Pastikan Program Biodiesel Berjalan Baik, Begini Strategi ESDM

| Articles
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Pontas.id | Kamis, 7 Januari 2021

Pastikan Program Biodiesel Berjalan Baik, Begini Strategi ESDM

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, menuturkan, program pengembangan bahan bakar nabati (BBN) jenis biodiesel menjadi salah satu program yang dilaksanakan pemerintah guna menggenjot capaian bauran EBT menuju 23% pada tahun 2023. Sejak diluncurkan pemanfaatannya pada tahun 2008, kata Dadan, program pemanfaatan biodiesel secara nasional terus berkembang dengan baik, baik dari segi volume, campuran, ataupun jumlah perusahaan yang terlibat dalam bidang ini. “Dari sisi angka, merefresh setiap tahun selalu disampaikan bahwa program pemanfaatan biodiesel  diawali sekitar tahun 2008 dengan menyusun Permen kemudian berlanjut dengan pemanfaatan-pemanfaatannya. Jadi kalau dilihat pada grafik, angkanya ini kan positif, dalam artian angkanya naik terus. Jadi program ini berkembang, berjalan dan terimplementasikan dengan baik. Apakah itu dalam bentuk volume, campuran, atau jumlah perusahaan yang terlibat dalam bidang ini,” tutur Dadan, dalam pernyataannya, Kamis (7/1/2021). Kementerian ESDM mencatat bahwa mulai bulan September 2018 diberlakukan perluasan insentif biodiesel ke seluruh sektor (PSO dan Non PSO) dan pada tahun 2019 terjadi implementasi B20 secara menyeluruh, sehingga terdapat kenaikan realisasi volume biodiesel pada sektor domestik secara signifikan. Dengan perhitungan sekarang ini, lanjut Dadan, BBN memang memberikan kontribusi yang cukup signifikan pada konsumsi energi nasional yang hingga saat ini masih didominasi oleh energi fosil dan dimungkinkan dapat memberikan kontribusi 15% pada penurunan gas rumah kaca di sektor energi tahun 2030. Sementara itu, realisasi distribusi biodiesel tahun 2020 diproyeksikan terjadi penurunan penyerapan akibat pandemi covid-19, sesuai dengan penurunan konsumsi solar. Meski demikian, Dadan meyakini angka capaian realisasi tahun ini dapat 100% karena kewajiban pemanfaatan B30 sudah diimplementasikan secara menyeluruh pada sektor transportasi PSO dan Non PSO. “Jadi, kalau untuk tahun 2020 realisasi nya 8,26 juta ton atau 89,2%, menurut saya angka ini sebetulnya 100%  karena per sekarang tidak ada yang tidak menggunakan B30. Tapi kenapa angkanya 8,26, kita hitung saja angka solarnya konsumsinya berapa. Kesuksesan biodisel bukan kesuksesan dari volume nya, tapi kesuksesan bagaimana memastikan semua solar yang ada di dalam negeri dicampur 30%,” tandasnya.

