Pertamina Sudah Bisa Produksi B100, tapi…

| News
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Detik.com | Selasa, 29 Maret 2022

Pertamina Sudah Bisa Produksi B100, tapi…

Biodiesel ramah lingkungan berbahan baku 100% minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO) atau B100 terus digaungkan pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian. Pengembangan B100 menjadi bentuk komitmen ketahanan energi bangsa Indonesia. Pemerintah akan membuat B100 ini menjadi bahan bakar masa depan. Pasalnya, seiring perkembangan penduduk yang membutuhkan mobilitas, kebutuhan akan bahan bakar semakin meningkat. Namun, bahan bakar fosil semakin berkurang dan harga terus naik. Upaya penerapan B100 menjadi lompatan besar dalam inovasi biodiesel yang selama ini menggunakan campuran bahan bakar minyak bumi, atau dikenal dengan sebutan B20, B30 dan sebagainya. Adapun pencapaian Indonesia sampai saat ini yang terdekat adalah tahap mengupayakan penerapan B30 (campuran biodiesel 30% dan 70% BBM jenis solar). Menanggapi B100 itu, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan secara kemampuan kilang minyak Indonesia sudah bisa membangun B100. Hanya saja harganya akan tinggi. “B30 sekarang kita sudah mulai uji coba, karena secara kemampuan kilang kita sudah bisa bangun B100. Tapi harga sawitnya ini, kalau kita jual B100 nggak ada yang bisa beli, harganya mahal,” jelasnya, melansir Pertamina Energia Weekly, Selasa (29/3/2022). Nicke menyampaikan Pertamina sendiri memang sedang mengembangkan bioenergi atau disebut new energy, di mana energi ini basisnya adalah sawit. Sebagai informasi, penerapan biodiesel berbahan baku minyak sawit ini menimbulkan reaksi keras. Pasalnya, ini disinyalir menjadi penyebab langkanya minyak goreng. Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan kondisi langkanya minyak goreng, disebabkan karena CPO yang ada terbagi antara kebutuhan biodiesel dan minyak goreng. “Jadi, masalah pasokan di dalam negeri itu disebabkan rebutan B30 dengan minyak goreng,” ujarnya (13/3/2022).

https://finance.detik.com/energi/d-6005757/pertamina-sudah-bisa-produksi-b100-tapi

Kontan.co.id | Selasa, 29 Maret 2022

Solar Subsidi (Biosolar) Langka, Ini Penyebabnya Menurut Pertamina

Kenaikan harga minyak kelapa sawit atau crude palm oil sempat menyebabkan kelangkaan minyak goreng. Setelah pasokan minyak goreng normal karena kebijakan harga eceran tertinggi dicabut (HET), giliran bahan bakar minyak (BBM) jenis biosolar atau solar subsidi langka. Biosolar atau solar subsidi juga menggunakan bahan baku minyak sawit.. Kelangkaan biosolar atau solar subsidi terjadi di berbagai daerah perkebunan dan pertambangan. Truk-truk angkutan harus antre berjam-jam di SPBU untuk mendapatkan biosolar atau solar subsidi. Daerah yang mengalami kelangkaan biosolar atau solar subsidi antara lain di Balikpapan, Jambi, Padang, dll. Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati menduga adanya penyelewengan penggunaan solar subsidi oleh industri besar, seperti perusahaan tambang dan sawit. Hal ini yang menjadi salah satu penyebab terjadinya kelangkaan solar subsidi. Ia mengungkapkan dugaan tersebut nampak dari meningkatkan penjualan solar hingga mencakup 93 persen, sementara penjualan solar non-subsidi atau Dex Series menurun menjadi hanya 7 persen. “Ini yang harus kita lihat, apakah betul ini untuk industri logistik dan industri yang tidak termasuk industri besar? Antrean-antrean yang kita lihat ini, kelihatannya justru dari industri-industri besar seperti sawit, tambang. Ini yang harus ditertibkan,” ungkap Nicke dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI, Senin (28/3/2022). Dia menjelaskan, mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014, ada ketentuan terkait transportasi yang bisa dan tidak bisa menggunakan solar subsidi. Adapun dalam beleid itu mobil pengangkut hasil tambang dan perkebunan dengan roda lebih dari 6 tidak bisa menggunakan solar subsidi. “Jadi itu sebanyak 93 persen, termasuk (industri tambang dan sawit), harusnya tidak meng-cover tambang dan sawait. Ini yang kami duga,” katanya. Nicke mengatakan, hingga saat ini Pertamina terus mendistribusikan solar subsidi guna mengurai antrean panjang kendaraan yang terjadi di sejumlah SPBU. Bahkan, penyaluran per Februari 2022 sudah melebihi kuota sekitar 10 persen, dari yang seharusnya 2,27 juta kilo liter (KL) menjadi 2,49 juta KL. “Kami memahami bahwa sekarang industri tumbuh, maka kita tetap suplai, walaupun sekarang sudah over kuota, per bulan kan ada kuota. Tapi sudah over 10 persen sampai dengan Februari,” imbuhnya. Oleh sebab itu, menurut Nicke, dibutuhkan petunjuk teknis dari pemerintah untuk bisa mengantisipasi potensi penyelewengan solar subsidi. Hal ini guna memastikan bahwa penyaluran solar subsidi bisa tepat sasaran sehingga tidak mengalami kelangkaan. “Solar subdisi memang ada aturannya di Perpres (Peraturan Presiden), tapi mungkin perlu ada level Kepmen (Keputusan Menteri) yang mengatur petunjuk teknis untuk bisa digunakan di level lapangan,” ungkap dia.

https://industri.kontan.co.id/news/solar-subsidi-biosolara-langka-ini-penyebabnya-menurut-pertamina

 

Kompas | Rabu, 30 Maret 2022

DPR Minta Kuota Biosolar Ditambah

Permintaan biosolar yang tinggi menyebabkan antrean kendaraan di sejumlah daerah. Distribusi biosolar mesti dipastikan tepat sasaran. Komisi VII DPR mendesak pemerintah menambah kuota biosolar sebanyak 2 juta kiloliter tahun ini sehingga total alokasinya naik dari 15,1 juta kiloliter menjadi 17,1 juta kiloliter. Pemerintah juga diminta menjamin pendistribusian biosolar tepat sasaran di daerah. Desakan Komisi VII DPR tersebut merupakan salah satu kesimpulan rapat dengar pendapat dengan Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), PT Pertamina (Persero), serta Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), Selasa (29/3/2022), di Jakarta. Salah satu agenda rapat adalah membahas krisis pasokan biosolar yang terjadi di sejumlah daerah akhir-akhir ini. Selain penambahan kuota biosolar, menurut Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno, pemerintah juga harus menjamin distribusi biosolar tepat sasaran. Kementerian ESDM dan BPH Migas sebaiknya berkoordinasi dengan aparat penegak hukum untuk meningkatkan pengawasan pendistribusian dan menindak tegas terhadap segala jenis penyalahgunaan bahan bakar minyak bersubsidi, termasuk biosolar. Terkait kuota biosolar. Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, kuota tahun ini lebih rendah dari tahun lalu. Mengacu data BPH Migas, kuota biosolar 2021 sebanyak 15,8 juta kiloliter, sedangkan kuota 2022 sebanyak 15,1 juta kiloliter. Permintaan biosolar meningkat lantaran faktor pemulihan ekonomi. Di sejumlah provinsi terjadi peningkatan .permintaan sampai 75 persen. Pertamina mencatat terjadi kelebihan konsumsi biosolar sebesar 10 persen selama tiga bulan terakhir. “Jika tren permintaan berlanjut, ada kemungkinan permintaan biosolar naik menjadi 16 juta kiloliter sampai akhir tahun 2022,” ucap Nicke. Sebelumnya, dalam rapat dengan Komisi VI DPR pada Senin (28, 3), Nicke mengatakan, biosolar belakangan ini digunakan industri skala besar, seperti industri Kelapa Sawit dan pertambangan. Padahal, kedua sektor industri tersebut tidak masuk daftar pengguna yang berhak mengonsumsi biosolar. Terkait harga, menurut Nicke, ada selisih Rp 7.800 per liter untuk solar bersubsidi dengan solar nonsubsidi. Adapun penjualan solar bersubsidi mencapai 93 persen, sedangkan solar nonsubsidi hanya 7 persen dari keseluruhan volume BBM jenis solar yang dijual di Indonesia. “Kami menduga, disparitas (harga) ini yang mendorong shifting konsumsi (dari solar nonsubsidi ke solar bersubsidi) sehingga biosolar yang disubsidi pemerintah menjadi tidak tepat sasaran,” ujarnya.

Pengawasan

Anggota Komisi VII DPR dari Partai Keadilan Sejahtera, Abdul Kadir Karding, mengatakan, BPH Migas semestinya cepat menindaklanjuti informasi kelangkaan biosolar yang banyak diberitakan media massa Pada saat ini, hal yang paling dibutuhkan masyarakat adalah solusi cepat mengatasi kelangkaan di sejumlah titik stasiun pengisian bahan bakar umum. Sementara itu. anggota Komisi VII DPR dari Partai Amanat Nasional, Nasril Bahar, berpendapat pentingnya ada data nyata konsumsi biosolar selama tiga bulan terakhir. Kepastian data ini akan membantu pengawasan. “Oleh karena itu, kami minta ada data siapa pengguna, apakah perkebunan, pertambangan, atau sektor kelautan, seperti nelayan,” ujarnya. Selain memperketat pengawasan, permintaan penambahan kuota biosolar juga harus diperhitungkan dengan baik oleh pemerintah. Menurut Head of Center of Food, Energy, and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra PG Talattov, letak permasalahan antrean pembelian biosolar di sejumlah daerah adalah adanya kebocoran dan penyalahgunaan. Oleh karena itu, solusi mendesak yang harus diambil pemerintah ialah memastikan distribusi biosolar tepat sasaran. “Menambah kuota biosolar memicu pembengkakan APBN. Selain itu, masyarakat yang berhak mendapatkan biosolar juga belum tentu memperolehnya ketika kuota ditambah. Akibatnya, antrean biosolar akan kembali berulang,” ujar Abra. Abra menambahkan, selain pengawasan yang diperketat, solusi yang bisa diambil oleh pemerintah ialah melakukan penyesuaian hargajual biosolar. Harganya bisa dinaikkan, tetapi tidak drastis dan tetap di hawaii harga keekonomian sehingga tidak membebani APBN. Pemerintah pun tetap bisa menjaga inflasi sesuai target

Petani terdampak

Kelangkaan biosolar yang terjadi di Lampung menghambat distribusi komoditas pertanian. Cabai dan sayuran yang semestinya dikirim setelah panen tertunda sehingga harga jualnya turun. Ikbal Sutanto (36), petani cabai asal Kecamatan Sekincau, Kabupaten Lampung Barat Lampung, menuturkan, kelangkaan solar yang terjadi di Lampung Barat membuat mobil angkutan sayuran tidak bisa beroperasi setiap hari. Cabai yang biasanya dikirim ke Bandar Lampung seusai panen kini harus menginap di gudang selama 1-2 hari. “Pemilik mobil beralasan ha-rus antre solar seharian sehingga tidak bisa beroperasi setiap hari,” kata Ikbal. Selama ini, Ikbal dan sejumlah petani lainnya menyewa mobil untuk mengirim cabai dan sayuran ke pasar tradisional di Bandar Lampung. Biaya pengiriman hasil panen petani dari Lampung Barat ke Bandar Lampung Rp 350 per kilogram. Ikbal mengatakan, kelangkaan solar memang tidak membuat biaya pengiriman meningkat Namun, tertundanya pengiriman selama beberapa hari membuat hargajual komoditas pertanian merosot “Harga cabai bisa turun sampai Rp 3.000 jika terlambat pengiriman dan barat juga akan dikurangi jika ada yang busuk,” katanya. Saat ini, hargajual cabai merah besar di tingkat petani di Lampung Barat berkisar Rp 21.000-Rp 23.000 per kilogram. Namun, jika pengiriman terlambat 2-3 hari, hargajual cabai hanya Rp 18.000-Rp 20.000 per kg, bergantung tingkat kesegaran cabai.

CNCBIndonesia.com | Selasa, 29 Maret 2022

Sawit & Tambang Lagi Cuan Besar, Tapi Kok Pakai Solar Subsidi

Kenaikan harga komoditas minyak kelapa sawit serta mineral dan batu bara rupanya belum cukup bagi pelaku usaha untuk meraup cuan sebesar-besarnya. Pasalnya, mereka masih mengambil keuntungan dari pembelian minyak Solar bersubsidi yang harganya jauh lebih murah dibandingkan Solar non subsidi. Padahal, seharusnya industri sawit dan pertambangan menggunakan Solar non subsidi, bukan yang disubsidi pemerintah. Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menduga bahwa industri tambang dan kelapa sawit mempunyai peran besar dalam kelangkaan Solar subsidi yang terjadi di sejumlah daerah akhir-akhir ini.  Menurut dia, kelangkaan Solar subsidi terjadi salah satunya disebabkan oleh banyaknya industri tambang dan kelapa sawit yang beralih menggunakan Solar subsidi dari seharusnya Solar non subsidi. Hal itu terlihat dari menurunnya penjualan Solar non subsidi dan meningkatnya penjualan Solar subsidi di sekitar area tambang dan industri sawit. Akibatnya, penyaluran Solar bersubsidi per Februari jebol 10% dari kuota yang ditetapkan pemerintah. “Antrian ini banyak yang dari industri sawit dan tambang. Kita duga banyak yang pakai Solar subsidi. Dan ini kelihatannya, penjualan Solar non subsidi turun, Solar subsidi naik, padahal industri naik,” kata Nicke dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR RI, Senin (28/3/2022). Oleh karena itu, Nicke mengusulkan adanya aturan berupa Keputusan Menteri (Kepmen) yang bisa dijadikan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis, khususnya terkait aturan mengenai siapa yang berhak mengkonsumsi BBM jenis Solar subsidi maupun volumenya. “Industri kan tumbuh, kita tetap suplai, meski sudah over kuota. Februari sudah 10% naiknya, sudah over kuota,” kata dia. Adapun kuota Solar subsidi pada 2022 ditetapkan sebesar 15,1 juta kilo liter (kl) di mana alokasi kepada Pertamina sebesar 14,9 juta kl dan PT AKR Corporindo (AKRA) 186 ribu kl. Namun Pertamina memproyeksikan, permintaan Solar subsidi pada tahun ini bisa meningkat hingga 16 juta kl. Menurut Nicke, kelangkaan Solar bersubsidi terjadi salah satunya disebabkan oleh adanya selisih harga jual dengan Solar non subsidi yang semakin jauh. Setidaknya, selisih harga Solar bersubsidi dan non subsidi angkanya saat ini telah mencapai Rp 7.800 per liter. “Ini yang mendorong shifting konsumsi juga. Kami lakukan pengendalian dan monitoring di lapangan. Volume jatah diturunkan, gap harga tinggi,” ujarnya.

https://www.cnbcindonesia.com/news/20220329094020-4-326783/sawit-tambang-lagi-cuan-besar-tapi-kok-pakai-solar-subsidi