Peluang Dan Upaya Penyerapan Sawit Sebagai Feedstock Biodiesel

| News
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Sawitindonesia.com | Minggu, 14 Maret 2021

Peluang Dan Upaya Penyerapan Sawit Sebagai Feedstock Biodiesel

Indonesia telah melaksanakan mandatori biodiesel 30 persen (B30) sejak Januari 2020. Mandatori  B30 di tahun 2020 telah menyerap 8,43 juta kiloliter atau sekitar 88% dari target yang dicanangkan 9,59 juta kiloliter. Pada tahun 2021, Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Energi Baru Tarbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM telah menetapkan alokasi volume mandatori B30 sebanyak 9,2 kiloliter. Ini artinya jika penyerapan mencapai 100% maka penggunaan CPO sebagai feedstock akan setara 8 juta ton CPO. Di sisi lain Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) menargetkan ekspor biodiesel ke pasar global sekira 1 juta kiloliter. Kapasitas produksi biodiesel  mencapai 12,4 juta kiloliter. Diperkirakan volume CPO yang terserap untuk produksi biodiesel  mencapai 10 juta ton pada 2021. Di negara lain seperti Tiongkok perlahan-lahan meningkatkan penggunaan biodiesel. Berdasarkan laporan China Biofuel Annual yang disampaikan kepada Jaringan Informasi Pertanian Global Dinas Pertanian Luar Negeri USDA (USDA Foreign Agricultural Service’s Global Agricultural Information Network) 31 Juli 2020 bahwa mencatat bahwa tindakan lingkungan yang semakin ketat mendorong prospek untuk penggunaan biodiesel diperluas di negara tersebut. Saat ini di Negeri Tirai Bambu barumemberlakukan mandatori B5 (khususnya Shanghai) bagi kendaraan transportasi darat (on road use). Peluang besar biodiesel akan digunakan untuk off-road maritim dan penggunaan non-transportasi lainnya pada tahun 2021 dan yang akan datang. Tiongkok telah memulai komitmen lingkungan sejak November 2015 dimana Dewan Negara China (China’s State Council) meluncurkan Rencana Lima Tahun di bidang Ekonomi dan Pembangunan Sosial (2016-2020). Program ini difokuskan kepada  pengurangan konsumsi energi, perlindungan lingkungan, dan penggunaan energi terbarukan dan biomassa. Selanjutnya pertengahan 2018 diluncurkan program Blue Sky Protection Plan 2018 yaitu mengurangi emisi untuk sulfur dioksida dan nitrogen oksida setidaknya 15 persen dari level tahun 2015, dan Penurunan 18 persen dalam kepadatan materi partikulat pada tahun 2020.

Menurut laporan yang sama di atas, disebutkan bahwa 42 pabrik biodiesel dengan total kapasitas gabungan sebesar 2,726 miliar liter diharapkan dapat beroperasi di China pada akhir 2020. Ada kenaikan dari tahun sebelumya berjumlah 40 pabrik. Bahan baku utama biodiesel adalah minyak goreng bekas. Di dalam laporan juga disebutkan bahwa produksi biodiesel menurun pada tahun 2020 karena konsumsi menurun akibat pandemi Covid-19 sehingga pasokan minyak goreng bekas turun. Akan tetapi produksi tetap terdorong oleh permintaan yang kuat dari Uni Eropa. Dari laporan di atas di atas dapat disimpulkan bahwa minyak sawit mempunyai peluang yang besar untuk menyuplai kebutuhan biodiesel di  Tiongkok. Walaupun, ekspor minyak sawit Indonesia ke Tiongkok turun sebesar 1,5 juta ton menjadi 4,63 juta ton pada 2020 dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 6,15 juta ton. Merosotnya ekspor dipengaruh lesunya konsumsi akibat pandemi Covid 19 khususnya semester pertama 2020. Di tahun ini volume ekspor hanya di kisaran 126 ribu – 328 ribu metrik ton per bulannya. Tetapi seiring pelonggaran kebijakan lockdown dapat dilihat ekspor semester kedua 2020 naik signifikan di kisaran 482 ribu – 692 ribu metrik ton per bulan. Pada 2020, Indonesia juga mencatatkan penurunan ekspor biodiesel dengan volume signifikan ke China yaitu dari 607 ribu ton di 2019 turun menjadi 8,2 ribu ton di 2020. Pada 2021 diperkirakan volume ekspor minyak sawit ke Tiongkok akan kembali pulih mencapai 6 juta sampai 7 juta ton. Begitupula ekspor biodiesel diharapkan akan kembali pulih. Hal ini juga didorong dengan kebijakan dalam negeri China yang telah mempertimbangkan aspek lingkungan. Di Brazil, pemerintah setempat  mendorong penggunaan minyak nabati sebagai bahan baku biodiesel. Pada 2020 Pemerintah Brazil telah menetapkan minyak nabati pada biodiesel sebesar 12% (B12) dan terjadwal naik 1% setiap tahunnya sehingga pada 2028 mencapai  B20. Sejak November 2020 Dewan Energi Nasional Brazil mengeluarkan kebijakan yang membolehkan produksi biodiesel di dalam negeri menggunakan bahan baku impor karena stok kedelai yang menyusut. Selain itu, tingginya harga makan dan minuman sehingga memicu inflasi konsumen dan seiring kenaikan 1%  penggunaan minyak nabati sebagai feedstock biodiesel di 2021, ini membuka peluang yang besar untuk minyak sawit menginfiltrasi sebagai bahan baku biodiesel di Brazil. Di Uni Eropa, kebijakannya akan menjadi pendorong utama pasar biodiesel Eropa sepanjang 2021, dengan revisi Renewable Energy Directive (RED-II) yang menetapkan kerangka kerja kebijakan UE hingga 2030. Di bawah RED II, target UE untuk konsumsi energi terbarukan dinaikkan menjadi 32% pada 2030, dari 20% pada tahun 2020, dengan 14% sub-target transportasi. S&P Global Platts Analytics memproyeksikan konsumsi biodiesel UE 2020-21 akan meningkat sebesar 1,86 juta metrik ton pada tahun ini menjadi 16,68 juta metrik ton.

Seperti yang kita ketahui Spanyol, anggota dari UE merupakan pengimpor minyak sawit terbesar kedua dari Indonesia, menggunakan minyak sawit sebagai bahan baku biodieselnya. Di lansir dari portal berita Biofuel International, pada pertengahan Februari 2021, Repsol telah berhasil memproduksi batch pertama biofuel untuk penerbangan (biojet fuel) di kompleks industrinya di Tarragona di Spanyol. Repsol adalah perusahaan energi dan petrokimia Spanyol yang terlibat dalam kegiatan hulu dan hilir di seluruh dunia. Batch pertama biojet fuel di pasar Spanyol ini sebanyak 10 ribu ton dan ini menjadikan Repsol sebagai pelopor dalam solusi berkelanjutan untuk sektor penerbangan. Dalam laporan tidak disebutkan feedstock dari biojet fuel yang diproduksi oleh Repsol. Namun dengan perkembangan biojet fuel maka dipastikan demand untuk feedstock green renewable energy akan meningkat. Di Spanyol, Rencana Nasional Terpadu untuk Energi dan Iklim (Integrated National Plan for Energy and Climate) mengakui bahwa biofuel saat ini mewakili teknologi terbarukan yang paling banyak tersedia dan digunakan dalam transportasi. Ini merupakan lampu hijau kepada industri untuk memproduksi biofuel yang diharapkan pada akhirnya membantu negara untuk mengurangi emisi dari transportasi. Lagi – lagi minyak sawit berpeluang besar untuk menjadi feedstock utama biofuel karena paling efektif dan efisien dari sisi penggunaan lahan dan produktifitas serta didukung oleh harga yang murah. Meskipun unggul, minyak sawit menghadapi tantangan besar untuk meramaikan pasar biofuel global. Isu paling berat berkaitan deforestasi. RED II UE juga menempatkan minyak sawit sebagai komoditas paling berisiko dalam indirect land use change (ILUC) atau alih fungsi lahan secara tidak langsung. Indonesia ditantang untuk terus meningkatkan praktek keberlanjutan dan tata kelola industri kelapa sawit untuk tetap bersaing di pasar global. Penulis : Susila Darma Wati (Pelaku Industri Sawit)

https://sawitindonesia.com/peluang-dan-upaya-penyerapan-sawit-sebagai-feedstock-biodiesel/

BERITA BIOFUEL

Tempo.co | Sabtu, 13 Maret 2021

Menperin Sebut Perusahaan Jepang Ini Siap Kembangkan Industri Methanol di RI

Menteri Perindustrian atau Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita telah bertemu dengan perusahaan industri kimia asal Jepang, Sojitz Corporation, untuk membahas pengembangan industri methanol di Indonesia. “Dalam pertemuan tadi, Sojitz menyatakan ketertarikan untuk mengembangkan industri methanol dan ammonia di Kawasan Industri Teluk Bintuni yang akan menyerap investasi sekitar US$ 5 miliar,” ujar Agus dalam keterangan tertulis, Sabtu, 13 Maret 2021. Menurut dia, kebutuhan methanol saat ini semakin meningkat. Ke depannya, ia melihat industri methanol memegang peranan yang sangat penting bagi pengembangan industri di hilirnya. Pada pertemuan dengan Presiden dan CEO Sojitz Corporation Fujimoto Masayoshi, Agus menyampaikan bahwa proyek Bintuni masuk sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), sehingga akan memperoleh kemudahan serta berbagai insentif dari Pemerintah. “Proyek petrokimia di Teluk Bintuni akan menjadi yang terbesar dengan luas sekitar 2.000 Hektare. Kami akan membahasnya lebih lanjut pada kunjungan selanjutnya di bulan Mei mendatang,” ujarnya. Bisnis Sojitz Corporation di Indonesia meliputi perusahaan Kaltim Methanol Industri (KMI) di Bontang, Kalimantan Timur yang merupakan satu-satunya produsen methanol di Indonesia. Perusahaan tersebut berkapasitas produksi 660.000 metrics ton per tahun. “Dengan kebutuhan methanol di dalam negeri yang mencapai sekitar dua juta ton, pembangunan pabrik methanol baru amat dibutuhkan,” tutur Agus.

Bahan baku methanol sangat dibutuhkan, antara lain dalam industri tekstil, plastik, resin sintetis, farmasi, insektisida, plywood. Metanol juga sangat berperan sebagai antifreeze dan inhibitor dalam kegiatan migas. Selain itu, Agus berujar methanol juga merupakan salah satu bahan baku untuk pembuatan biodiesel. “Di tahun 2020, permintaan akan methanol juga meningkat dengan penerapan mandatory biodiesel B30.” Guna merealisasikan proyek pembangunan pabrik methanol kedua tersebut, diperlukan dukungan penuh kedua Pemerintah dalam pengembangan industri petrokimia di Bintuni. Kawasan industri ini dikembangkan secara multiyear dengan menggunakan KPBU (Kerjasama Pemerintah Badan Usaha). Pembangunan infrastruktur di kawasan tersebut ditargetkan bisa dilaksanakan pada tahun ini dan dilanjutkan pembangunan pabrik-pabrik pada 2022, sehingga tenant bisa mulai berproduksi pada 2024. Pada kesempatan tersebut, Agus juga mengundang Sojitz untuk berinvestasi pada industri soda ash sebagai hilirisasi dari ammonia, di samping sebagai pengurangan emisi CO2 pada pembakaran batubara yang akan dikembangkan oleh Sojitz. “Pemerintah akan memberikan insentif tertentu bagi industri pioner seperti soda ash,” ujar Menperin.

https://bisnis.tempo.co/read/1441786/menperin-sebut-perusahaan-jepang-ini-siap-kembangkan-industri-methanol-di-ri/full&view=ok

Detik.com | Jum’at, 12 Maret 2021

Kejar Target 1,1 GW, Pertamina Operasikan 15 Wilayah Kerja Geothermal

PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya PT Pertamina Gothermal Energy (PGE) menambah satu Wilayah Kerja (WK) Geothermal dalam rangka meningkatkan kapasitas terpasang Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Dengan demikian saat ini PGE mengoperasikan 15 WK. Sebanyak 15 WK tersebut antara lain Gunung Sibuali-Buali, Sumut; Gunung Sibayak-Sinabung, Sumut; Sungai Penuh (Kerinci), Jambi; Hululais, Bengkulu; Lumut Balai dan Margabayur, Sumsel; Way Panas, Lampung; Kamojang Darajat, Jabar; Karaha Cakrabuana, Jabar; Pangalengan, Jabar; Cibeureum Parabakti, Jabar; Tabanan, Bali; Lahendong, Sulut; Gunung Lawu, Jateng; Seulawah, NAD; dan Kotamobagu, Sulut. Senior Vice President Corporate Communications & Investor Relations Pertamina, AgusSuprijanto menyebut saat ini kapasitas terpasangPLTP yang dioperasikan olehPGE di atas adalah sebesar 672 MW. Sesuai dengan masterplan Pertamina, pengembangan panas bumi dalam lima tahun ke depan akan meningkat tajam dan ditargetkan akan naik 2 kali lipat menjadi 1.108 Megawatt (1,1 Gigawatt) pada tahun 2026. Di samping operasional sendiri oleh PGE, Pertamina juga mengelola panas bumi bersama mitra melalui joint operation contract dengan kapasitas terpasang sebesar 1.205 MW. Dengan keseluruhan pengelolaan pengembangan panas bumi tersebut, diharapkan Pertamina dapat menjamin terpenuhinya energi bersih di masa depan. Agus menjelaskan Pertamina terus mengupayakan penyediaan energi yang ramah lingkungan yang diperlukan di masa depan. Melalui 15 wilayah kerja proyek panas bumi, Pertamina akan mewujudkan program transisi energi, yaitu energi baru terbarukan akan mencapai 30% pada tahun 2030. “Potensi geothermal di Indonesia sangat tinggi, termasuk nomor 2 terbesar di dunia namun baru 7 persen yang telah dikembangkan. Dengan roadmap Pertamina, dalam lima tahun ke depan akan naik dua kali lipat,” ungkapnya dalam keterangan tertulis, Jumat (12/3/2021).

Agus menambahkan pada program transisi energi, Pertamina juga akan mengupayakan 4 MW melalui Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Badak di Kalimantan. Solar Cell Panel juga telah terpasang di 63 lokasi yang tersebar di DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. “Pertamina juga menargetkan pemasangan Panel Solar Cell di seluruh SPBU Pertamina dengan kapasitas terpasang sebesar 385 kWp,” ujarnya. Diungkapkannya, energi bersih yang akan menghasilkan listrik juga dikembangkan Pertamina melalui pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Bio-Gas (PLTBg) bekerja sama dengan PT Perkebunan Negara II di Sei Mangkei di Simalungun Sumatera Utara dengan total kapasitas 2,4 MW. Salah satu proyek nasional yang juga menjadi fokus Pertamina, lanjut Agus, adalah proyek Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Jawa-1 diCilamaya Jawa Barat dengan kapasitas mencapai 1.760 MW. Agus menyebut inisiatif strategis untuk mendorong pelaksanaan program green transition Pertamina juga dilakukan di sektor pengolahan. Setelah sukses uji coba produksi Green Diesel (D100) di Kilang Dumai sebesar 1.000 barel per hari, Pertamina sedang mengembangkan Green Energy melalui Revamp TDHT di Kilang Cilacap dengan target produksi 6.000 barel per hari yang ditargetkan onstream tahun 2022. Lalu Biorefinery Standalone di Kilang Plaju dengan kapasitas 20.000 barel per hari. Di lini bisnis tengah tersebut, sejak tahun 2019 Pertamina telah mengimplementasi Biodiesel plus 30% yang terlaksana di seluruh Indonesia, sehingga dapat menurunkan impor solar sebesar USD 1,6 miliar per tahun. “Upaya untuk menurunkan impor, Pertamina juga akan mengembangkan gasifikasi batubara kalori rendah menjadi DME untuk substitusi LPG. Keseluruhan insiatif strategis yang dilakukan Pertamina untuk menjamin ketersediaan energi bersih di masa depan didasari semangat untuk memberikan energi yang lebih baik kepada masyarakat dan lingkungan,” tandas Agus.

https://finance.detik.com/energi/d-5490866/kejar-target-11-gw-pertamina-operasikan-15-wilayah-kerja-geothermal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *