Pengembangan Biodiesel Terganjal Moratorium Lahan Sawit
BERITA BIOFUEL
Katadata.co.id | Senin, 1 April 2024
Pengembangan Biodiesel Terganjal Moratorium Lahan Sawit
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyebut Indonesia bisa menjadi raja energi hijau dunia melalui pengembangan produk biodiesel. Hal ini sesuai dengan visi misi presiden terpilih Prabowo Subianto dan wakilnya Gibran Rakabuming Raka. Prabowo-Gibran ingin mengembangkan produk biodiesel dan bioavtur dari kelapa sawit, serta bioetanol dari tebu dan singkong. “Selanjutnya, Prabowo-Gibran akan melakukan program B50 dan campuran etanol E10 dengan sumber daya yang ada pada 2029,” tulis dokumen tersebut. Namun begitu, Ketua Umum GAPKI, Eddy Martono mengungkapkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mencapai target tersebut. Menururnya, produktivitas sawit harus ditingkatkan lagi. Ia mengatakan salah satu caranya dengan penambahan areal baru khusus energi. Pasalnya dengan luas lahan sawit saat ini meskipun ada kenaikan produktivitas 5 ton minyak per tahun tetap belum cukup. Saat ditanya mengenai kemungkinan ekstensifikasi dengan ketersediaan lahan saat ini, Eddy mengatakan pemerintah dapat memanfaatkan areal yang sudah terdegradasi. Dengan penggunaan areal ini, justru dapat berkontribusi mengurangi emisi karbon. Akan tetapi, lahan ini hanya bisa digunakan oleh para petani. Hal ini karena adanya moratorium lahan sawit dimana perusahaan sudah tidak bisa memanfatkannya sejak Inpres no 5 tahun 2019. Sayangnya, kata Eddy masih ada kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan areal ini. Padahal seharusnya, pemanfaatan lahan degradasi bisa dimanfatkan oleh petani sawit. “Kalau untuk petani kemungkinan areal tersebut di kawasan hutan dan saat ini ada EUDR, kecuali pemerintah buat kebijakan baru bahwa khusus untuk energi diperbolehkan misal menugaskan khusus BUMN bekerjasama dengan petani membangun kebun sawit untuk kebutuhan energi Indonesia,” ujar dia. Hal senada juga disampaikan, Ketua Pusat Studi Sawit IPB University (PUSDI SAWIT IPB) Budi Mulyanto. Budi melihat Indonesia bisa menjadi raja energi hijau dunia dengan memanfaatkan lahan terdegradasi. Alih-alih untuk penambahan lahan baru, Budi mengatakan pemerintah bisa memanfaatkan kawasan hutan yang tidak berhutan. Luas kawasan ini sekitar 34 juta hektare (ha), lahan ini termasuk lahan terdegradasi, laha transmigrasi, perkebunan inti rakyat (PIR), lahan perkotaan dan perdesaan. Budi mengatakan dalam pemenuhan kebutuhan sawit, pemerintah dapat membangun pertanian rakyat dengan memanfaatkan lahan tersebut. “Kalau ini dikerjakan oleh pemerintahan baru akan sangat bagus, sekaligus memperbaiki ekosistem,” ujar dia. Sebelumnya, Greenpeace Indonesia menyebut biodiesel, bioavtur, bioetanol adalah industri ekstraktif yang tinggi emisi. Dipercepatnya implementasi biodiesel akan semakin mempercepat ekstensifikasi lahan sawit. “Karena tinggi lahan, intensitas penggunaan lahannya tinggi. Mau tebu, mau singkong, mau kelapa sawit itu pasti akan menggunakan lahan,” kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, Rabu (27/3). Hal itu akan berdampak pada pembukaan lahan baru yang dapat mengakibatkan deforestasi. Greenpeace menjelaskan tiga skenario yang memprediksi kebutuhan lahan dalam mewujudkan program kerja ambisius ini. Pertama, business as usual atau yang sekarang sedang dijalankan yaitu Biodiesel 35 (B35). Kedua, alokasi biodiesel ambisius sampai B40 dalam rentan waktu tertentu. Ketiga, alokasi biodiesel agresif B50 sampai 2042. Greenpeace memprediksi adanya peningkatan signifikan permintaan minyak sawit untuk konsumsi Indonesia dari 2023 hingga 2042. Untuk memenuhi permintaan tersebut, dibutuhkan minyak sawit mencapai 67,1 juta ton pada skenario pertama. “Dalam skema ini kebutuhan untuk peningkatan permintaan pada skema 2042 itu mencapai 23 juta hektare,” ucapnya. Iqbal mengatakan saat ini sudah ada sekiat 16 juta Ha lahan sawit. Dengan begitu, masih memerlukan sekitar 7 juta Ha lahan baru untuk memenuhi kebutuhan konsumsi minyak sawit. Padahal saat ini hanya tersisi 3,4 juta hektar hutan alam tersisa di dalam konsesi sawit. Dimana hutan tersisa berada di Kalimantan dan Papua. Ambisi untuk terus menaikkan tingkat campuran biodiesel akan meningkatkan kebutuhan ekspansi lahan kebun sawit secara signifikan.Dengan arah pengaturan perlindungan hutan yang ada, hutan alam tersebut mungkin akan lenyap dalam beberapa 2 dekade mendatang.
Katadata.co.id | Senin, 1 April 2024
Pengembangan Biodiesel Berpotensi Kurangi Devisa dari Ekspor Sawit
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memprediksi perkembangan biodiesel dari kelapa sawit akan berdampak pada penurunan ekspor hingga devisa Indonesia. Pasalnya, kenaikan konsumsi sawit untuk biodiesel akan menurunkan ekspor sawit dan produk turunannya. Ketua Umum GAPKI, Eddy Martono, mengatakan kemungkinan ini terjadi jika pemerintah terus mengembangkan biodiesel B50 atau campuran 50 persen minyak kelapa sawit. B50 adalah biodiesel yang mengandung fatty acid methyl ester atau FAME minyak kelapa sawit sebesar 50% dalam komposisi BBM solar. “Apabila produksi seperti saat ini, yang akan terjadi adalah penurunan ekspor (karena sawitnya digunakan di dalam negeri). Kemungkinan ekspor akan di bawah 20 juta ton,” ujar Eddy saat dihubungi Katadata, Senin (1/4). Eddy mengatakan, penurunan ekspor akan berdampak pada devisa yang didapatkan oleh Indonesia. Padahal, sawit merupakan salah satu komoditas yang menjadi andalan untuk meraih devisa. Menanggapi rencana Presiden terpilih Prabowo untuk menggenjot pengembangan produk biodiesel dan bioavtur dari kelapa sawit, Eddy mengatakan produktivitas sawit harus ditingkatkan. Selain itu, perlu ada penambahan areal baru khusus untuk energi. Pasalnya, luas areal sawit yang ada saat ini belum bisa memenuhi target pengembangan biodiesel meskipun produktivitasnya ditingkatkan. “Dengan luasan saat ini, walaupun produktivitas naik sampai 5 ton minyak per hektare per tahun, tetap belum cukup,” ujarnya. Berdasarkan data Gapki, total konsumsi minyak sawit dalam negeri mencapai 23,21 juta ton pada 2023. Konsumsinya bertambah sekitar 2,07 juta ton atau tumbuh 9,8% dibanding 2022 (year-on-year). Jika dirinci, konsumsi tersebut paling banyak digunakan untuk pembuatan biodiesel, baru kemudian untuk pangan. Pada 2023, konsumsi minyak sawit untuk biodiesel mencapai 10,65 juta ton atau 45,9% dari total konsumsi nasional. Sementara konsumsi minyak sawit untuk pangan sekitar 10,3 juta ton atau 44,4% dari total konsumsi nasional.
Pengembangan Biodiesel Akan Berhenti di B50
Sebelumnya, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) juga memprediksi pengembangan biodiesel di Indonesia akan berhenti di B50. Hal itu disebabkan semakin menurunnya produksi sawit hingga regulasi yang tidak mendukung. Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat ME Manurung, menyambut baik program mandatori biodiesel 40 persen (B40) yang rencananya akan diterapkan tahun ini oleh pemerintah. Dia memprediksi ketersediaan CPO untuk B40 masih cukup. Namun, Gulat mengatakan, produk minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia diprediksi akan habis untuk kebutuhan domestik jika pemerintah menaikkan mandatori biodiesel menjadi B50. Kebutuhan domestik tersebut diantaranya pangan, oleokimia, medis dan Biodiesel B50. Berdasarkan data Apkasindo, produksi CPO Indonesia mencapai 48 juta ton pada 2023. “Kalau kita maju terus dari B40, kita akan stop pada B50. Karena CPO kita akan defisit 1,24 juta ton jika patokan kita ke volume CPO tujuan ekspor tahun 2023 lalu sebesar 2,04 juta ton,” ujarnya dikutip dari keterangan tertulis, Rabu (13/3). Dengan demikian, Gulat mengatakan, Indonesia akan berhenti ekspor jika pemerintah menjalankan B50. Akibatnya, Indonesia akan berhenti mendapatkan devisa dari sawit.
Rencana Prabowo-Gibran Butuh 7 Ha Lahan Sawit Baru
Presiden terpilih Prabowo Subianto dan wakilnya Gibran Rakabuming Raka berencana membawa Indonesia menjadi raja energi hijau dunia melalui pengembangan produk biodiesel dan bioavtur dari kelapa sawit, serta bioetanol dari tebu dan singkong. Hal itu tercantum dalam dokumen visi misi Prabowo – Gibran saat menjadi calon presiden dan wakil presiden. “Selanjutnya, Prabowo-Gibran akan melakukan program B50 dan campuran etanol E10 dengan sumber daya yang ada pada 2029,” tulis dokumen tersebut. Menanggapi rencana itu, Greenpeace Indonesia menyebut biodiesel, bioavtur, bioetanol adalah industri ekstraktif yang tinggi emisi. Dipercepatnya implementasi biodiesel akan semakin mempercepat ekstensifikasi lahan sawit. “Karena tinggi lahan, intensitas penggunaan lahannya tinggi. Mau tebu, mau singkong, mau kelapa sawit itu pasti akan menggunakan lahan,” kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, Rabu (27/3). Hal ini disampaikan Iqbal saat Diskusi Publik Refleksi Kritis Hasil Pemilu 2024: Bagaimana Arah Transisi Energi Indonesia 5 Tahun Mendatang? Di Jakarta, Rabu (27/3). Iqbal juga menyinggung soal penggunaan biomassa yang digunakan untuk co-firing Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Menurutnya, penggunaan teknologi co-firing juga memerlukan banyak lahan karena pemenuhan biomassa. Hal itu akan berdampak pada pembukaan lahan baru yang dapat mengakibatkan deforestasi. Greenpeace menjelaskan tiga skenario yang memprediksi kebutuhan lahan dalam mewujudkan program kerja ambisius ini. Pertama, business as usual atau yang sekarang sedang dijalankan yaitu Biodiesel 35 (B35). Kedua, alokasi biodiesel ambisius sampai B40 dalam rentan waktu tertentu. Ketiga, alokasi biodiesel agresif B50 sampai 2042. Greenpeace memprediksi adanya peningkatan signifikan permintaan minyak sawit untuk konsumsi Indonesia dari 2023 hingga 2042. Untuk memenuhi permintaan tersebut, dibutuhkan minyak sawit mencapai 67,1 juta ton pada skenario pertama. Akan tetapi dengan menggunakan skenario ketiga seperti dicanangkan Prabowo-Gibran, maka setidaknya membutuhkan 75 juta ton minyak sawit. Kenaikan permintaan ini juga berdampak kepada kebutuhan untuk memperluas kebun sawit. “Dalam skema ini kebutuhan untuk peningkatan permintaan pada skema 2042 itu mencapai 23 juta hektare,” ucapnya. Iqbal mengatakan saat ini sudah ada sekiat 16 juta Ha lahan sawit. Dengan begitu, masih memerlukan sekitar 7 juta Ha lahan baru untuk memenuhi kebutuhan konsumsi minyak sawit. Padahal saat ini hanya tersisi 3,4 juta hektar hutan alam tersisa di dalam konsesi sawit. Dimana hutan tersisa berada di Kalimantan dan Papua. Ambisi untuk terus menaikkan tingkat campuran biodiesel akan meningkatkan kebutuhan ekspansi lahan kebun sawit secara signifikan.Dengan arah pengaturan perlindungan hutan yang ada, hutan alam tersebut mungkin akan lenyap dalam beberapa 2 dekade mendatang.
Luas Lahan Sawit Terus Tumbuh
Berdasarkan data Kementerian Pertanian (Kementan) luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia mencapai 15,38 juta ha pada 2022. Luas ini menjadi rekor tertinggi selama lebih dari lima dekade terakhir. Namun, luas itu mengalami rata-rata pertumbuhan sebesar 1,8% dalam lima tahun. Menurut kepemilikannya, mayoritas area kelapa sawit Tanah Air dimiliki Perkebunan Besar Swasta (PBS), yakni seluas 8,4 juta ha pada 2022. Ada juga Perkebunan Rakyat (PR) seluas 6.37 juta ha. Sementara Perkebunan Besar Negara (PBN) paling kecil, yakni hanya 598.781 ha. Areal perkebunan kelapa sawit ini tersebar di 34 provinsi Indonesia. Provinsi Riau tercatat memiliki kebun kelapa sawit terluas dengan luas 2,99 juta ha pada 2022 atau 19,50% dari total luas perkebunan kelapa sawit dalam negeri. Kementan juga mendata, volume produksi kelapa sawit nasional mencapai 48,23 juta ton sepanjang 2022. Angkanya naik 3% dari tahun sebelumnya yang berjumlah 46,85 juta ton.
Kontan.co.id | Senin, 1 April 2024
Pertamina Patra Niaga Regional Sumbagut Genjot Penjualan Produk Petrokimia
PT Pertamina Patra Niaga melalui Regional Sumatra Bagian Utara (Sumbagut) terus menggenjot penjualan produk petrokimia. Penjualan produk dilakukan melalui penambahan portofolio pelanggan produk methanol dengan pengiriman perdana sebesar 2.625 MT (Metric Ton) kepada perusahaan biodiesel di kawasan industri Dumai (KID). Pengiriman perdana ini sebagai bagian dari kesepakatan kerja sama dengan pelanggan untuk jangka waktu 1 tahun sampai dengan Maret 2025 dengan nilai kesepakatan sekitar US$ 7 juta atau setara Rp 109 miliar. Region Manager Corporate Sales Sumbagut Anggoro Wibowo mengatakan, potensi pasar produk kimia atau petrokimia di Indonesia khususnya di Regional Sumbagut relatif besar, penjualan Methanol ini adalah ekspansi produk petrokimia yang diharapkan dapat menjadi salah satu komoditas yang bisa mendongkrak pertumbuhan penjualan Pertamina Patra Niaga. “Kami memproyeksikan penjualan produk Methanol tahun 2024 di wilayah Sumbagut yang meliputi Riau, Kepri, Sumut, Aceh dan Sumbar dapat mencapai 40.000 MT atau setara dengan 40 juta Kg Methanol,” kata Anggoro dalam keterangan resminya, Senin (1/4). Anggoro berharap langkah Pertamina dalam ekspansi di produk Petrokimia khususnya Produk Methanol ini dapat memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kehandalan suplai Methanol khususnya di pasar domestik. Lebih lanjut, penjualan Metanol kepada produsen biodiesel ini adalah bentuk sinergi dengan pelaku industri minyak sawit dalam memberikan dukungan terhadap ketahanan energi nasional. Sekadar informasi, metanol adalah salah satu bahan campuran utama dalam produksi biodiesel (Fatty Acid Methyl Ester atau FAME). FAME inilah yang kemudian dicampur dengan Produk Solar untuk dijadikan produk Biosolar. Saat ini kebiijakan pemerintah untuk pemanfaatan biodiesel dalam campuran solar adalah 35% atau biasa kita ketahui sebagai Biosolar 35 (B35). Executive General Manager Regional Sumbagut Freddy Anwar menyampaikan, PT Pertamina Patra Niaga memiliki aspirasi rencana jangka panjang sebagai Solusi Bagi Energi dan Dekarbonisasi menuju Transisi Energi. Freddy menjelaskan bahwa salah satu pilar untuk mencapai rencana perusahaan di atas di antaranya perlu menjadi pemimpin pasar trading Petrokimia di Regional. Seperti yang dipahami, ke depannya penggunaan energi akan bergeser ke arah energi yang lebih ramah lingkungan. “Pertamina Patra Niaga telah memulai untuk terus mengembangkan pasar produk petrokimia yang diharapkan dapat menjadi engine baru dari pertumbuhan perusahaan,” ujar Freddy.