Lebih lanjut, Dadan mengungkapkan, strategi pemerintah untuk memastikan program B30 berjalan dengan sesuai dengan target, pihaknya akan melakukan monev secara ketat, fasilitasi debottlenecking di lapangan, peningkatan infrastruktur penunjang, dan memastikan sustainability dari insentif. Secara umum, Dadan mengatakan bahwa pelaksanaan B30 dapat berjalan dengan baik meski ada keluhan pada sisi keteknikan pemanfaatannya. Pihaknya akan terus berkoordinasikan dengan pemangku kepentingan terkait guna memastikan kualitas perbaikan dari aspek standar biodiesel. “Once, kita sepakat untuk menaikkan campuran, dari B10 sampai B30, kita harus bisa memastikan kualitasnya lebih baik. Kementerian ESDM tidak akan mau bahwa biodiesel menjadi “pengotor”, jadi harus lebih baik daripada solarnya. Jangan sampai biodiesel ini memanfaatkan kualitas solar yang semakin baik, terus biodieselnya tersembunyi dari sisi aspek keteknikannya. Saat ini, kami sedang berbicara dengan Aprobi untuk sama-sama memastikan bahwa hal tersebut tidak terjadi nantinya,” tegasnya. Selain itu, pemerintah melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 252.K/10/MEM/2020 telah menetapkan Badan Usaha BBM dan BBN Jenis Biodiesel serta alokasi besaran volume untuk pencampuran BBM jenis minyak solar yaitu sebesar 9,2  Juta kL periode Januari-Desember 2021. “Kementerian ESDM juga tengah mengkaji supaya terjadi suistainability dari sisi produsen biodiesel dalam arti keekonomiannya tetap bagus dan penggunaan tetap baik. Kami sedang mengkaji untuk moratorium izin BBN, kalau kita sudah cukup misalkan dengan angka yang nanti disepakati saya akan diskusi dengan Aprobi,” imbuh Dadan. Selain memastikan implementasi program B30 berjalan dengan baik, pemerintah juga tengah mempersiapkan implementasi B40 dengan melakukan kajian teknis komposisi campuran untuk B40, kajian ekonomi terkait kesiapan feedstock dan infrastruktur pendukung, melakukan uji jalan untuk campuran B40 dan kajian peluang penerapan B40 di PLTD eksisting. “Kita akan terus mendorong untuk program green fuel, menaikkan penggunaan sawit dengan jalur yang lain, memanfaatkan supaya tidak ada isu lagi dari sisi spek untuk biodiesel atau disisi ini yang paling penting yang ditargetkan oleh ESDM adalah memanfaatkan sawit untuk subsitusi juga ke gasoline,” pungkas Dadan.

BERITA BIOFUEL

CNBCIndonesia.com | Kamis, 7 Januari 2021

Impor BBM 2019 24 Juta KL, Sebelum 2030 RI Mau Bebas Impor

Indonesia masih bergantung pada impor dalam memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak (BBM). Pada 2019, Indonesia mengimpor sekitar 24 juta kilo liter (kl) BBM, baik bensin dan solar. Kini, pemerintah pun berupaya untuk terus mengurangi impor BBM, bahkan sebelum 2030 diharapkan telah bebas dari jeratan impor BBM. Hal tersebut diungkapkan Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana dalam diskusi terkait ‘Peluang dan Tantangan Substitusi BBM di Sektor Transportasi’, Kamis (07/01/2021). Dadan mengatakan, pada 2019 Indonesia masih impor bensin 19 juta kl, sementara konsumsinya 35 juta kl. Lalu untuk solar, impornya sebesar 3,9 juta kl, sementara konsumsinya 29 juta kl. Sementara Avtur menurutnya kebutuhan impor semakin tipis yakni dari kebutuhan 5 juta kl, impornya hanya 280 ribu kl. “Jadi, impornya sudah kebanyakan. Sekarang kita upaya cari alternatif untuk BBM jenis bensin ini, tapi hampir tidak ada kemajuan yang berarti,” ungkapnya dalam dalam Webinar Peluang dan Tantangan Substitusi BBM di Sektor Transportasi, Kamis (07/01/2021). Menurut Dadan, pemerintah juga telah melakukan berbagai upaya untuk menekan impor BBM, terutama bensin. Bahkan, Kementerian ESDM menurutnya memiliki target sebelum tahun 2030 tidak ada lagi impor bensin. “BBM jenis bensin, sebelum tahun 2030 tidak ada lagi impor bensin,” tegasnya. Dia mengatakan, untuk menekan impor solar telah dilakukan melalui program biodiesel. Namun untuk mengganti BBM jenis bensin, dia mengakui sampai saat ini masih stagnan dan belum ada penggantinya. Dia menyebut sejumlah alternatif yang dilakukan sudah ada, namun komposisinya masih kalah dengan fosil. Beberapa upaya di transportasi darat adalah dengan pemanfaatan bahan bakar gas (BBG) dengan Compressed Natural Gas (CNG). “Transportasi darat memang fokusnya masih bensin dan solar, biodiesel, bioetanol sudah didorong tidak bergerak, ada upaya CNG lalu ada upaya kendaraan motor listrik berbasis baterai,” jelasnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, untuk bahan bakar transportasi udara, sudah mulai ada peningkatan produksi avtur di dalam negeri dan terus didorong untuk penggunaan bioavtur. “Laut juga sama, menurut saya persis base-nya masih ke fosil,” ujarnya. Menurutnya, sudah ada sejumlah kajian alternatif pengganti bensin. Selain mendorong bahan bakar gas, juga dikaji pemanfaatan A20 yakni alkohol 20%, terdiri dari metanol 15% dan etanol 5%. Kementerian ESDM menurutnya saat ini sedang menyusun grand strategi emisi nasional, untuk melakukan transformasi dan transisi penggunaan energi bersih, meningkatkan ketahan energi di dalam negeri, dan kemandirian energi, sekaligus perbaiki aspek lingkungan. “Ini skenario secara makro yang kami susun untuk geser penggunaan BBM karena BBM diimpor dan kedua BBM produksinya terbatas. Ada hal mendasar transformasi di Kementerian ESDM,” jelasnya. Berdasarkan data yang dipaparkan, pada 2030 mendatang ditargetkan sebanyak 440 ribu unit kendaraan darat dan 257 unit kapal menggunakan BBG. Namun untuk peningkatan konsumsi BBG ini menurutnya masih dibutuhkan insentif. Selain itu, Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) ditargetkan mencapai 2 juta unit mobil dan 13 juta unit motor, namun dibutuhkan insentif pembebasan pajak 10 tahun. Dan terakhir, untuk biofuel akan mempertahankan B30 dan mengoptimalkan produksi bahan bakar nabati (BBN)  seperti biodiesel atau biohidrokarbon.

