Pemerintah Mulai Distribusi B35 Memastikan Mutu Layak Guna
Kompas.com | Kamis, 9 Februari 2023
Pemerintah Mulai Distribusi B35 Memastikan Mutu Layak Guna
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan akan terus menjaga mutu dan kualitas dari bahan bakar minyak hasil percampuran minyak nabati ke Solar sebesar 35 persen atau B35. Sehingga tujuan dari penggunaannya, yaitu menekan tingkat emisi CO2 yang dihasilkan dari kendaraan bermotor diesel seraya meningkatkan nilai jual industri kelapa sawit, bisa dicapai secara maksimal. “Bahan bakar jenis solar B35 sudah mulai diimplementasikan pada 1 Februari 2023. Jadi kualitas mutunya menjadi perhatian kami,” kata Kepala Direktorat Jenderal Minyak Dan Gas Bumi (LEMIGAS) Kementerian ESDM Ariana Soemanto dalam keterangannya, Rabu (8/2/2023). Biodiesel dan minyak solar, lanjut dia, sebenarnya punya karakteristik yang cukup mirip. Sehingga penerapan pencampurannya dapat diimplementasikan hingga 35 persen, beriringan dengan peningkatan kualitas biodiesel dan pengembangan spesifikasi bahan bakar agar diperoleh kualitas dan mutu yang optimum. Meskipun demikian, terdapat perbedaan karakteristik yang cukup penting untuk terus diperhatikan dan dikaji secara komprehensif seperti sifat higroskopis, efek pelarutan, stabilitas oksidasi, potensi presipitasi hingga isu penyumbatan filter. “Penggunaan aditif untuk bahan bakar campuran B35 dapat dilakukan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kualitas bahan bakar tersebut,” ujar Ariana. “Seperti aditif jenis cold-flow improver atau CFI yang digunakan untuk memperbaiki karakteristik bahan bakar B35”, tambahnya. Laboratorium Bahan Bakar dan Aviasi Aplikasi Produk LEMIGAS sendiri, saat ini mampu melakukan pengujian dan analisis terkait dengan sistem filtrasi. Diantaranya Filter Blocking Tendency (FBT) dan Particle Sizing and Counting (Cleanliness). Dalam kesempatan terpisah, Koordinator Pengujian Aplikasi Produk LEMIGAS Cahyo Wibowo menambahkan, pengujian FBT mengacu metode standar ASTM D2068 dengan menghitung tekanan dan laju alir bahan bakar yang menunjukkan nilai potensi pemblokiran filter. Sementara pengujian cleanliness, akan mengacu metode standar ASTM D7619 dengan menghitung jumlah dan ukuran partikel terdispersi, tetesan air dan partikel lainnya pada bahan bakar. Hasil pengujian yang dicatat berupa jumlah partikel pada setiap ukuran (cleanliness yang mengacu pada ISO 4406. Kedua parameter uji digunakan sebagai evaluasi kualitas mutu bahan bakar pada kinerja sistem filtrasi dan potensi pemblokiran filter. Pemanfaatan dan implementasi penggunaan bahan bakar nabati (biodiesel) akan masih berlanjut menuju perbaikan mutu kualitas bahan bakar, serta sistem penanganan dan penyimpanan bahan bakar. “Laboratorium uji LEMIGAS siap terus mendukung melalui layanan pengujian kualitas mutu bahan bakar dalam program pemanfaatan biodiesel,” kata Ariana lagi.
Rakyat Merdeka | Kamis, 9 Februari 2023
Belum Ada Di Negara Lain
MULAI diterapkan, program campuran solar dengan biodiesel sebesar 35% (B35) pada ba-han bakar solar diyakini memberikan banyak manfaat. Program ini berjalan mulus sepeiti program pendahulunya yaitu B30. Program ini diyakini dapat menghemat devisa hingga Rp 161,25 triliun. Penghematan ini terjadi karena berkurangnya volume impor solar disebabkan kandungan biodiesel yang meningkat. Indonesia termasuk negara yang berani membuat kebijakan ini mengingat penerapan biodiesel di negara lain sampai saat ini hanya sekitar 10%. Setelah melalui uji coba dengan memperhatikan seluruh aspek, seperti daya kendaraan, mesin, material, pelumas, mang bakar, termasuk emisi, dan uji jalan, B35 dinyatakan sudah bisa dibeli mulai 1 Februari 2023. “Kesiapan program B35 merupakan keterlibatan dari berbagai pihak dengan melakukan kajian secara terbuka, transparan, dan objektif,” kata Direktur Jenderal Energi Baru. Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kus-diana, pekan lalu. Program serupa belum diterapkan di negara lain sehingga Indonesia menerapkan ini tanpa melihat dan mencontek negara lain. Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Yohane Nagoi mengungkapkan, kekhawatiran bahwa produk campuran B35 memiliki titik beku lebih tinggi karena ada kandungan minyak nabati di dalamnya tidak terbukti. “Setelah uji coba di Dieng nyatanya aman saja, di Bromo juga aman, tidak ada masalah,” ujar Yohane.
CNNIndonesia.com | Kamis, 9 Februari 2023
BPDPKS Bantah Tudingan Petani Program B35 Untungkan Wilmar Cs
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) membantah tudingan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) yang menyebut dana subsidi dan program B35 menguntungkan raksasa korporasi seperti Wilmar yang meraup Rp14 triliun. Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman menegaskan penyaluran subsidi selisih harga indeks pasar (HIP) biodiesel dan solar dengan pungutan ekspor kepada perusahaan sawit adalah hal yang berbeda . “Tidak ada kaitannya antara pungutan ekspor dengan produksi ini. Itu berdiri sendiri-sendiri. Saya tekankan berdiri sendiri-sendiri. Banyak perusahaan biodiesel yang bukan eksportir,” kata Eddy di Mandarin Oriental Hotel, Jakarta Pusat, Kamis (9/2). “Jangan membeda-bedakan antara biodiesel sama peremajaan sawit rakyat (PSR). Berapa pun sekarang ini tadi yang diperlukan untuk PSR akan kami kasih, sepanjang itu bisa terserap. Masalahnya gini loh, misal alokasikan Rp50 triliun, tapi kamu (petani) cuma bisa menyerap Rp1 triliun. Kan gak ada gunanya Rp50 triliun itu,” sambungnya. Eddy menegaskan uang subsidi itu bukan untuk kepentingan pengusaha. Menurutnya, subsidi justru menjaga agar harga biodiesel dan solar di masyarakat terjangkau. Ia juga membantah tudingan SPKS bahwa arah kebijakan hingga anggaran BPDPKS dipengaruhi nama-nama besar pimpinan perusahaan sawit. SPKS sebelumnya menuding 4 nama pengusaha sawit secara spesifik, yakni Freddy Widjaja, TP Rachmat, Martias Fangiono, dan Martua Sitorus main mata di Komite Pengarah BPDPKS. “Tidak ada. Komite Pengarah itu terdiri hanya 8 menteri. Yang perusahaan-perusahaan itu narasumber disebutnya. Narasumber itu apabila diperlukan, termasuk petani. Apkasindo (petani sawit) itu juga narasumber. Oh tidak menentukan. Seperti Anda bilang ke saya ‘Pak lewat sini’, saya bilang ‘Ah, gak mau’. Gak menentukan dong,” tegas Eddy. Sebelumnya, Sekretaris Jenderal SPKS Nasional Mansuetus Darto mengkritik pemerintah, termasuk BPDPKS. Ia menuturkan selain Wilmar, Musim Mas juga menjadi perusahaan yang paling banyak mendulang keuntungan dari program tersebut. Hal tersebut ia ungkapkan dalam peluncuran laporan yang berjudul “Raksasa Penerima Subsidi”. Darto menyebutkan perhitungan tersebut dilakukan SPKS berdasarkan subsidi harga indeks pasar (HIP) biodiesel yang diberikan BPDPKS dikurangi pungutan ekspor yang dibebankan kepada perusahaan. Data yang digunakan adalah periode 2019 hingga 2021. Pada 2021, penggunaan dana BPDPKS untuk pembayaran selisih harga biodiesel mencapai Rp51 triliun atau 97,09 persen dari total realisasi belanja BPDPKS. “Perusahaan yang paling untung itu adalah Wilmar. Dia dipungut kurang lebih hanya sekitar Rp7 triliun dan kemudian mendapatkan subsidi kurang lebih Rp22 triliun. Artinya ada sekitar Rp14 triliun dia memperoleh keuntungan, bukan lagi subsidi, tapi keuntungan dari proyek biodiesel yang dikembangkan oleh Wilmar tersebut,” kata Darto di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (7/2). Secara rinci, SPKS mencatat Wilmar mendapatkan subsidi dari BPDPKS sebesar Rp22,14 triliun. Sedangkan pungutan ekspor yang dibebankan hanya Rp7,71 triliun. Dengan begitu, Wilmar untung Rp14,42 triliun. Urutan kedua penerima subsidi terbesar adalah Musim Mas. Darto menjelaskan perusahaan ini dipungut biaya ekspor Rp10,23 triliun, tapi masih mendapatkan untung sekitar Rp1 triliun karena subsidi yang diterima mencapai Rp11,15 triliun. “Dari total dua belas kelompok korporasi yang menerima subsidi biodiesel selama 2019 hingga 2021, sembilan kelompok korporasi menerima keuntungan, antara lain Wilmar, Musim Mas, Sinar Mas, Permata Hijau, Darmex Agro, Louis Dreyfus, Sungai Budi, Best Industry, dan Jhonlin,” tulis laporan tersebut. Darto menyebut hanya dua kelompok korporasi yang tidak untung dari program B35 ini, yakni Royal Golden Eagle dan KPN Crop. Sementara itu, satu perusahaan bernama First Resources tidak bisa dikategorikan untung atau tidak karena data transaksi ekspornya tidak diketahui.
Merdeka.com | Kamis, 9 Februari 2023
Program B35 Dituding Hanya Untungkan Pengusaha Sawit Besar, Dirut BPDPKS Buka Suara
Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Eddy Abdurrachman menanggapi tudingan dari petani sawit yang menyebut bahwa program biodiesel 35 persen atau B35 hanya menguntungkan pengusaha sawit besar. Dia menegaskan bahwa, pemerintah tidak membedakan antara kepentingan pengusaha besar dan petani sawit. Termasuk dalam program B35 yang mencampur 35 persen komposisi minyak sawit dengan biodiesel, atau Solar. “Kita jangan membeda-bedakan antara biodiesel sama peremejaan sawit rakyat (PSR). Berapa pun sekarang ini tadi yang diperlukan untuk PSR kita akan kasih, sepanjang itu bisa terserap,” ujar Eddy saat ditemui di Mandarin Oriental Hotel, Jakarta, Kamis (9/2). Eddy pun menjelaskan alasan kenapa mayoritas dana pungutan ekspor minyak sawit mentah (CPO) disalurkan untuk subsidi biodiesel. Dia menjelaskan, uang itu untuk membayar kompensasi untuk selisih harga Solar yang tetap di tengah kenaikan harga CPO. “Jadi alokasi anggaran BPBDPKS yang menentukan Komite Pengarah, itu didasarkan kepada kebutuhan dan kemampuan penyerapan. Itu tergantung perbedaan antara harga, selisih harga. Kalau harga minyak sawit CPO itu naik, Solarnya turun, kan semakin besar,” terangnya. “Selisih harga tadi, subsidi itu bukan untuk kepentingan pengusaha. Itu justru untuk menjaga agar biodiesel, harga Solarnya di masyarakat affordable. Si pengusahanya tadi hanya selisihnya. Dia memproduksi harganya ditetapkan Rp11.000, tetapi dia harus menjual ke Pertamina, misalnya Rp9.000,” jelas Eddy. Dia meminta semua kelompok untuk melihat kepentingan dari program B35 ini, termasuk untuk petani sawit. Sebagai contoh, serapan CPO dalam program B30 untuk 2022 sebesar 10 juta metrik ton. “Anda bisa bayangkan seandainya program biodiesel tidak ada, kemana 10 juta metrik ton tadi? Apa dampaknya kalau supply-nya lebih banyak daripada demand? Turun kan harganya. Siapa yang akan menanggung kerugian itu? Para petani,” ungkapnya. “Jadi tidak ada kaitannya antara pungutan ekspor dengan produksi ini. Itu berdiri sendiri-sendiri. Saya tekankan, berdiri sendiri-sendiri. Banyak perusahaan biodiesel yang bukan eksportir,” tegas Eddy. Sebelumnya, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) merilis laporan, program biodiesel sejak masih B30 hanya bisa dinikmati sedikit korporasi besar yang menguasai industri sawit dari hulu ke hilir. Pernyataan itu dikemukakan, pasca mendapati temuan BPDPKS sukses menghimpun dana pungutan ekspor pada 2019-2021 sebesar Rp70,99 triliun. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp66,78 triliun atau 94,07 persen mengalir ke program biodiesel. SPKS menilai, itu berbanding terbalik dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Aturan ini menyebut, penghimpunan dana ditujukan untuk mendorong pengembangan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan. Pengembangan kelapa sawit berkelanjutan antara lain, mendorong penelitian dan pengembangan, promosi usaha, meningkatkan sarana prasarana pengembangan industri, pengembangan biodiesel, replanting, peningkatan jumlah mitra usaha dan jumlah penyaluran dalam bentuk ekspor, serta edukasi sumber daya masyarakat mengenai perkebunan kelapa sawit. Tapi kenyataannya, dana hasil pungutan ekspor minyak sawit mentah masih jauh lebih banyak diprioritaskan untuk memberi subsidi kepada pengusaha yang terlibat di program biodiesel, ketimbang petani sawit.