Pengembangan Biodiesel Tak Terhenti Meski Ada Pandemi
Jawapos.com | Kamis, 5 November 2020
Pengembangan Biodiesel Tak Terhenti Meski Ada Pandemi
Sebagai komoditas strategis, kelapa sawit memberikan banyak kontribusi terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Bahkan di tengah pandemi Covid-19 ini, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sektor kelapa sawit masih memberikan andil terhadap pemasukan devisa sebesar USD 13 miliar hingga Agustus. Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurachman menuturkan, kinerja sektor sawit masih bisa diandalkan di tengah pandemi, saat komoditas lain seperti migas, batubara, dan pariwisata, turun. Di samping sebagai sumber penerimaan devisa, sawit juga terbukti dapat mengurangi impor minyak dan menekan defisit neraca perdagangan. “Tahun 2019, nilai ekspornya (di luar produk oleokimia dan biodiesel) mencapai USD 15,57 miliar, atau sekitar Rp 220 triliun. Ini melampaui ekspor dari sektor migas maupun sektor nonmigas lainnya,” katanya dalam webinar yang digelar BPDPKS beberapa waktu lalu. Eddy menambahkan, perkebunan dan industri sawit juga berkontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja, mulai dari petani, pekerja pabrik, dan tenaga lainnya yang masih dalam rantai produksi kelapa sawit, dari kebun hingga produk akhir. BPDPKS mencatat setidaknya ada 4,2 juta pekerja langsung, dan 16 juta tenaga kerja tidak langsung yang menggantungkan hidup dari sektor ini. Lebih dari itu, sawit juga berperan sebagai alternatif energi terbarukan, melalui produk biodiesel. Sejak awal tahun ini, mandatori B30 (biodiesel campuran 30 persen FAME) terus digalakkan oleh pemerintah. Bahan bakar nabati ini diklaim lebih ramah lingkungan dibandingkan fossil fuel. Catatan Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), sepanjang tahun lalu volume produksi B20 mencapai 6,37 juta kiloliter atau setara 40 juta barel minyak. Volume sebanyak ini setara dengan 50 hari kerja Pertamina. Ketua Harian Aprobi Paulus Tjakrawan menuturkan, volume produksi sebanyak itu dihasilkan dari 19 perusahaan yang memiliki 11,6 juta kiloliter kapasitas terpasang. Jumlah tenaga kerja yang diserap di hulu mencapai 650.000 orang. “Ini mengurangi 17 juta ton CO2 ekuivalen, atau 44 persen dari target pengurangan emisi gas rumah kaca di sektor energi dan transportasi,” kata Paulus dalam kesempatan sama.
Di tengah pandemi Covid-19, Paulus memproyeksikan ada sedikit penurunan serapan B30 hingga 10 persen, dari angka semula 9,6 juta kiloliter. Kendati demikian, dia memastikan program mandatori biodiesel ini tetap berjalan, melihat upaya-upaya serius pemerintah dalam mencapai target Perjanjian Paris (Paris Agreement). Saat ini, lanjut Paulus, sedang diadakan studi untuk pengembangan B40 dan B50. Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sendiri tengah menguji dua formulasi B40. Pertama yaitu campuran 60 persen solar dengan 40 persen FAME. Kedua yaitu campuran 60 persen solar dengan 30 persen FAME dan 10 persen DPME. “Kami sedang rapat-rapat terus dengan Pertamina, ITB, LIPI, BPPT, Lemigas, Balitbang ESDM untuk B40. Dan bahkan sore tadi kami rapat untuk bahan bakar untuk gas turbin, karena banyak pembangkit sekarang pakai gas turbin. Nggak pakai diesel,” terang Paulus. Ke depan, produk turunan kelapa sawit akan berkembang menjadi berbagai bahan bakar ramah lingkungan, seperti green diesel, gasoline biocarbon, dan lain sebagainya. Terpisah, Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM, Ida Nuryatin Finahari menyampaikan, pemerintah menargetkan emisi gas rumah kaca turun sebesar 314 juta ton CO2 ekuivalen pada 2030. Komitmen pemerintah tersebut sesuai dengan Ratifikasi Paris Agreement yang disepakati pada saat perhelatan Conference on Parties (COP) 22 di Morocco, November 2016 lalu. “Estimasi kebutuhan investasinya mencapai Rp 3.500 triliun,” katanya dalam sebuah webinar belum lama ini. Sementara itu, Menteri ESDM Arifin Tasrif menyampaikan, pemanfaatan biodiesel merupakan bentuk nyata partisipasi aktif Indonesia dalam aksi penurunan emisi gas rumah kaca global. Pemerintah juga telah menemukan katalis yang efektif dalam proses produksi fraksi (jenis bentukan) minyak bumi dengan bahan bakar minyak sawit atau green fuels di kilang Pertamina, yakni Katalis Merah Putih. Pabrik katalis akan didirikan oleh sebuah perusahaan patungan atau Joint Venture Company (JVC) tahun ini. Arifin menyampaikan, katalis merupakan suatu bagian yang penting untuk mempercepat reaksi proses pembentukan produk akhir. “Hampir seluruh industri proses, baik industri kimia, petrokimia, oleokimia, termasuk di dalamnya teknologi energi terbarukan berbasis biomassa dan nabati memerlukan katalis,” kata Arifin di Institut Teknologi Bandung (ITB). Arifin menambahkan, penguasaan teknologi katalis menjadi langkah awal bagi kemandirian dalam bidang teknologi proses. Hal ini sejalan dengan kebutuhan katalis nasional selama tiga tahun terakhir yang mengalami peningkatan cukup signifikan. “Tahun 2017 sebesar USD 500 juta, sementara pada tahun 2020 tumbuh kurang dari 6 persen per tahun menjadi USD 595,5 juta,” katanya. Arifin optimistis, keberadaan pabrik katalis nasional akan menjadi kunci teknologi proses. Keberadaan pabrik katalis sekaligus memperkuat industri proses dalam negeri sehingga mengurangi impor katalis.
Jawapos.com | Kamis, 5 November 2020
Kejar Target Pengurangan Emisi 2030 Melalui Konsumsi Biodiesel
Indonesia berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca hingga tahun 2030 sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional. Ditargetkan, emisi gas rumah kaca turun sebesar 314 juta ton CO2 pada 2030. Komitmen pemerintah tersebut sesuai dengan Ratifikasi Paris Agreement yang disepakati pada saat perhelatan Conference on Parties (COP) 22 di Morocco, November 2016 lalu. Dalam dokumen terkait Circular Carbon Economy (CCE) Platform, Menteri Energi negara-negara G20 sepakat bahwa biofuel adalah salah satu komponen penting untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Sebagaimana diketahui, saat ini pemerintah Indonesia tengah mengupayakan kemandirian dan kedaulatan energi nasional dengan mendorong pemanfaatan biofuel. Adapun salah satu inovasi yang berhasil dilakukan yaitu penerapan biodiesel 30 persen atau B30 di sektor transportasi. Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan menyampaikan, pihaknya memproyeksikan produksi B30 tahun ini mencapai 9,6 juta kiloliter atau setara dengan 60 juta barel minyak. “Kita tahu industri migas kita itu 750.000 barel per hari. Jadi, 60 juta barel itu kira-kira 80 hari kerja Pertamina,” katanya dalam webinar yang digelar BPDPKS beberapa waktu lalu. Dengan volume produksi B30 mencapai 9,6 juta kiloliter, diharapkan Pertamina dapat mengurangi impor migas senilai USD 5 miliar. Catatan Aprobi, pemakaian B20 sepanjang 2019 yang mencapai 6,4 juta kiloliter telah berkontribusi terhadap pengurangan impor migas hingga USD 3,3 miliar. Lebih lanjut Paulus menerangkan, volume produksi sebesar 9,6 juta kiloliter tahun ini dihasilkan oleh 19 perusahaan dengan 11,6 juta kiloliter kapasitas terpasang, dan mempekerjakan sekitar 795.000 tenaga kerja hulu serta 10.000 tenaga kerja di hilir. “Kontribusi terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca tahun ini diproyeksikan 26 juta ton CO2 ekuivalen, atau 68 persen dari target pengurangan emisi di sektor energi dan transportasi yang sebesar 0,038 giga ton ekuivalen. Besar sekali,” imbuh Paulus.
Sementara untuk target 2030, yakni emisi gas rumah kaca harus turun sebesar 314 juta ton CO2, Aprobi memperkirakan produksi B30 tahun ini sudah mencapai 8,8 persen dari target. Meski menunjukkan kontribusi yang positif, kata Paulus, Aprobi melihat masih ada sejumlah tantangan dalam optimasi penggunaan biodiesel di Tanah Air. Pandemi Covid-19 telah menurunkan konsumsi energi. Serapan B30 yang diperkirakan mencapai 9,6 juta kiloliter untuk domestik diperkirakan berkurang 10 persen. “Tapi kita lihat perkembangan bulan ini, bulan depan, sampai akhir tahun,” ungkapnya. Tantangan lainnya adalah menjaga kualitas biodiesel. Paulus menuturkan, kualitas bahan bakar nabati ini selalu disesuaikan dari tahun ke tahun, sesuai dengan perkembangan campurannya. Saat ini, pemerintah dan pemangku kepentingan tengah mengembangkan B40 dengan dua formulasi. Pertama yaitu campuran 60 persen solar dengan 40 persen FAME. Kedua yaitu campuran 60 persen solar dengan 30 persen FAME dan 10 persen DPME. Paulus juga mencermati belum adanya undang-undang energi terbarukan yang dapat menjadi payung hukum dalam mendorong pemanfaatan biodiesel. Filipina, kata dia, telah memiliki Biofuel Act sejak 2007. Di sisi lain, harga energi terbarukan yang lebih tinggi dari energi konvensional juga menjadi tantangan yang harus dicarikan jalan keluarnya. Begitu pula dengan hambatan perang dagang, dimana diketahui saat ini melalui Indonesia tengah melawan sejumlah negara yang melayangkan tuduhan subsidi dan dumping. Paulus berharap, dari sejumlah tantangan yang ada, pemerintah tak gentar untuk meneruskan mengembangan bahan bakar nabati. Gap antara harga solar dan biodiesel didorong semakin tipis, agar masyarakat mau beralih ke energi yang lebih bersih sehingga mencapai target Paris Agreement. “Dukungan anggaran pemerintah sangat penting, karena ini program pemerintah. Tidak bisa hanya diserahkan ke swasta, BPDPKS, dan melalui pungutan sawit. Ini memang harus kebijakan,” ucap Paulus. “Kalau BBM dapat subsidi, kenapa ini tidak? Mungkin ada yang berpikir kalau BBM kan yang menghasilkan Pertamina, milik negara. Tapi (B30) ini kan swasta. Saya pikir nggak begitu cara berpikirnya,” imbuhnya. Dalam kesempatan sama, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman mengatakan, kelapa sawit memberikan peran begitu besar terhadap kehidupan masyarakat Indonesia, baik dari segi ekonomi, sosial, maupun ketahanan energi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor kelapa sawit (di luar produk oleokimia dan biodiesel) sepanjang 2019 mencapai USD 15,57 miliar, atau sekitar Rp 220 triliun. “Pada masa pandemi Covid-19, sektor sawit juga terbukti mampu bertahan dan tetap menyumbangkan devisa ekspor sekitar USD 13 miliar per Agustus 2020, di tengah lesunya sektor-sektor penghasil devisa lainnya seperti migas, batubara, dan pariwisata,” kata Eddy. Sawit sebagai sumber bahan baku biodiesel juga berkontribusi nyata terhadap ketergantungan negara atas impor minyak dan mengurangi defisit neraca perdagangan. Eddy menambahkan, sawit sebagai alternatif sumber energi terbarukan sayangnya seringkali dihantam isu dan kampanye negatif. Padahal, isu tersebut sejatinya hanyalah perang dagang komoditas minyak nabati dunia, seperti minyak kedelai, minyak rapeseed, minyak bunga matahari, dan lainnya. “Ini sungguh paradoks, dimana komoditas hasil negeri sendiri yang memberikan kontribusi begitu besar, justru belum dipahami dan malah banyak dikritik oleh masyarakat dalam negeri sendiri,” tukas Eddy.
Merahputih.com | Kamis, 5 November 2020
Bauran Energi Sawit Buat Turunkan Emisi Gas Rumah Kaca
Sudah hampir satu tahun, presiden Joko Widodo meluncurkan penggunaan bahan bakar campuran sawit atau Biodiesel 30 (B30) di Stasiun Pengisian Bahan Bakar (SPBU) MT Haryono, Tebet, Jakarta Selatan, Jakarta. Peluncuran tersebut, bikin Presiden Jokowi puas dan tersenyum, karena pengunaan B30 lebih cepat dari target yang ditetapkannya. Kala itu, Jokowi berharap Program B30 ini bisa maju dan akhir 2019 sudah dimulai karena percobaannya sudah dimulai dari bulan November 2019. Paling tidak, dalam hitungan Jokowi, dana devisa yang bisa menghemat Rp63 triliun dari pembelian minyak bumi di 2020 ini. Kini, pengunaan B30 tersebut, diklaim bukan hanya berdampak positif pada ekonomi nasional, mulai mengurangi impor bahan bakar yang selalu membuat neraca perdagangan defisit dan bikin tekor devisa, keberlanjutan industri sawit, dan dampak pada lingkungan hidup terutama berkurangnya polusi udara dari bahan bakar minyak baik transportasi maupun untuk pembangkit listrik PLN. Paulus Tjakrawan dari Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia memaparkan, jika kebijakan pemerintah dalam bauran energi salah satunya lewat program biodiesel juga sebagai jalan komitmen pemerintah dalam pengurangan emisi gas rumah kaca Program B30 paling tidak, tegas Paulus, bisa mempercepat meningkatkan penggunaan Energi Terbarukan pada bauran Energi Indonesia dari 6 persen di tahun 2013 sampai 23 persen pada tahun 2025, dan 31 persen di tahun 2050. Apalagi jika campuran terus ditingkatkan sampai 50 persen atau B50. “B30 memberikan dampak ketahanan Energi dan terjangkau, berkontribusi pada SDG’s, serta memenuhi NDC serta perubahan Iklim,” katanya. Ia memastikan dengan kondisi saat ini, jika pemeritah menaikan bauran energi menjadi B40 atau B50, tidak perlu tambahan perluasan kebun sawit, yang selalu jadi sorotan. Paling tidak, dari proyeksi dengan B30 bakal berkontribusi pada Nationally Determined Contribution (NDC) sektor energi adalah 8,82 persen. Pemerintah sendiri telah menetapkan efisiensi energi sebesar 17 persen dari Bussiness as Usual (BAU) energi final pada tahun 2025 dengan penyelarasan dari target 23 persen energi baru terbarukan di tahun 2025 termasuk dari bauran minyak bumi dan sawit. Sesuai dokumen NDC sebagai tindak lanjut Paris Agreement yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016, paling tidak Nationally Determined Contribution (NDC) dengan target penurunan emisi sebesar 29 persen dari BAU 2030 dengan upaya sendiri dan sampai dengan 41 persen dengan bantuan internasional. Dalam NDC disebutkan bahwa penurunan emisi di Indonesia berfokus pada 5 (lima) sektor yang berkontribusi dalam upaya penurunan emisi GRK dari BAU 2030 yaitu sektor energi, industri, kehutanan, pertanian dan limbah. Paling tidak, komitmen sektor energi adalah penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 314-398 Juta Ton CO2 pada tahun 2030, target 23 persen EBT dari Bauran Energi Primer, dan 17 persen Efisiensi Energi dari BAU Energi Final.
Adapun aksi mitigasi mendukung penurunan emisi CO2 antara lain penerapan mandatori manajemen energi untuk pengguna padat energi,penyediaan dan pengelolaan EBTKE, pemanfaatan biogas dan biodiesel, serta berbagai program lainnya. Paulus menegaskan, paling tidak pemakaian bauran minyak bumi dan sawit ini, pada tahun 2019, biodiesel Indonesia telah berhasil mengurangi emisi dari minyak solar sebesar 45% atau setara dengan ~17,5 Juta Ton CO2 Equivalent. “Biodiesel menghasilkan emisi gas rumah kaca yang lebih kecil dari penggunaan solar,” ujarnya 22 Oktober 2020. Menteri Keuangan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan Pemerintah Indonesia tetap berkomitmen untuk menangani masalah perubahan iklim. Komitmen itu, tercermin melalui dasar-dasar SDG’s yang menjadi acuan pada anggaran perencanaan pembangunan. Salah satu wujud komitmen pemerintah terhadap perubahan iklim, tegas Sri, telah dinyatakan melalui Paris Agreement yakni Indonesia akan mengurangi CO2 sebesar 26 persen dengan sumber daya sendiri. “Artinya kami akan mengurangi CO2 sebesar 26 persen dengan sumber daya kami sendiri dan hingga 42 persen penurunan dengan dukungan internasional masih terus dilaksanakan secara konsisten,” ujarnya. Indonesia ditegaskan Sri, bercita-cita dapat mencapai 23 persen atau 45 gigawatt (GW) energi terbarukan dalam bauran energi nasional pada 2025 mendatang. Saat ini, Indonesia masih mengelola penggunaan 9,15 persen energi terbarukan di sektor kelistrikan setara dengan 11 persen penggunaan energi terbarukan dari total listrik yang dihasilkan. “Jadi, ini tantangan besar bagi kita untuk mampu mencapai 23 persen bauran energi terbarukan dalam energi nasional kita,” tegasnya.
Indonesia memiliki potensi energi terbarukan sebesar 442,4 GW namun baru digunakan 10,4 GW atau 2,4 persen sehingga perlu kebijakan yang lebih baik. Mendorong ini, kata Sri, pemerintah memberikan insentif perpajakan berupa tax allowance, tax holiday, fasilitas pembebasan impor bagi perusahaan yang berinvestasi di energi terbarukan, dan pembebasan pajak bumi serta bangunan. Paulus pun mendorong hal yang sama terkait energi terbarukan ini, terutama optimalnya penggunaan biodiesel untuk pembakit listrik. Saat ini, produksi biodiesel selama lima bulan pertama 2020 hanya 4,2 juta kilo liter. Padahal, kapasitas 19 badan usaha yang memproduksi Biodiesel mencapai 11 juta kiloliter. “Kuncinya, bagaimana dana kelola perkebunan kelapa sawit, diarahkan untuk pengembangan dan penelitian biodiesel, untuk pemakaian biodisel untuk pembangkit sudah, karena mereka membeli bahan bakar itu dari pertamina, ” ujarnya. Ekonom Indef menegaskan, banyak tantangan untuk industri sawit dalam negeri termasuk pada pengembangan Biodiesel. Jika ingin ekspor, misalnya biodiesel Indonesia dikenakan anti-Dumping dan anti-subsidi oleh Pemerintah Amerika Serikat dan Uni Eropa dengan perhitungan berbeda-beda. Dan pemerintah, tegas ia, telah melakukan upaya banding di DSB WTO dan dalam proses banding di United States Court of International Trade (USCIT) dan langkah pembelaan melalui forum hearing dan penyampaian submisi dengan EU. Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) Eddy Abdurrachman mengatakan, realitas sekarang menunjukkan Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Sehingga, tidak heran banyak serangan yang ingin menjatuhkan Indonesia. Padahal, produk-produk sawit pun telah mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia seperti minyak goreng dari sawit serta berbagai produk lainnya, seperti sabun, shampoo, deterjen, lipstick, produk kosmetik, personal care, roti, coklat, biskuit, krimer, margarin, susu formula bayi, dan sebagainya. “Dengan besarnya peran komoditas sawit tersebut, sangat ironis bahwa kemudian komoditas ini belum menjadi tuan rumah di negeri sendiri,” ujarnya.
BERITA BIOFUEL
Industry.co.id | Kamis, 5 November 2020
Miliki Karakteristik Lebih Baik Dari BBM Fosil, Pemerintah Terus Dorong Pengembangan BBN Biohidrokarbon
Kepala Badan Pengembangan SDM Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Prahoro Yulijanto Nurtjahyo mengatakan, pemerintah berkomitmen untuk mendorong pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) biohidrokarbon yang karakteristiknya sama atau bahkan lebih baik daripada senyawa hidrokarbon atau BBM berbasis fosil. Hal ini disampaikan Kepala Badan Pengembangan SDM Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Prahoro Yulijanto Nurtjahyo pada pembukaan Webinar bertajuk “Menyongsong Era Biohidrokarbon Di Indonesia” yang dilangsungkan secara virtual, Rabu (4/11/2020). “BBN biohidrokarbon yang ramah lingkungan nantinya dapat langsung digunakan sebagai substitusi BBM fosil tanpa perlu penyesuaian mesin kendaraan. BBN biohidrokarbon dapat dibedakan menjadi green-gasoline, green-diesel, dan bioavtur,” ungkap Parhoro pada Webinar ‘Menyongsong Era Biohidrokarbon Di Indonesia’ , Rabu (4/11/2020). Sementara itu, Ketua Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia (IKABI), Tatang Hernas Soerawidjaja menyampaikan bahwa Indonesia dianugerahi kekayaan nabati luar biasa yang memungkinkannya menjadi pusat biohidrokarbon dunia dan negara maju di era perekonomian berbasis nabati (bio-based economy). “Semoga inovasi anak-anak bangsa indonesia memadai untuk memberdayakan kekayaan nabati luar biasa ini guna menjadi potensi penggerak pertumbuhan tangguh dan pesat perekonomian negeri kelak,” tutur Tatang. Pada kesempatan yang sama, Lies Aisyah, Peneliti – PPTMGB Lemigas mengharapkan pengembangan Bahan Bakar Nabati untuk energi dimaksudkan guna mengurangi ketergantungan pada impor minyak dan untuk menggantikan solar dan bensin, yang saat ini implementasi mandatori untuk solar sudah bertaraf B30.
Kebijakan Pemerintah dalam arahan Mandatori biodiesel dan pengembangan biohidrokarbon/green fuels mutlak dilakukan untuk mendorong ketahanan energi nasional, penghematan devisa negara dan pengurangan emisi CO2. “Penyusunan arah kebijakan biohidrokarbon dan perumusan standar dan mutu (spesifikasi) serta nomenklaturnya menjadi prioritas utama,” tegas Lies. Andianto Hidayat, VP Downstream Research Technology Innovation PT. Pertamina mengungkapkan kesiapan Indonesia dalam menyongsong era biohidrakarbon dengan diawali produk katalis anak negeri (katalis merah putih) serta sinergisitas BUMN yang dapat menghasilkan produk dalam hasil co-processing RU II Dumai dan RU III Plaju guna menuntaskan Biofuel generasi I yang berbasis minyak lemak nabati serta bahan berpati dan Biofuel generasi II dari bahan lignoselulosa. “Percepatan penelitan, pengujian dan pengembangan biohidrokarbon (Proyek Biorefinery Pertamina) ini tak luput dari dukungan Pemerintah khususnya Kementerian ESDM dalam memberikan relaksasi harga biodiesel” katanya.