https://www.cnbcindonesia.com/news/20210107114633-4-214133/impor-bbm-2019-24-juta-kl-sebelum-2030-ri-mau-bebas-impor

Wartaekonomi.co.id | Kamis, 7 Januari 2021

Tahun 2021, Permintaan Produk Oleokimia Diproyeksi Terus Meningkat

Hingga saat ini, secara garis besar, kelapa sawit dapat diolah menjadi tiga produk utama: oleopangan (coklat, permen, margarin, minyak goreng, dan lain-lain), oleochemical (sabun, deterjen, hand sanitizer, hand soap, dan sebagainya), serta biofuel (green diesel, green avtur, green gasoline) Di tengah masih masifnya pandemi Covid-19 di Indonesia dan negara-negara dunia, permintaan akan produk-produk oleokimia diperkirakan terus meningkat. Hal tersebut karena produk-produk yang bersangkutan kini telah menjadi kebutuhan primer bagi seluruh masyarakat dunia. Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (Apolin) memproyeksikan, pasar domestik dan ekspor produk oleokimia akan makin positif pada 2021 ini. Sepanjang 2021, volume ekspor akan tumbuh berkisar 17–22 persen sehingga rata-rata volume ekspor oleokimia Indonesia akan berada di kisaran 364–379 ribu ton per bulan. Secara total, volume ekspor oleochemical Indonesia pada tahun 2021 berada di kisaran 4,3–4,6 juta ton. Sementara, permintaan pasar domestik berada pada kisaran 150 ribu ton per bulan dan untuk tahun 2021 akan tumbuh 10–12 persen. Secara total, volume serapan domestik berada pada kisaran 165–168 ribu ton per bulan. Ketua Umum Apolin, Rapolo Hutabarat mengatakan, pada 2021, industri oleokimia akan menghadapi sejumlah tantangan yang berkaitan dengan seberapa cepat pemulihan ekonomi dari negara-negara tujuan ekspor utama produk oleochemical Indonesia, seperti India, Tiongkok, Eropa, Pakistan, dan lain-lain. Jika pemulihan ekonomi negara-negara utama tujuan ekspor tersebut dapat segera pulih, ada harapan yang positif atau permintaan produk oleochemical Indonesia akan tetap tumbuh positif. Lebih lanjut Rapolo mengemukakan, untuk menghadapi tantangan tersebut, dibutuhkan sinergi dengan pemangku kepentingan lain termasuk pemerintah. Dukungan dari pemerintah tersebut berupa konsistensi regulasi baik dari sisi pungutan ekspor, adanya tax holiday dan tax allowance, serta harga gas industri yang sebesar US$6 per MMBTU di halaman industri. Konsistensi berbagai regulasi tersebut akan memberikan kepastian bagi investor untuk menanamkan modalnya di sektor hilir kelapa sawit di Indonesia.

https://www.wartaekonomi.co.id/read321666/tahun-2021-permintaan-produk-oleokimia-diproyeksi-terus-meningkat

CNNIndonesia.com | Jum’at, 8 Januari 2021

Minyak Jelantah Diklaim Bisa Bantu Kebutuhan Biodiesel RI

Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Andriah Feby Misna menegaskan minyak jelantah dapat digunakan untuk memenuhi sebagian dari kebutuhan produksi biodiesel nasional. “Kalau bisa kita kelola dengan baik, minyak jelantah bisa memenuhi sebagian kebutuhan biodiesel nasional,” ujarnya mengutip Antara, Kamis (7/1). Ia mengingatkan Indonesia sebagai salah satu negara pengguna minyak sawit. Pada 2019, penggunaan minyak goreng mencapai 13 juta ton per tahun atau setara 16,2 juta kiloliter per tahun. Dari sana, potensi minyak jelantah mencapai 3 juta kiloliter per tahun. Minyak jelantah atau used cooking oil (UCO) sendiri memiliki berbagai kegunaan. Pengembangan biodiesel berbasis minyak jelantah berpeluang untuk dipasarkan, baik di dalam negeri maupun untuk ekspor. Keuntungannya, biaya produksi lebih hemat 35 persen dibandingkan dengan biodiesel dari minyak nabati yang dihasilkan dari kelapa sawit (CPO). “Tetapi, ini harus dilihat lagi. Karena, kita lihat dari beberapa industri yang ada tidak sustain (berkelanjutan). Ada hal-hal yang memengaruhi biaya operasionalnya,” kata Andriah. Kendati begitu, VP Strategic Planning Refining & Petrochemical PT Kilang Pertamina Internasional Prayitno mengungkapkan masih ada hal yang harus dipikirkan dalam pemanfaatan minyak jelantah. Salah satunya, mengenai pengumpulan minyak jelantah skala industri. “Termasuk logistik dan handling. Tapi, kita bisa benchmark dari perusahaan di luar negeri, bagaimana mereka mengumpulkan minyak jelantah,” jelasnya. Sementara, untuk CPO, masih diperlukan jaminan feedstock dan kebijakan untuk memastikan kelangsungan bisnis bagi perusahaan yang melaksanakan kegiatan terkait. Apabila 1,2 juta kilo biodiesel dari kelapa sawit diganti dengan minyak jelantah yang dikumpulkan dari sektor rumah tangga, maka bisa menghemat sekitar Rp4,2 triliun. Diketahui, pemerintah tengah menggalakkan program Bahan Bakar Nabati (BBN) melalui produksi biodiesel demi ketahanan energi masa depan. Bahan baku pembuatan biodiesel itu berasal dari CPO yang dapat menghasilkan bahan bakar pengganti solar. Oleh karenanya, limbah minyak jelantah yang melimpah dapat dimanfaatkan menjadi berkah sebagai alternatif bahan baku biodiesel.

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210107205740-85-590944/minyak-jelantah-diklaim-bisa-bantu-kebutuhan-biodiesel-ri

Repulika.co.id | Jum’at, 8 Januari 2021

Produksi Biodiesel Tahun Lalu Terserap 8,64 Juta KL

Pada 2020 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat realisasi penyaluran biodiesel mencapai 8,64 juta kiloliter (kl). Dengan adanya pemanfaatan biodesel ini, pada tahun lalu pemerintah bisa menghemat devisa sebesar 2,6 miliar dolar AS. Menteri ESDM, Arifin Tasrif mengatakan pada tahun ini ditargetkan penyerapan biodiesel bisa meningkat. Pemerintah memasang target serapan biodiesel pada tahun ini bisa mencapai 9,20 juta kl. “Mandatori penggunaan biodiesel telah berjalan dengan baik dan berhasil ditingkatkan dari B20 menjadi B30 pada Januari 2020,” ujar Arifin di Kementerian ESDM, Kamis (7/1). Sebelumnya, volume alokasi Bahan Bakar Nabati (BBN) jenis biodiesel ditetapkan sebesar 9,2 juta kl di 2021. Angka itu turun dibandingkan tahun 2020. Besaran tersebut akan digunakan untuk pencampuran biodiesel sebesar 30 persen ke dalam Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar (B30). “Penurunan tersebut disebabkan karena dampak pandemi Covid 19 yang diperkirakan pada tahun 2021 masih berlanjut,” ujar Arifin. Pertimbangan tersebut berkaca dari realisasi penyaluran biodiesel di tahun 2020. Hingga akhir Desember 2020, proyeksi realisasi sebesar 8,5 juta kl atau 88 persen dari target yang ditetapkan sebesar 9,6 juta kl. “Penyebab terjadi penurunan sebesar 12 persen salah satunya adalah adanya pandemi Covid-19 dan terjadinya gagal suplai beberapa Badan Usaha BBN dalam penyaluran biodiesel,” jelasnya.

Terkait penyaluran di tahun 2021, Pemerintah telah menunjuk 20 Badan Usaha (BU) BBM dan BU BBN sebagai pemasok biodiesel. Keputusan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 252.K/10/MEM/2020 yang ditetapkan pada tanggal 18 Desember 2020. Secara tahunan, jumlah pemanfaatan biodiesel terus merangkak naik sejak 2017, setelah sebelumnya mengalami fluktuasi. Pada tahun tersebut, jumlah pemanfaatan biodiesel mencapai 2,57 juta kl, turun dari tahun 2016 yang sebesar 3,01 juta kl. Angka tersebut naik mencapai 3,75 juta kl pada 2018, lalu 6,39 juta kl pada 2019 dan mencapai 8,64 juta kl pada 2020. Ditargetkan pada 2021, jumlah pemanfaaan biodiesel ini bisa mencapai 9,2 juta kl. Arifin juga turut membeberkan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) di sektor ESDM sebesar 64,4 juta ton CO2. Penurunan ini dicapai melalui pemanfaatan EBT sebesar 53 persen, penerapan efisiensi energi 20 persen, penggunaan bahan bakar fosil rendah karbon 12 persen, pemanfaatan teknologi pembangkit bersih 9 persen dan kegiatan reklamasi pasca tambang 4 persen. “Untuk 2021, ditargetkan penurunan emisi ini menjadi 67 juta ton CO2,” ujarnya.

https://republika.co.id/berita/qml874383/produksi-biodiesel-tahun-lalu-terserap-864-juta-kl

Bisnis.com | Kamis, 7 Januari 2021

Koaksi Indonesia Soroti Sejumlah Kesenjangan Implementasi Biodiesel

Organisasi nirlaba Koaksi Indonesia menyoroti masih adanya kesenjangan dalam implementasi penggunaan biodiesel untuk transportasi bersih dan berkelanjutan. Knowledge Management Coordinator Koaksi Indonesia Muhammad Ridwan Arif mengatakan bahwa sejumlah kesenjangan terjadi dari sektor lingkungan dan ekonomi. Dari sektor lingkungan, kesenjangan implementasi yang dimaksud adalah belum adanya standar keberlanjutan pada industri bahan bakar nabati (BBN) dan potensi penambahan luas lahan sawit. “Belum ada standarnya, yang ada baru dari sisi hulu, khususnya bahan baku dari sawit. Tahun 2025 ditargetkan semua kebun sudah tersertifikasi ISPO,” ujarnya dalam diskusi daring, Kamis (7/1/2021). Dia menuturkan bahwa Indonesia memiliki total 14,33 juta hektare lahan perkebunan sawit. Dari jumlah itu, baru 5,45 juta hektare yang sudah tersertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil atau baru 38,03 persen dari total lahan perkebunan sawit, sedangkan dari sisi ekonomi, implementasi biodiesel juga masih terdapat kesenjangan. Salah satunya terkait dengan insentif yang dikucurkan untuk program biodiesel. Menurutnya, biaya yang diperlukan untuk insentif biodiesel selama pandemi semakin membengkak. Hal ini disebabkan harga indeks pasar (HIP) solar mengalami tren penurunan, sedangkan HIP biodiesel mengalami kenaikan. “HIP biodiesel dan HIP solar kalau makin jauh, makin besar subsidi yang diberikan pemerintah. Sejak pandemi kesenjangan makin tinggi sehingga dana APBN makin besar sampai Rp2,78 triliun untuk biodiesel ini tetap jalan. Ini perlu kajian lebih lanjut,” kata Ridwan.

https://ekonomi.bisnis.com/read/20210107/44/1339883/koaksi-indonesia-soroti-sejumlah-kesenjangan-implementasi-biodiesel

Wartaekonomi.co.id | Kamis, 7 Januari 2021

Biolistrik dari Limbah Sawit sebagai Contoh Penyediaan Energi Berkelanjutan

Rasanya, Indonesia sangat beruntung karena memiliki kebun kelapa sawit terluas di dunia. Berbagai jenis produk mulai dari pangan hingga nonpangan dan bahan bakar dapat dihasilkan dari kelapa sawit. Tidak hanya dapat dimanfaatkan untuk menjadi berbagai jenis produk, tetapi kehadiran perkebunan kelapa sawit juga memberikan jasa sebagai bagian dari ‘paru-paru’ lingkungan. Emisi karbondioksida (CO2) yang dibuang ke udara oleh kendaraan bermotor, industri pengolahan, termasuk dari pernapasan manusia, akan diserap tanaman sawit dan kemudian diproses menjadi oksigen (O2) untuk kebutuhan manusia. Produk sampingan kelapa sawit yang sering disebut limbah padat seperti tandan kosong dan limbah cair kelapa sawit (LCKS) juga sudah dimanfaatkan untuk menghasilkan biolistrik untuk kebutuhan listrik pedesaan di sekitar kebun. Limbah PKS dibangun tangki biogas untuk menghasilkan biogas methan dan selanjutnya digunakan untuk membangkitkan listrik. Saat ini, banyak perkebunan sawit di berbagai sentra kebun sawit nasional seperti di Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Jambi, dan Kalimantan telah menghasilkan biolistrik sawit. Dalam laporan PASPI Monitor dituliskan, “Dari kapasitas PKS 120 ton TBS/jam dapat menghasilkan sekitar 2 Megawatt (MW) biolistrik. Itu berarti untuk setiap 15 ribu hektare kebun sawit dapat menghasilkan 2 MW biolistrik.” Dapat dibayangkan, dengan luas kebun sawit Indonesia yang lebih dari 16 juta hektare, berapa MW biolistrik yang akan dapat dihasilkan? Pemanfaatan limbah sawit untuk biolistrik dapat membersihkan lingkungan, mengurangi emisi karbon sawit, juga melestarikan kehidupan mikroba dalam tangka biogas. Ketersedian biolistrik di kawasan pedesaan menjadi bagian dari ketahanan energi berbasis bahan energi lokal dan terbarukan, menggerakkan ekonomi daerah, mengurangi ketergantungan energi fosil, dan mengurangi emisi karbon akibat penggunaan energi fosil. Ketersedian biolistrik ini juga membantu pemerintah untuk meningkatkan rasio elektrifikasi di pedesaan. “Dengan kata lain, biolistrik sawit merupakan salah satu contoh penyediaan energi yang berkelanjutan. Bekelanjutan secara ekonomi, berkelanjutan secara sosial, dan berkelanjutan secara ekologis. Oleh karena itu, pemerintah perlu memfasilitasi, mendukung dan melindungi industri sawit nasional,” seperti dilansir dari laporan PASPI Monitor.

https://www.wartaekonomi.co.id/read321679/biolistrik-dari-limbah-sawit-sebagai-contoh-penyediaan-energi-berkelanjutan

The Jakarta Post | Jum’at, 8 Januari 2021

Neglecting renewables could cost Indonesia\’s energy edge, independence

An energy finance analyst at IEEFA Indonesia. The views expressed here are personal. The government is arbitrarily creating a domestic market for energy products that other countries are moving away from. Undergoing an energy transition is now inevitable for every country. Even amid the pandemic, the International Energy Agency (IEA) found that installed renewable energy had grown exponentially to reach to almost 200 gigawatts (GW) globally, with or without government support. In some markets, the energy transition accelerated at a pace that no one could have predicted. No country is immune to the rapid disruption occurring in the global energy sector. New technological innovations in both supply and demand have changed the technical versus economic discourse. Renewables are now cheaper than any fossil fuel in most parts of the world. Indonesia is no exception. The sharp decline in power demand due to slower economic growth has forced state electricity firm PLN to carefully rethink its investment plans. In the last semester, PLN began rebranding itself as a green(er) utility company through a number of so-called breakthrough initiatives. Going forward, the state-owned utility company is committed to providing clean and sustainable energy for Indonesia in line with government expectations, a measure likely to be attractive to ESG (environmental, social and governance) investors. Despite this commitment, the government appears to favor the opposite strategy. While nations across the globe are competing to accelerate the development of inherently deflationary technologies in solar, wind and storage, the Indonesian government seems to be focusing on centuries-old technologies that have previously failed to gain market share. Three recent energy investment decisions with government backing require careful scrutiny as we enter 2021.

The first is the political push forcoal downstreaming technology. The government wants to turn unsellable domestic low-rank coal into syngas (synthesis gas) to then be processed into methanol, dimethyl ether (DME), urea and other compounds. DME would then replace, to some extent, imported liquefied petroleum gas (LPG), a commodity that weighs on Indonesia\’s trade deficit. While coal gasification technology is not new, only very few have ever applied the technology because of its poor economic returns. In addition, the zero-royalty incentive written into the new Job Creation Omnibus Law and the Mining Law to boost DME production could undercut valuable public revenue. On the surface, DME production may appear to provide energy security and indeed profit, but a closer look reveals that it is very much prone to cornrnodity price risk and is likely to put additional burdens on the public\’s money. A recent study by the Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) found that if the US$2 billion DME project initiated by state-owned PT Bukit Asam goes ahead, it would lose $377 million annually. This would exceed any savings made from reduced LPG imports by $19 million, assuming that global LPG prices remain below $470 per ton. The government\’s second plan to create a domestic market for local raw fuel products focuses on replacing imported diesel with B30, B50 and/or B100 biodiesel mix to capitalize on Indonesia\’s palm oil production surplus. Unfortunately, this plan suffers from the same price risk as the proposed DME production projects. Setting aside the technical challenges and environmental impacts of Indonesia\’s vast and unsustainable oil palm plantations, the positive gain from biodiesel relies heavily on the crude Palm Oil (CPO) price and the imported diesel price of the corresponding period. Given the high biodiesel production cost, the economics will prevail only when the CPO price is low enough so that the price of biodiesel is more competitive than regular diesel. Unfortunately, this has been rarely the case. A dramatic slump in fuel prices this year made it even less economical for biodiesels. Since the inception of the mandatory biodiesel program in 2015, Indonesia\’s biodiesel development has relied heavily on subsidies funded by a levy on Palm Oil exports, provided through the controversial Oil Palm Plantation Fund Management Agency (BPDPKS). In 2020, additional stimulus of Rp 2.78 trillion ($192 million) was allocated in the state budget to cover the increasing price difference between biodiesel and regular diesel. Biodiesel production is likely to continue to be a huge financial burden on the Indonesian economy, obfuscating plans for energy security. The third energy proposition that calls for deeper scrutiny is PLN\’s proposal to pursue cofiring at scale by converting 114 units at PLN\’s existing 18 GW coal-fired power plants to accommodate 5-10 percent biomass cofiring. This proposal looks appealing. Cofiring could potentially prolong the life of PLN\’s old coal fleet, in addition to contributing fewer carbon emissions to the atmosphere. Yet, implementation is likely to be difficult and expensive due to the need for sustainable feedstock supply, coupled with the premium price of biomass. There is stiff competition for high-grade biomass like sawdust from countries like Japan and Korea. To move ahead with this proposal, a ceiling price for biomass would need to be set as a key to gauging biomass investors\’ appetite in building the value-chain industry necessary to support it.

Technicalities aside, cofiring would not be received well by ESG investors, as it extends the life of high-emissions coal plants. PLN is planning to issue green or sustainable bonds early this year, but what PLN considers “green” might be different from what investors expect. This could put a spoke in PLN\’s wheel as it struggles to improve its poor financial health, made worse by COVID-19. Indonesia is blessed with many energy options. The government\’s concerted effort to use conventional domestic fuel sources, albeit with good intentions, is contrary to the global, technology-driven energy trends of the last 5 years. Indonesia has many renewable and sustainable fuel options that could be prioritized instead. For instance, solar and wind are free and have no related price risk. When considering investments in increasingly obsolete energy infrastructure, the government should weigh the costs of achieving energy independence and the subsidies required to feed fuel sources of the past. Investing in cheaper, deflationary renewable energy projects is the better option for PLN and the government as we enter the recovery period.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *