Pajak Karbon Diarahkan Jadi Sumber Pembiayaan Iklim

| News
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Kompas | Kamis, 22 September 2022

Pajak Karbon Diarahkan Jadi Sumber Pembiayaan Iklim

Pemerintah akan menerapkan pajak karbon atas emisi gas rumah kaca dari kegiatan industri yang berdampak negatif bagi lingkungan hidup. Pemanfaatan dana pajak karbon ini harus dapat diawasi dan penggunaannya kembali untuk pembiayaan program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengemukakan, penerapan pajak bagi kegiatan yang tidak ramah lingkungan bertujuan untuk mengubah perilaku perusahaan maupun individu. Dengan kata lain, penerapan pajak karbon ini tidak hanya sebagai instrumen untuk meningkatkan penerimaan negara. – “Mengingat implementasinya masih sangat baru di Indonesia, tarif pajak karbon relatif lebih rendah dari negara-negara lain. Namun, ini masih tarif minimum dan kemungkinan dapat disesuaikan ke depan,” ujar Bhima dalam seminar tentang mitigasi perubahan iklim melalui pajak karbon dan energi terbarukan yang diikuti secara daring, Rabu (21/9/2022). Pokok pengaturan pajak karbon diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Tarif paling rendah pajak karbon yang ditetapkan ialah Rp 30 per kilogram setara karbon dioksida (kg CO2e) atau Rp 30.000 per ton CO2e. Menurut Bhima, semua pihak perlu menyoroti penggunaan dana dari pajak karbon ini agar tidak terjadi kasus seperti di negara lain, misalnya negara di Eropa, khususnya wilayah Skandinavia- Sebab, hasil kajian menunjukkan, 74 persen pemanfaatan dana pajak karbon digunakan untuk belanja yang tidak berkaitan dengan perubahan iklim. Pada Pasal 13 Ayat 11UU No 7/2021, penerimaan dari pajak karbon memang dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim. Namun, Bhima memandang kata dapat di pasal tersebut cenderung multitafsir. Alasannya, pada ayat lain disebutkan penggunaan pajak karbon dilakukan sesuai kebutuhan pemerintah. “Pajak karbon sebagai instrumen untuk pengendalian perubahan iklim secara politis itu sangat baik dan kita harus dukung karena ini merupakan salah satu gebrakan fiskal. Namun, hal yang perlu diawasi adalah uang dari pajak karbon ini harus dipastikan masuk kembali kepada mitigasi perubahan iklim.” ungkapnya. Dana pajak karbon juga bisa digunakan untuk memberikan penghargaan kepada pemerintah daerah yang memiliki kesadaran dalam mengembangkan daerah secara berkelanjutan. Penghargaan ini dapat berupa dana alokasi khusus atau dana insentif daerah.

Transisi energi

Terkait upaya Indonesia dalam melakukan transisi energi, Bhima memastikan hal ini tetap dilakukan meski dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terbatas. Sebab, pada dasarnya biaya transisi energi saat ini sudah murah dibandingkan saat 40-50 tahun lalu. “Salah satu contohnya adalah biaya instalasi untuk solar panel atau pembangkit listrik dari tenaga panas matahari. Biaya ini mengalami penurunan bahkan 300 kali lipat lebih murah dibandingkan 40 tahun yang lalu,” tuturnya. Sekretaris Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sahid Junaidi mengatakan, Indonesia memiliki potensi energi baru terbarukan (EBT) yang besar, tersebar, dan beragam untuk mendukung ketahanan energi nasional sekaligus pen- capaian target bauran EBT. Kementerian ESDM mencatat, porsi EBT dalam bauran energi primer Indonesia pada 2021 sebesar 12,2 persen. Sementara target bauran energi 2025 sebesar 23 persen. Sejumlah program untuk mencapai target itu di antaranya pembangunan pembangkit listrik tenaga energi baru terbarukan (PLTEBT), mandatori B30 (pencampuran 30 persen biodiesel dengan 70 persen minyak solar), eksplorasi panas bumi, elektrifikasi kendaraan, serta penerapan pajak dan perdagangan karbon. Sahid mengakui pengembangan EBT di Indonesia masih menemui sejumlah tantangan. Beberapa tantangan itu meliputi titik potensi EBT tersebar, produk pendukung infrastruktur masih mahal, ketertarikan perbankan untuk berinvestasi masih rendah, dan keterbatasan kemampuan sistem jaringan menyerap listrik dari PLTEBT. Sahid mengatakan, pemerintah telah menyusun strategi untuk percepatan pengembangan EBT. Selain menyele-, saikan kerangka regulasi untuk mendukung investasi dan pendanaan, pemerintah juga terus berkolaborasi dan mendorong aplikasi inovasi teknologi.

Infosawit.com | Rabu, 21 September 2022

Pemerintah Anggarkan Dana Cadangan Kompensasi Energi Rp 127,7 Triliun di 2023

Pemerintah menganggarkan subsidi dan kompensasi energi mencapai Rp 338,7 triliun dalam keputusan sementara Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja pemerintah (RAPBN) tahun  2023. Anggaran tersebut terdiri dari subsidi sebesar Rp 212 triliun, dan cadangan kompensasi energi senilai Rp 127,7 triliun. Anggaran subsidi ini dengan asumsi Indonesia Crude Price (ICP) US$ 90 per barel dan kurs Rp 14.800 per dolar AS. Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara Kementerian Keuangan Made Arya Wijaya mengatakan, alokasi cadangan kompensasi energi tersebut sudah menghitung berdasarkan kuota dan harga sesuai dengan asumsi dalam RAPBN 2023, serta memperhitungkan harga jual setelah penyesuaian. Adapun anggaran tersebut sudah memperhitungkan subsidi terbatas minyak solar sebesar Rp 1.000/liter, dan volume BBM jenis solar sebesar 17,0 juta kiloliter. Saat dikonfirmasi Kontan.co.id, Made belum memberikan kepastian terkait berapa volume subsidi BBM jenis Pertalite yang akan disediakan pemerintah. Made juga belum bisa menjawab apakah anggaran tersebut akan cukup atau tidak hingga akhir tahun 2023. “Asumsi jumlah kuota yang disubsidi, volumenya sama dengan volume tahun 2022 baik untuk solar maupun Pertalite,” tutur Made kepada Kontan.co.id, Rabu (21/9). Untuk diketahui, anggaran subsidi dan kompensasi energi tahun ini mencapai Rp 502,4 triliun dihitung berdasarkan rata-rata dari ICP yang bisa mencapai US$ 105 per barel dengan kurs Rp 14.700 per dolar AS. Volume solar yang disediakan pemerintah sebanyak 23 juta kiloliter untuk Pertalite, dan 15,1 juta kiloliter untuk biosolar. Ekonom dari Institute foe Development of Economic and Finance (Indef) Abra Talattov menilai, anggaran kompensasi yang disediakan pemerintah sebesar Rp 127,7 triliun dengan asumsi ICP US$ 90 per barel dan kurs Rp 14.800 per dolar AS bisa memenuhi kebutuhan kompenasi sampai akhir tahun, namun dengan catatan hanya untuk tahun berjalan di 2023 saja. Sebab diperkirakan, asumsi ICP bisa melandai di bawah US$ 90 per barel pada tahun depan. “Melihat terhambatnya ekonomi global tahun depan, kemungkinan harga minyak mentah dunia juga akan menurun, dan produksi minyak mentah dari negara lain akan lebih stabil tahun depan, sehingga harga minyak mentah diprediksi akan melandai tahun depan,” tutur Abra. Meski begitu, Abra tetap menyarankan agar pemerintah mempersiapkan dana untuk mengantisipasi apabila asumsi ICP dan kurs tidak sesuai dengan anggaran yang disediakan. Menurutnya awal tahun depan, akan ada sejumlah risiko lain yang menyebabkan harga minyak mentah dunia tembus di atas US$ 100 per barel seperti yang terjadi pada tahun ini. “Sebelumnya di awal tahun kita ga memperkirakan harga minyak mentah bisa di atas US$ 100 per barel karena adanya perang Rusia dan Ukraina. Sehingga pemeirntah perlu menyediakan anggaran penyangga untuk menjaga-jaga kalau nanti harga minyak dan risiko nilai tukar rupiah melemah lebih dari Rp 15.000 per dollar AS,” tambahnya. Sementara itu, Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto menyampaikan, jika kebijakan subsidi dan kompenasi tahun depan tidak dibatasi maka akan sulit dikendalikan. “Akan lebih baik jika misal dipatok subsidi Rp 2000 per liter, kalo harga minyak naik tinggi ya harga BBM ikut naik,” kata dia. Meski begitu, jika melihat potensi penurunan pertumbuhan ekonomi global di 2023, Eko memperkirakan anggaran kompensasi energi sebesar Rp 127,7 triliun akan cukup dugunakan hingga akhir tahun.

https://nasional.kontan.co.id/news/pemerintah-anggarkan-dana-cadangan-kompensasi-energi-rp-1277-triliun-di-2023