Neraca.co.id | Kamis, 5 November 2020
Program B30 demi Industri Kelapa Sawit Nasional
Pemerintah berkomitmen terus mendukung keberlanjutan pelaksanaan program mandatori biodiesel (B30). Hal ini ditunjukkan dengan penyesuaian pungutan ekspor crude palm oil (CPO) dan produk turunannya untuk menyokong keberlanjutan program B30 tersebut. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, program B30 harus terus dijalankan dengan tujuan menjaga stabilisasi harga CPO pada level harga minimal US$600 per ton untuk menjaga harga tandan buah segar (TBS) petani sawit. “Selain itu juga untuk mempertahankan surplus neraca perdagangan non migas yang sekitar 12%-nya berasal dari ekspor produk sawit dan turunannya,” ujar Airlangga dalam Rapat Koordinasi Komite Pengarah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), yang dilaksanakan secara daring di Jakarta. Kemudian, kata Airlangga, pemerintah juga terus berupaya meningkatkan produksi perkebunan kelapa sawit rakyat dengan mengalokasikan Dana Perkebunan Kelapa Sawit untuk 180 ribu hektare (ha) lahan di 2021. “Target luasan lahan tersebut diikuti kenaikan alokasi dana untuk tiap hektare lahan yang ditetapkan, yaitu Rp30 juta per ha atau naik Rp5 juta per ha dari sebelumnya sebesar Rp25 juta per ha,” ungkap Airlangga. Seperti diketahui, dipenghujung tahun 2019 kemarin Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) resmi meluncurkan program biodiesel 30 persen (B30). Peluncuran B30 ternyata tidak hanya menghemat devisa hingga Rp 63 triliun per tahun. Berikut kelebihan B30.
Pemerintah optimis biodiesel atau Biosolar 30 persen (B30) yang merupakan campuran dari 30 persen FAME (Fatty Acid Methyl Ester) dan 70 persen minyak solar, mampu meningkatkan daya kerja mesin untuk kendaraan berkapasitas 3,5 ton, hal ini dikarenakan tingginya angka cetane (CN) yang terkandung dalam B30. Mengutip laman Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kementerian ESDM, solar memiliki cetane number (CN) 48, sedangkan minyak sawit CN 41. Jika komposisi itu digabungkan maka akan membentuk B30. Perlu diketahui, semakin tinggi angka CN, maka bahan bakar akan lebih mudah terbakar. Namun angka CN yang tinggi pada B30 tidak serta-merta membuat performa mesin meningkat. Mengingat, nilai kalor yang dimiliki B30 sedikit lebih rendah daripada solar dan sifat alami biosolar mudah berubah menjadi gel (menggumpal) jika terkena udara dingin. “B30 ini sudah diujicobakan sejak November lalu, dan hari ini kita sampaikan B30 sudah kita luncurkan. Dengan adanya B30 ini, bisa menghemat devisa hingga Rp 63 triliun,” kata Presiden Jokowi. Menurut beberapa penelitian, kandungan FAME ini didapatkan dari kelapa sawit yang diolah menjadi FAME (Fatty Acid Methyl Ester), yaitu bahan bakar nabati. Sehingga B30 ini telah diimplementasikan pada awal 1 Januari 2020, akan memberikan target kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri ESDM Arifin Tasrif, dan jajaran direksi Pertamina untuk mempercepat implementasi B50 pada awal 2021.
Bahkan Kementerian Enerdi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan bahwa program B30 tidak akan memengaruhi kebijakan harga jual B30 atau yang dikenal sebagai biosolar di masyarakat. Artinya, biosolar tetap dibanderol, yakni Rp 5.150 per liter. Vice President Corporate Communication Pertamina, Fajriyah Usman menambahkan telah mengamankan stok B30 dalam jumlah yang cukup. Total stok B30 tercatat 509 ribu kilo liter (KL) dengan penyaluran harian mencapai 66 ribu KL. Stok tersebut merupakan persediaan di TBBM, belum termasuk stok di kilang dan kapal. “Memasuki tahun baru 2020, seluruh SPBU Pertamina telah siap menjual B30. Masyarakat bisa menikmati B30 melalui produk biosolar dan Dexlite. Kelebihan B30 adalah lebih ramah lingkungan dan bersahabat dengan mesin kendaraan,” terang Fajriyah. Sekedar catatan, saat ini pemerintah sedang mematangkan tahap penyesuaian semisal menyiapkan depo. Pertamina juga sudah berkomitmen untuk bahan bakar dari CPO. Kebijakan ini didukung keluarnya Peraturan Presiden (Perpres) No 66 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres No 61 Tahun 2015 tentang Perhimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Bahkan tidak hanya B30, rencana membuat bahan bakar lainnya mulai terwujud. ITB yang ditunjuk pemerintah melakukan penelitian bahan bakar dari CPO sudah menemukan teknologinya. Bahkan RON yang diciptakan hingga 120, melebihi Pertamax.