengan minyak sawit tersebut untuk skala industri, yakni membuat vegetable (IVO) dari crude palm oil (CPO). “Ini suatu peluang investasi dan kami mengundang investor untuk memanfaatkan kesempatan ini karena Muba memiliki bahan bakunya,” kata dia, dilansir dari Antara, Rabu, 16 Desember 2020. Pada awal 2021, IVO asal Muba ini akan disuplai ke Pertamina. Sedangkan standalone mini refinery yakni pabrik yang memproduksi IVO ini hingga menghasilkan biohidrokarbon akan dilakukan groundbreaking-nya pada tahun ini juga. Pada 2024, Muba berharap bisa menghasilkan biohidrokarbon atau langsung menjadi bahan bakar bensin sawit, Delta 100 (D100) hingga avtur dengan kualitas masing-masing lebih tinggi dari bahan bakar biofosil. Melalui teknologi ini, petani tidak hanya menjual tandan buah segar (TBS) saja namun dapat nilai tambah dari penjualan pengolahan pabrik IVO maupun CPO. “Goal-nya, pekebun sawit dapat memproduksi sendiri bahan bakar berbasis kelapa sawit,” kata dia. Namun, peningkatan kuantitas dan kualitas produksi harus diimbangi dengan penyerapan hasil produksi. Saat ini tim yang terdiri dari Disbun Muba, ahli ITB dan BSS sedang fokus agar unit pengolah IVO ini berjalan dengan lancar. IVO/Industrial Lauretic Oil (IVO/ILO) yang dikerjakan di Muba ini spesifikasinya memenuhi technical requirement katalis merah putih dengan biaya produksi lebih ekonomis. Menurut salah satu tim ITB yang saat ini bekerja di lapangan katalis di Sungai Lilin produk akhir nantinya akan disesuaikan dengan SNI untuk produk IVO/ILO sebagai bahan baku industri green fuel dengan kode SNI 8875:2020 minyak nabati untuk produksi biohidrokarbon. Dodi meyakini pendirian standalone mini refinery yang berada dalam satu entitas perkebunan sawit akan memastikan adanya kecukupan suplai baik dari kualitas maupun kuantitas.
Plt Kepala Dinas Perkebunan Muba, Akhmad Toyibir, menyebutkan saat ini lahan pekebun kelapa sawit yang siap menyuplai produksi IVO terdapat 12.388 hektare dengan jumlah pekebun 5.311 orang. “Dan sampai 2024 lahan pekebun akan bertambah mencapai 52 ribu hektare dengan jumlah pekebun mencapai 24 ribu pekebun swadaya,” kata Toyibir. Muba nantinya menjadi yang pertama di Indonesia yang melaksanakan kemitraan hilirisasi pabrik sawit antara pekebun, BUMD, dan koperasi. Lembaga ini akan menggandeng seluruh petani swadaya hasil program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Kelembagaan pekebun koperasi sekunder yang terdiri dari gabungan petani primer telah melakukan kesepakatan dengan investor. “Kemitraan ini mendudukkan pekebun sawit rakyat sebagai pemilik saham. Intinya petani tidak mengeluarkan modal dan dalam jangka waktu tertentu justru punya aset,” kata dia. Kepastian masa depan usaha ini menurut Toyibir juga diminati investor karena terjaminnya suplai karena terdapat 4.446 Ha hasil PSR 2017. “Saat ini sudah mencapai lima ribu lebih,” pungkasnya.
Wartaekonomi.co.id | Rabu, 16 Desember 2020
CPO Jadi Penyelamat Ekspor November 2020
Meskipun masih dihadang pandemi Covid-19, ekspor Indonesia tetap menunjukkan kinerja yang positif. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, terjadi kenaikan volume permintaan dan harga komoditas andalan Indonesia, seperti minyak kelapa sawit dan batu bara pada November 2020. Meningkatnya volume ekspor berdampak pada total nilai ekspor periode November yang mencapai US$15,8 miliar (atau sekitar Rp222,8 triliun). Secara m-o-m, nilai tersebut menguat sekitar 6,36 persen dan secara y-o-y mengalami kenaikan yang lebih tinggi yakni mencapai 9,54 persen. Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, “total ekspor pada November 2020 adalah sebesar US$15,28 miliar dan kenaikan terjadi karena ada kenaikan permintaan volume dan didorong kenaikan harga.” Peningkatan ekspor secara y-o-y tersebut didorong oleh kenaikan sektor non-migas sebesar 12,41 persen, sedangkan sektor migas terkontraksi 26,27 persen pada y-o-y. Pada periode tersebut, BPS mencatat komoditas non-migas yang mengalami peningkatan harga yang cukup tajam yakni minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dan batu bara. Minyak kelapa sawit mencatatkan kenaikan harga sebesar 12,03 persen pada m-o-m dan naik 33,93 persen secara y-o-y. Sementara itu, komoditas batu bara juga mengalami peningkatan harga sebesar 7,57 persen m-o-m, tetapi masih turun 6,22 persen secara y-o-y. Lebih lanjut Suhariyanto mengatakan, nilai ekspor pada November yang mencapai US$15,28 miliar ini merupakan nilai ekspor yang tertinggi selama 2020, bahkan sejak Oktober 2018 yang tercatat sebesar US$15,91 miliar. “Dari angka ini kita bisa lihat pertumbuhan ekspor November 2020 sangat menggembirakan karena naik secara m-o-m maupun y-o-y,” jelasnya. Di sisi lain, BPS mencatat total nilai impor pada November 2020 yakni sebesar US$12,66 miliar (atau sekitar Rp178,5 triliun) yang didorong oleh peningkatan impor non-migas sebesar 19,27 persen pada m-o-m. Namun, secara y-o-y, nilai impor mengalami penurunan sebesar 17,46 persen. Dengan demikian, BPS mencatat neraca perdagangan pada periode tersebut mengalami surplus sebesar US$2,6 miliar (atau sekitar Rp36,67 triliun).
CNBCIndonesia.com | Rabu, 16 Desember 2020
Masuk Kontrak Baru, Harga CPO Melesat 1% Lebih
Harga kontrak futures minyak sawit mentah (CPO) Malaysia untuk pengiriman Maret 2021 di Bursa Malaysia Derivatif Exchange melesat 1% lebih pada perdagangan hari ini, Rabu (16/12/2020). Kemarin merupakan hari terakhir kontrak pengiriman 3 bulan CPO Februari 2021 ditransaksikan. Harganya ditutup drop ke RM 3.446/ton. Kini saatnya kontrak baru pengiriman Maret 2021 yang ditransaksikan. Kontrak pengiriman 3 bulan akan berakhir dan berganti kontrak baru setiap tanggal 15 atau pertengahan bulan. Kini saatnya kontrak Maret yang ditransaksikan. Di hari pertama perdagangan harga CPO naik 1,2% atau bertambah 40 ringgit ke RM 3.395/ton. “Pasar eksternal mendukung harga,” kata seorang pedagang yang berbasis di Kuala Lumpur kepada Reuters. “Fundamental yang mendasari seperti angka ekspor yang baik ditambah dengan pertumbuhan produksi yang negatif juga membantu.” Ekspor produk minyak sawit Malaysia untuk 1-15 Desember naik 9,5% menjadi 725.380 ton dari 662.376 ton yang dikirim selama 1-15 November, kata surveyor kargo Societe Generale de Surveillance pada Selasa malam. Stok akhir minyak sawit Malaysia pada November turun ke level terendah lebih dari tiga tahun karena produksi merosot dan ekspor turun lebih dari yang diharapkan. Menambah sentimen positif adalah kenaikan harga minyak nabati lain. Kontrak minyak kedelai paling aktif Dalian naik 1,9%, sementara kontrak minyak sawitnya naik 1,1%. Harga kedelai di Chicago Board of Trade diperdagangkan 0,2% lebih tinggi.
Kompas | Kamis, 17 Desember 2020
Kualitas biodiesel Dianggap Membuat Boros
Kualitas biodiesel untuk bahan bakar solar B-30 dianggap boros dan membengkakkan biaya operasional kendaraan, khususnya kendaraan alat berat. Sekretaris Gabungan Kepala Kompartemen Teknik Lingkungan dan Industri Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia Abdul Rochim, Rabu (16/12/2020), mengatakan, ada beberapa merek kendaraan yang tidak cocok memakai B-30. Umumnya kendaraan buatan Eropa atau Amerika Serikat Namun, ada juga kendaraan yang cocok (tak masalah) menggunakan B-30. Beberapa perusahaan kendaraan alat berat juga mengeluhkan pemakaian B-30 ini. “Konsumsi bahan bakar minyak lebih boros rata-rata 5 persen saat memakai B-30 dan filter atau penyaring BBM harus lebih sering diganti. Biaya operasional jadi membengkak,” ujarnya dalam seminar web “Program B-30 dan B-4O: Peluang dan Tantangan” di Jakarta