Pemerintah Dorong Penggunaan BBN

| Articles
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Republika.co.id | Rabu, 4 November 2020

Pemerintah Dorong Penggunaan BBN

Pemerintah berkomitmen terus mendorong pengembangan bahan bakar nabati (BBN) biohidrokarbon, yang karakteristiknya sama atau bahkan lebih baik daripada senyawa hidrokarbon atau BBM berbasis fosil. “BBN biohidrokarbon yang ramah lingkungan nantinya dapat langsung digunakan sebagai substitusi BBM fosil tanpa perlu penyesuaian mesin kendaraan,” ungkap Kepala Badan Pengembangan SDM Kementerian ESDM Prahoro Yulijanto Nurtjahyo pada pembukaan webinar “Menyongsong Era Biohidrokarbon Di Indonesia” secara virtual, Rabu (4/11). Dalam keterangannya di Jakarta, Rabu, Parhoro menyatakan, BBN biohidrokarbon dapat dibedakan menjadi green gasoline, green diesel, dan bioavtur. Ketua Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia (IKABI) Tatang Hernas Soerawidjaja menyampaikan, Indonesia dianugerahi kekayaan nabati luar biasa. Kekayaan tersebut memungkinkan Indonesia menjadi pusat biohidrokarbon dunia dan negara maju pada era perekonomian berbasis nabati (bio-based economy). “Semoga inovasi anak-anak bangsa Indonesia memadai untuk memberdayakan kekayaan nabati luar biasa ini guna menggerakkan perekonomian Tanah Air yang tangguh,” kata Tatang.

Pada kesempatan yang sama, peneliti PPTMGB Lemigas Lies Aisyah mengharapkan pengembangan BBN guna mengurangi ketergantungan impor minyak. Juga untuk menggantikan solar dan bensin, yang saat ini implementasi mandatori untuk solar sudah bertaraf B30. Kebijakan pemerintah dalam arahan mandatori biodiesel dan pengembangan biohidrokarbon mutlak dilakukan untuk mendorong ketahanan energi nasional, penghematan devisa negara, dan pengurangan emisi CO2. “Penyusunan arah kebijakan biohidrokarbon dan perumusan standar dan mutu (spesifikasi) serta nomenklaturnya menjadi prioritas utama,” kata Lies. VP Downstream Research Technology Innovation PT Pertamina (Persero) Andianto Hidayat, mengungkapkan, kesiapan Indonesia dalam menyongsong era biohidrakarbon dengan diawali produk katalis anak negeri (katalis Merah Putih). Selain juga sinergisitas BUMN yang dapat menghasilkan produk dalam hasil co-processing RU II Dumai dan RU III Plaju. “Percepatan penelitian, pengujian dan pengembangan biohidrokarbon (proyek biorefinery Pertamina) ini tak luput dari dukungan pemerintah khususnya Kementerian ESDM dalam memberikan relaksasi harga biodiesel,” kata Andianto.

https://republika.co.id/berita/qja0ux457/pemerintah-dorong-penggunaan-bbn

Harian Ekonomi Neraca | Kamis, 5 November 2020

Program B30 demi Industri Kelapa Sawit Nasional

Pemerintah berkomitmen terus mendukung keberlanjutan pelaksanaan program mandatori biodiesel (B30). Haliniditunjukkanden-gan penyesuaian pungutan eksporcrudepalmoil(CPO) dan produk turunannya untuk menyokong keberlanjutan program B30 tersebut. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, program B30 harus terus dijalankan dengan tujuan menjaga stabilisasi harga CPO pada level harga minimal US$600 per ton untuk menjaga harga tandan buah segar (TBS) petani sawit. “Selain iui juga untuk mempertahankan surplus neraca perdagangan non migas yang sekitar 12%-nya berasal dari ekspor produk sawit dan turunannya,” ujar Airlangga dalam Rapat Koordinasi Komite Pengarah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BP-DPKS), yang dilaksanakan secara daring di Jakarta. Kemudian, kata Airlangga, pemerintah juga terus berupaya meningkatkan produksi perkebunan kela-pasawitrakyatdenganmen-galokasikan Dana Perkebunan Kelapa Sawit untuk 180 ribu hektare (ha) lahan di 2021. “Target luasan lahan tersebut diikuti kenaikan alokasi dana untuktiap hektare lahan yang ditetapkan, yaitu Rp30 juta per ha atau naik Rp5 juta per ha dari sebelumnya sebesar Rp25 juta per ha,” ungkapAirlangga. Seperti diketahui, di-penghujung tahun 2019 kemarin Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) resmi meluncurkan program biodiesel 30 persen (B30). Peluncuran B30 ternya-ta tidak hanya menghemat devisa hingga Rp 63 triliun per tahun. Berikut kelebihan B30. Pemerintah optimis biodiesel atau Biosolar 30 persen (B30) yang merupakan campuran dari 30 persen FAME (Fatty Acid Methyl Ester) dan 70 persen minyak solar, mampu meningkatkan daya kerja mesin untuk kendaraan berka-pasitas3,5 ton, hal ini dikarenakan tingginya angka ce-tane (CN) yang terkandung dalam B30. Mengutip laman Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kementerian ESD-M, solar memiliki cetane number(CN)48, sedangkan minyak sawit CN 41. Jika komposisi itu digabungkan maka akan membentuk B30. Perlu diketahui, semakin tinggi angka CN, maka bahan bakar akan lebih mudah terbakar. Namun angka CN yang tinggi pada B30 tidak serta-merta membuat performa mesin meningkat. Mengingat, nilai kalor yang dimiliki B30 sedikit lebih rendah daripada solar dan sifat alami biosolar mudah berubah menjadi gel (menggumpal) jika terkena udara dingin. “B30 ini sudah diujicobakan sejak November lalu, dan hari ini kita sampaikan B30 sudah kita luncurkan. Dengan adanya B30 ini, bisa menghemat devisa hingga Rp 63 triliun,” kata Presiden Jokowi.

Menurut beberapa penelitian, kandungan FAME ini didapatkan dari Kelapa Sawit yang diolah menjadi FAME (Fatty Acid Methyl Ester), yaitu bahan bakar nabati. Sehingga B30 ini telah diimplementasikan pada awal 1 Januari 2020, akan memberikan target kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri ESDM Arifin Tasrif, dan jajaran direksi Pertamina untuk mempercepat implementasi B50pada awal 2021. Bahkan Kementerian Enerdi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan bahwa program B30 tidak akan memengaruhi kebijakan harga jual B30 atau yang dikenal sebagai biosolar di masyarakat. Artinya, biosolar tetap dibanderol, yakni Rp 5.150 per liter. Vice President Corporate Communication Pertamina, Fajriyah Usman menambahkan telah mengamankan stok B30 dalam jumlah yang cukup. Total stok B30 tercatat 509 ribu kilo liter (KL) dengan penyaluran harian mencapai 66 ribu KL. Stok tersebut merupakan persediaan di TBBM, belum termasuk stok di kilang dan kapal. “Memasuki tahun baru 2020, seluruh SPBU Pertamina telah siap menjual B30. Masyarakat bisa menikmati B30 melalui produk biosolar dan Dexlite. Kelebihan B30 adalah lebih ramah lingkungan dan bersahabat dengan mesin kendaraan,” terang Fajriyah. Sekedar catatan, saat ini pemerintah sedang mematangkan tahap penyesuaian semisal menyiapkan depo. Pertamina juga sudah berkomitmen untuk bahan bakar dari CPO. Kebijakan ini didukung keluarnya Peraturan Presiden (Perpres) No 66 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres No 61 Tahun 2015 tentang Perhimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Balikan tidakhanya B3D, rencana membuat bahan bakar lainnya mulai terwujud. ITB yang ditunjuk pemerintah melakukan penelitian bahan bakar dari CPD sudah menemukan teknologinya. Bahkan RON yang diciptakan hingga 120, rne- lebihi Pertamax.

Katadata.co.id (Opini) | Rabu, 4 November 2020

Dampak Biodisel D100 terhadap Lingkungan dan Sosial

Pemerintah harus memastikan subsidi untuk sektor minyak sawit bermanfaat bagi orang miskin dan banyak orang, bukan terutama perusahaan dan pemegang saham. Bulan Juli, Pertamina telah memproduksi biodiesel gelombang pertama yang sepenuhnya terbuat dari sawit. Dinamakan D100, ini merupakan bagian dari strategi Indonesia untuk mempromosikan biodisel yang diklaim sebagai bahan bakar ramah lingkungan. Pada Januari yang lalu Indonesia mulai mewajibkan campuran 30% bahan bakar hayati dalam bensin. Rencana ini diwujudkan untuk meningkatkan jumlah penggunaan biodisel. Kebijakan ini akan meningkatkan permintaan akan kelapa sawit, ekspor pertanian nomor satu bagi Indonesia. Pemerintah telah mencanangkan program tersebut sebagai cara untuk menurunkan impor bahan bakar fosil dan emosi gas rumah kaca. Namun, program itu akan memperparah deforestasi, meningkatkan emisi gas rumah kaca, dan menghilangkan keanekaragaman hayati, serta mengakibatkan konflik agraria.

Dampak Sawit bagi Lingkungan

Penelitian menunjukkan industri sawit merupakan penyebab besar deforestasi, emisi gas rumah kaca, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Perkebunan kelapa sawit menghasilkan lebih banyak minyak per unit lahan dibandingkan tanaman alternatif. Kalangan industri sawit seringkali beragumen bahwa jika permintaan global untuk minyak nabati mesti terpenuhi dari kedelai, bunga matahari, dan kanola (dan tidak oleh sawit), maka lebih banyak lahan akan dibutuhkan, dan hal itu akan mendorong tingginya deforestasi. Hal ini kontroversial karena tidak semua tanaman tersebut berdampak setara terhadap deforestasi. Laporan dari Uni Eropa menyimpulkan bahwa kelapa sawit terkait dengan tingkat deforestasi yang lebih tinggi dibanding bahan bakar nabati lainnya. Dengan demikian, kebijakan biodiesel bertujuan untuk menggantikan bahan bakar fosil, sehingga perbandingannya harus dengan bahan bakar fosil, bukan jenis minyak nabati lainnya. Banyak studi menemukan bahan bakar minyak dari sawit memproduksi emisi karbon lebih banyak daripada bahan bakar fosil. Hutan Indonesia dengan luasan 94.1 juta hektar memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang luar biasa dan berfungsi sebagai penyimpan karbon dioksida. Lahan gambut juga sangat kaya akan karbon. Ketika lahan diubah menjadi kebun sawit, karbon akan terlepas ke udara. Pada tahun 2014, lebih dari setengah emisi karbon Indonesia muncul dari perusakan hutan dan perubahan penggunaan lahan. Produksi sawit meningkat setiap tahun, dari 26 juta ton di tahun 2012 menjadi hampir 46 juta ton di 2016. Pembukaan hutan meningkat juga. Di Kalimantan, 50% deforestasi antara tahun 2005 dan 2015 terkait dengan pengembangan kelapa sawit.

Hukum yang Tidak Efektif

Tahun 2018, Indonesia melarang pembukaan kebun sawit baru. Namun, data dari Kementerian Pertanian menunjukkan perkebunan sawit bertambah dari 14 juta hektare di 2018, menjadi lebih dari 16 juta hektare di Januari 2020. Menurut Sawit Watch, total perkebunan sawit mencapai lebih dari 21 juta hektar. Masyarakat sipil, bersama dengan industri dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (sebuah inisiatif berbagai sektor kebijakan), telah menyampaikan keraguan terhadap efektivitas pelarangan tersebut. Mereka beranggapan masih terlalu banyak celah dan tidak cukup transparansi. Sebagai contoh, lebih dari 80% hutan di Indonesia, mangrove, dan lahan gambut yang paling rentan untuk dibuka guna produksi minyak sawit belum dilindungi oleh larangan tersebut. Kementerian Pertanian menolak untuk merilis data tentang hak guna usaha sesuai instruksi Mahkamah Agung tahun 2017. Hal ini mempersulit untuk mengetahui batas-batas perkebunan yang ada dan yang sudah direncanakan. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria, lebih dari 100.000 keluarga terkena dampak konflik tanah tahun lalu. Perkebunan kelapa sawit menyumbang lebih banyak kasus dibandingkan industri lainnya.

Tindakan yang Harus Diambil

Salah satu tujuan moratorium sawit adalah meningkatkan produktivitas perkebunan yang sudah ada. Berinvestasi untuk meningkatkan produktivitas dapat berdampak lebih baik bagi lingkungan ketimbang membuka perkebunan baru. Ini bisa dilakukan misalnya, dengan berinvestasi pada pupuk, pestisida dan benih berkualitas tinggi, memperbaiki irigasi, hingga menebang pohon tua dan menanam yang yang baru. Meski demikian, memang jauh lebih murah dan menguntungkan dari segi bisnis untuk memperluas area perkebunan ketimbang meningkatkan produksi. Berdasarkan data dari Sawit Watch, 55% dari seluruh perkebunan sawit dikelola oleh 30 grup perusahaan besar. Mereka merupakan para elite bisnis yang di masa lalu memiliki akses lahan (dengan korupsi dan perlindungan politik). Selama lahan tersedia dan bisnis dapat mengakses dengan harga yang cukup murah, mereka akan terus memperluas perkebunan. Dengan demikian, pemerintah harus menutup celah dari moratorium, mengkaji izin saat ini (seperti dimandatkan oleh moratorium), dan mengambil langkah hukum untuk melawan perluasan perkebunan yang dilakukan secara ilegal. Ini mampu memberi keuntungan dari keterlibatan masyarakat sipil. Informasi tentang izin konsesi merupakan kepentingan publik, maka pemerintah harus merilis semua data tentang konsesi yang ada, sejalan dengan putusan Mahkamah Agung. Legislasi harus mendorong transparansi dan partisipasi dalam pembuatan kebijakan bagi kelompok yang terdampak. Pemerintah juga harus memastikan subsidi untuk sektor minyak sawit bermanfaat bagi orang miskin dan banyak orang, bukan terutama perusahaan dan pemegang saham. Subsidi terbaru sebesar 195 juta dolar AS untuk biofuel guna meningkatkan ekonomi selama pandemi menuai kritik dari Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), yang mengklaim hanya menguntungkan konglomerat dan perusahaan besar. Jika tidak ada yang dilakukan, kebijakan bahan bakar lingkungan Indonesia akan berpengaruh besar pada deforestasi, meningkatnya emisi gas rumah kaca, dan sengketa lahan.

https://katadata.co.id/muchamadnafi/indepth/5fa1585f5ef22/dampak-biodisel-d100-terhadap-lingkungan-dan-sosial

Merdeka.com | Rabu, 4 November 2020

PPSDM KEBTKE Gelar Webinar Menyongsong Era Biohidrokarbon di Indonesia

Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Ketenagalistrikan, Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (PPSDM KEBTKE) mengadakan webinar bertajuk ‘Menyongsong Era Biohidrokarbon di Indonesia’. Pembicara dalam acara webinar kali ini, di antaranya Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia ESDM Prahoro Yulijanto Nurtjahyo , VP Downstream Research Technology Innovation PT. Pertamina Andianto Hidayat, Peneliti – PPPTMGB Lemigas Kementerian ESDM Lies Aisyah, Ketua Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia (IKABI)/ITB Tatang Hernas Soerawidjaja. Prahoro mengungkapkan, saat ini pemerintah aktif mendorong pengembangan BBN biohidrokarbon yang karakteristiknya sama atau bahkan lebih baik daripada senyawa hidrokarbon/BBM berbasis fosil. BBN Biohidrokarbon yang ramah lingkungan dapat langsung digunakan (drop-in) sebagai substitusi BBM fosil tanpa perlu penyesuaian mesin kendaraan. BBN biohidrokarbon dapat dibedakan menjadi green-gasoline, green-diesel, dan bioavtur. “Pemanfaatan energi fosil makin tahun akan makin dikurangi jumlahnya sejalan cadangan energi fosil kita yang semakin terbatas. Oleh karenanya, kita patut bangga bahwa Indonesia adalah negara pertama yang berhasil mengimplementasikan B30 dengan bahan baku utama bersumber dari kelapa sawit,” imbuhnya. Melalui Webinar ini Prahoro berharap dapat menambah wawasan masyarakat dalam menyongsong era biohidrokarbon di indonesia. Tatang Hernas Soerawidjaja Ketua Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia (IKABI)/ITB menyampaikan bahwa Abad ke-20 adalah abad perekonomian hidrokarbon, minyak bumi, alias sumber daya hidrokarbon fosil, adalah penggerak utama pertumbuhan ekonomi dunia Energi adalah darah atau oksigennya perekonomian dan minyak bumi adalah sumber daya utama energi di abad ke-20. Berkembang pesatnya pembangunan Indonesia di era Orde Baru (1967 – 1998) juga karena negara kita memanfaatkan minyak bumi sebagai basis pertumbuhan ekonomi. Di masa itu Indonesia adalah negara pengekspor netto minyak bumi. “Sejak 2004 negara kita telah menjadi importir netto minyak bumi dan impornya melaju cepat dari tahun ke tahun,” katanya.

“Mengapa Tuhan membuat Indonesia lebih cepat mengalami kekurangan minyak bumi?, jawaban saya adalah supaya bangsa indonesia beralih fokus ke kekayaan nabati/hayati yang dianugerahkan kepada kita di tanah air ini dan memanfaatkan sumber daya bahan bakar terbarukan tersebut sebaik-baiknya,” lanjutnya. Indonesia dianugerahi kekayaan nabati luar biasa yang memungkinkannya menjadi pusat biohidrokarbon dunia dan negara maju di era perekonomian berbasis nabati (bio-based economy). Semoga naluri/insting berinovasi anak-anak bangsa indonesia memadai untuk mensumberdayakan kekayaan nabati luar biasa tersebut menjadi penggerak pertumbuhan tangguh dan pesat perekonomian negeri. “Pengembangan Bahan Bakar Nabati Energi dimaksudkan mengurangi ketergantungan pada impor minyak dan untuk menggantikan bahan bakar minyak jenis solar dan bensin. Untuk bahan bakar minyak jenis minyak solar, telah disubstitusi sampai 30% (B30),” ujar Lies Aisyah. Kebijakan mandatori biodiesel dan pengembangan biohidrokarbon/green fuels mutlak dilakukan untuk mendorong ketahanan energi nasional, penghematan devisa negara dan pengurangan emisi CO2. Penyusunan arah kebijakan biohidrokarbon dan perumusan standar dan mutu (spesifikasi) green fuel menjadi prioritas utama. “Produk hasil co-processing RU II Dumai (Co-processing 12,5% sawit untuk menghasilkan minyak solar) serta RU III Plaju (Co-processing 7,5% dan 15% sawit untuk menghasilkan bensin) memiliki karakteristik dan spesifikasi sesuai bahan bakar eksisting dan dapat dikomersialisasikan,” ungkapnya. Sementara itu, Andianto Hidayat mengatakan,Green Diesel Pertamina/D100, sejak tahun 2010 mulai menjajaki teknologi pengolahan bahan baku nabati dari Palm Oil (CPO, RBDPO, UCO dan sejenisnya) menjadi bahan bakar berkualitas tinggi. RBDPO 100% dengan hydrogen dan katalis khusus menghasilkan produk Green Diesel D100. “Pertamina perlu dukungan dari pemerintah untuk membangun kilang pengolahan atau refinery untuk memproduksi green diesel,” imbuhnya. PPSDM KEBTKE berkomitmen dan mendukung, pada zona Integritas untuk menuju WBK (Wilayah Bebas Korupsi) dan WBBM (Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani). Melalui ‘GOOD GOVERNANCE AND CLEAN GOVERNMENT’, ragam upaya peningkatan layanan dilaksanakan di semua lini. PPSDM KEBTKE siap melayani kebutuhan pengembangan sumber daya manusia bidang ketenagalistrikan, energi baru, terbarukan dan konservasi energi.

https://www.merdeka.com/uang/ppsdm-kebtke-gelar-webinar-menyongsong-era-biohidrokarbon-di-indonesia.html

Neraca.co.id | Rabu, 4 November 2020

Inovasi Green Energy Atasi Keterbatasan Energi

PT Pertamina (Persero) terus memastikan pengembangan program Green Energy berjalan sesuai visi pemerintah untuk menciptakan ketahanan dan kemandirian energi nasional sekaligus menjawab tantangan transisi energi ke depan. Berbagai inovasi dengan memanfaatkan teknologi terkini dilakukan Pertamina dalam pemanfaatan potensi energi baru terbarukan (EBT) yang berlimpah di Indonesia.  Pada Juli 2020, Pertamina sukses melakukan uji coba produksi Green Diesel (D100) di Kilang Dumai sebesar 1.000 barel. Sebelumnya di Maret 2020, juga telah dilakukan ujicoba co-processing Green Gasoline di Kilang Cilacap. Uji coba juga akan berlanjut untuk co-processing Green Avtur yang ditargetkan pada akhir 2020. Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman mengatakan, produk Green Diesel D100 yang 100% dan Green Gasoline/Green Avtur diolah dari bahan dasar kelapa sawit. Produk ini pun direaksikan menggunakan katalis Merah Putih yang diproduksi Research & Technology Center (RTC) Pertamina bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB). “Setelah uji coba produk Green Diesel D100 di kilang Dumai berikut Green Fuel atau Green Avtur di Kilang Cilacap, Pertamina juga bersinergi dengan BUMN lain dan juga juga Perguruan Tinggi akan membangun pabrik katalis yang akan mendorong TKDN di industri migas dan kimia sehingga akan mengurangi defisit transaksi negara dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasiona,” ungkapnya.

Hal ini pun dijalankan pararel dengan project pembangunan Standalone Biorefinery di Cilacap maupun di Plaju. “Pertamina tetap berkomitmen untuk selalu berinovasi dalam mencipatakan produk yang lebih berkualitas dan ramah lingkungan,” ujar Fajriyah. Tak hanya itu, Subholding Power and New & Renewable Energy Pertamina yaitu PT Pertamina Power Indonesia (PPI) juga memiliki portofolio proyek Energi Bersih yang beragam. Salah satunya yang sedang dalam proses konstruksi adalah Proyek Independent Power Producer (IPP) LNG-to-Power Jawa-1 dengan kapasitas 1760 Mega Watt (MW), yang berlokasi di Cilamaya, Karawang, Jawa Barat. Sampai dengan Januari 2020, progress proyek telah mencapai 87,5% dan ditargetkan mencapai COD pada tahun 2021. Selain IPP Jawa-1, beberapa proyek yang telah dioperasikan PPI antara lain Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan kapasitas 4 MW, berlokasi di area Kilang LNG Badak, Kalimantan Timur, kemudian Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg), yang berasal dari pengolahan limbah kelapa sawit dengan kapasitas 2.4 MW yang merupakan hasil kerjasama antara PPI dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III, serta Proyek Pengoperasian dan Perawatan (O&M) PLTBg milik PTPN II di area Kwala Sawit dan Pagar Merbau, Sumatera Utara, dengan total kapasitas 2 MW PPI juga melakukan pengembangan PLTS di SPBU-SPBU Pertamina sebagai bagian dari optimalisasi bauran energi di wilayah operasi Pertamina. Untuk tahun 2020 ini masih ditargetkan sebanyak 50 SPBU dan akan bertambah ke depannya.  “Sampai saat ini, PPI telah membuktikan kompetensi dan kapabilitasnya sebagai penyedia Energi Bersih. Ke depan, perusahaan akan terus memperluas komitmen pengembangan Energi Bersih, baik untuk kebutuhan di luar Pertamina, maupun di internal di lingkungan Pertamina sendiri,” tambah Fajriyah.

Dalam mengantisipasi trend energi masa depan, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir sendiri mendukung sepenuhnya langkah Pertamina untuk melakukan transformasi ke Green Energy. Transformasi energi sudah diimplementasikan Pertamina melalui program B30, serta percepatan program gasifikasi batu bara menjadi metanol dan dimethyl ether (DME) yang bisa mengurangi impor LPG yang sudah mencapai enam juta metrik.  Selain itu, Erick Thohir dan Kementerian BUMN terus mendorong transformasi BUMN bidang energi, termasuk mendorong terwujudnya kerja sama Pertamina dengan beberapa BUMN dalam pengembangan bisnis baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV) yang dipercaya sebagai sumber energi di masa depan. Seperti diketahui, berhasil melakukan lompatan besar dengan sukses melakukan uji coba produksi Green Diesel D100 sebesar 1.000 barel per hari di Kilang Dumai, Riau, pada Juli lalu. Produksi D100 menggunakan bahan baku 100% minyak sawit tersebut menjadi kado Pertamina menjelang HUT Ke-75 Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2020. Presiden Republik Indonesia (RI), Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan dalam pidato kenegaraan pada Jumat 15 Agustus 2020, bahwa upaya besar telah dan sedang dilakukan dalam membangun kemandirian energi. “Tahun 2019, kita sudah berhasil memproduksi B20, dan tahun ini (2020) sudah mulai B30, sehingga bisa menekan impor minyak,” ujar Presiden Jokowi. Presiden Jokowi, mengapresiasi Pertamina yang telah bekerja sama dengan para peneliti ITB untuk memproduksi katalis merah putih sebagai komponen utama dalam pembuatan D100 yang akan menyerap minimal 1 juta ton sawit produksi petani per harinya. “Hilirisasi bahan mentah yang lain juga terus dilakukan secara besar-besaran. Batubara diolah menjadi metanol dan gas dan beberapa kilang dibangun untuk mengolah minyak mentah menjadi minyak jadi, dan sekaligus menjadi penggerak industri petrokimia yang memasok produk industri hilir bernilai tambah tinggi,” imbuh Presiden Jokowi. Menurut Presiden Jokowi, hal ini akan memperbaiki defisit transaksi berjalan, meningkatkan peluang lapangan kerja dan mulai mengurangi dominasi energi fosil.

https://www.neraca.co.id/article/138433/inovasi-green-energy-atasi-keterbatasan-energi

Kontan.co.id | Rabu, 4 November 2020

Dharma Satya (DSNG) pasok cangkang untuk pembangkit tenaga biomassa milik Erex Jepang

Emiten perkebunan dan pengolahan sawit PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG) mendirikan perusahaan patungan ( joint venture) dengan eREX Singapore Pte. Ltd. (Erex Singapore) pada 8 Oktober 2020. Perusahaan patungan berbentuk penanaman modal asing berdomisili di Indonesia ini diberi nama PT Dharma Sumber Energi (DSE). Pendirian ini dilakukan melalui anak usaha DSNG, yakni PT Dharma Energi Investama. Sementara Erex Singapore adalah entitas usaha dari eREX Co. Ltd., Jepang (Erex Jepang). Perusahaan joint venture ini memiliki modal dasar Rp 15 miliar dengan modal ditempatkan dan disetor penuh sebesar Rp 12,3 miliar. Dharma Energi Investama menggenggam kepemilikan senilai Rp 8,24 miliar atau 67%, sementara Erex Singapore Rp 4,06 miliar atau setara 33%. Berdasarkan keterbukaan informasi DSNG, Rabu (4/11), DSE akan bekerjasama dengan Erex Singapore untuk menyediakan cangkang kelapa sawit (palm kernel shell) sebagai bahan baku pembangkit tenaga biomassa milik Erex Jepang. Cangkang kelapa sawit ini berasal dari beberapa pabrik kelapa sawit (PKS) DNSG.  “Volume cangkang yang dihasilkan mencapai 70.000 ton per tahun untuk jangka waktu 15 tahun dengan total nilai transaksi kurang lebih USS 7,14 juta,” kata manajemen DSNG. Menurut manajemen, kerjasama ini merupakan salah satu kebijakan keberlanjutan berupa pemanfaatan limbah hasil produksi crude palm oil (CPO) menjadi sesuatu yang bernilai ekonomis. Selama ini, cangkang kelapa sawit hanya menjadi bahan bakar untuk boiler PKS maupun kernel crushing plant. Di samping itu, kerja sama ini juga dapat mengurangi emisi gas rumah kaca yang berasal dari janjang kosong (jangkos) yang semula ditabur sebagai pupuk organik. Pasalnya, saat ini, janjang kosong diolah menjadi bahan bakar biomassa untuk boiler di PKS sebagai pengganti cangkang.https://investasi.kontan.co.id/news/dharma-satya-dsng-pasok-cangkang-untuk-pembangkit-tenaga-biomassa-milik-erex-jepang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *