Program B30 Indonesia Belum Meningkatkan Harga TBS Petani Sawit

| Articles
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Program B30 Indonesia Belum Meningkatkan Harga TBS Petani Sawit

Terlihat pemerintah tidak punya program yang jelas dalam membangun industri biodiesel untuk mengurangi impor BBM dan memacu investasi dalam negeri untuk membuka lapangan kerja dari industri hilir CPO dan PKO. Setelah EU boikot biodiesel Indonesia, pemerintah telah membuat program B20 dan B 30 untuk menolong produsen biodiesel/fame.wilmar.louis dreyfuss.sinar mas.phg.musim mas.best, ternyata mereka masih memakai technologie convensional dengan washing dan methanol recovery, sehingga biaya produksi dan biaya logistic menjadi mahal, kemahalan itu terpaksa di tanggung oleh Pertamina Kebijakan pemerintah sangat tanggung bila hanya tergantung pada perusahaan besar saja.Terlihat pemerintah tidak punya program yang jelas dalam membangun industri biodiesel untuk mengurangi impor BBM dan memacu investasi dalam negeri untuk membuka lapangan kerja dari industri hilir CPO dan PKO. Untuk kosumsi lokal, seharusnya Pertamina membeli juga biodiesel dari produsen PTPN, BUMD, BUMDES dan swasta UKM, tetapi dengan mensyaratkan memenuhi spesifikasi sesuai standart SNI dan standart mutu yang telah di tetapkan oleh Pertamina. Dengan technologie HYDRODYNAMIC CIVITATION PROCESS (HCP), kandungan methanol 11.5 persen, katalis potassium methoxide 1 persen, sehingga HCP tidak lagi proses methanol recovery. Biaya produksinya bisa lebih murah daripada proses convensional. Dari bahan baku CPO, Stearine, minyak kelapa dan minyak goreng bekas serta lemak binatang bisa dibuat jadi biodiesel.

HCP bisa dibuat dengan kapasitas kecil, dan ini akan meningkatkan investasi dalam negeri dan membuka lapangan kerja serta harga Tandan Buah Segar (TBS) petani bisa baik. Petani sawit sekarang hanya mendapatkan hasil kotor sebesar Rp 16.000.000 per hektar tiap tahun nya, maka dengan penghasilan kotor tersebut, petani mana bisa hidup, karena tandan buah segar sawit masih di kenakan kewajiban membayar PPN dan ekspor CPO masih di kenakan bea keluar. Untuk memotong biaya logistik yang mahal, biodiesel harus di produksi di setiap kabupaten dan di jual ke pusat blanding TBBM Pertamina di setiap propinsi , produknya dapat distribusikan ke SPBU Pertamina dan milik umum yang ada di propinsi tersebut. Jadi mulai dari proses CPO ke biodiesel ke pusat blanding TBBM Pertamina, tidak terjadi distribusi hilir mudik yang membuat biaya logistik jadi mahal. Harga B20 dan B 30 bisa di jual lebih murah dan produsen tidak perlu di subsidi. Dengan technologie convensional pun biodiesel bisa dibuat dengan kapasitas kecil2 dan dapat di lakukan oleh semua pelaku usaha, termasuk pelaku UKM, karena technologie biasa saja, sehingga tidak harus jadi konglemerat sawit saja yang bisa buat biodiesel, karena yang penting untuk pasar lokal, PERTAMINA harus menjadi offtakernya, supaya bank tidak takut kasih kredit untuk sektor ini. Indonesia sudah harus export produk hilir CPO, PKO dalam bentuk biodiesel, glyserine, toiletries, fatty acit, fatty alcohol, kosmetik, olein, farmasi, dan barang tehnik dan makanan. Pemerintah tidak adil kalau hanya beli biodiesel dari perusahaan besar dengan menanggung biaya logistik dan menekan harga TBS petani, karena masih ada PTPN dan swasta menengah lain yang harusnya dapat bagian dari kue pembangunan. Pemerintah harus juga menolong PTPN yang kondisi hidupnya senin kamis karena tidak efisien, dan ternyata PTPN sangat terlambat masuk ke industri hilirnya.

Investor.id | Minggu, 14 Juni 2020

Menyoal Pokok-Pokok Asumsi Makro dan Kebijakan Fiskal 2021

Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) tahun 2021 telah disampaikan pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Saya akan memberikan pandangan terkait hal ini. Terlebih dulu saya akan melihat kemungkinan capaian ekonomi makro kita pada tahun 2020 ini. Usaha pemerintah untuk memulai kenormalan baru di sejumlah tempat Jabodetabek akan sangat membantu pertumbuhan ekonomi kita rebound. Kemungkinan di triwulan II 2020 akan lebih rendah dari triwulan I 2020, namun akhir tahun 2020 perkiraan saya, pertumbuhan ekonomi akan mencapai 2,5-3%. Proyeksi ini sejalan dengan proyeksi yang dibuat oleh Asian Development Bank (ADB) bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020 berkisar 2,5%, bahkan Moodys lebih optimis pada angka 3%. Untuk memperoleh itu bukan tanpa reserve, syaratnya pemerintah harus bisa mengendalikan pandemi Covid-19. Bila pemerintah tidak berhasil, dan pasien Covid-19 terus membesar jumlahnya, tidak sebanding dengan angka kesembuhan, apalagi sampai fatality rate tinggi, maka pertumbuhan ekonomi kita berada di bawah nol.

Kecamuk rasial yang terjadi di Amerika Serikat, jelang pemilu November 2020, ditambah tingginya pasien Covid-19 di Paman Sam, plus trade war dengan Tiongkok, berkontribusi besar atas pemburukan nilai tukar US Dolar (USD) terhadap sejumlah mata uang dunia. Efeknya terhadap rupiah sudah kita rasakan, meskipun sesaat. Rupiah kita menguat terhadap USD, dari pekan ketiga Maret di posisi Rp 16.000/USD karena naiknya Covid-19 di Indonesia, namun akibat kerusuhan di sejumlah daerah di Amerika Serikat, kini rupiah pada posisi Rp 14.000-an per/USD. Saya perkirakan hingga akhir tahun posisi rupiah masih berkisar seperti saat ini. Bagaimana dengan target inflasi? Target inflasi pada APBN 2020 (awal) sebesar 3,1%, namun di koreksi melalui APBN hasil perubahan pada kisaran 2-4% (yoy). Angka inflasi sepanjang Januari-Mei 2020 mencapai 2,69%. Kita harus cermat membaca inflasi rendah sejak 1999 ini.

Saya lebih condong melihat inflasi rendah ini sebagai menurunnya daya beli masyarakat. Turunnya daya beli akibat terpaan pandemi Covid-19 yang mengakibatkan meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan. Bulan Mei 2020 lalu, Apindo menyatakan telah merumahkan/ cuti tanpa tanggungan sebanyak 7 juta karyawan, sementara Kemenaker mencatat 375.165 mengalami PHK, ini belum termasuk sektor informal yang jelas tidak terdata. Saya bersyukur pemerintah membuat rencana mitigasi yang cukup baik pada kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2020. Mitigasi ini mengasumsikan skenario jumlah orang miskin naik, skenario berat sebanyak 4,86 juta orang dan pengangguran naik (skenario berat) 5,23 juta orang. Artinya, problem besar sudah sangat dipahami oleh pemerintah, kami DPR hanya ingin memastikan bahwa rencana di atas kerja atas PEN 2020 berjalan dengan baik. Pandemi Covid-19 juga berpengaruh terhadap ICP. APBN hasil perubahan mematok ICP 30—35 USD/barel, mengoreksi dari patokan APBN 2020 (awal) sebesar 60 USD/barel.

Asumsi ini cukup realistis, mengingat pandemi covid19 berpengaruh besar pada permintaan minyak. Overstock minyak dunia April lalu membuat harga minyak dunia jenis WTI menyentuh  0 USD/barel, bahkan turun lagi -37,63 USD/barel. Kini harga minyak dunia perlahan lahan rebound, dan kontrak harga minyak brent per Juni ini telah menyentuh harga 25,57 USD/barel. Ekonomi 2021, Rebound? Hemat saya, pencapaian ekonomi tahun 2021 sangat bergantung pencapaian kita pada tahun 2020. Keberhasilan atau ketidakberhasilan kebijakan PEN 2020 menjadi titik pijak penting bagi ekonomi kita tahun 2021. Efektivitas program jaring pengaman sosial, insentif pajak dan likuiditas untuk UMKM pada tahun 2020 menjadi tumpuan untuk menjaga daya beli rakyat, sekaligus menjaga angka kemiskinan dan pengangguran agar tidak kian merosot. Kebijakan PEN harus berhasil, sebab kebijakan ini tidak murah, kita harus membuka defisit APBN semula 3% menjadi 6,34% mengusahakan pembiayaan utang sangat besar, nilainya Rp 1.206,9 triliun, meski bukan hanya untuk PEN semata, tapi porsi PEN setengahnya.

Harganya sangat mahal bila PEN 2020 tidak berhasil. Bila ekonomi tidak tumbuh, atau rasio pertumbuhannya tidak sebanding dengan tingkat penerimaan negara dan beban hutang yang harus kita bayar tiap tahun, maka tiap tahun kita gali lubang tutup lubang terus yang kian mempersempit ruang fiskal kita. Karena itu, konsentrasi saya pada kebijakan fiskal 2021 hanya pada beberapa hal yang pokok, dan berharap menjadi atensi pemerintah lebih mendalam, disiplin dan ketat dalam rencana dan implementasi. Pertama; menyempurnakan kebijakan Jaring Pengaman Sosial (JPS) atau Perlindungan Sosial tahun 2021. Akurasi data penerima menjadi dasar kebijakan yang mutlak sebagai fondasi keberhasilan. Karena kebijakan ini terbagi dalam beberapa Kementrian/Lembaga dan pemda, koordinasi, dan sinkronisasi mudah diucapkan, tapi di negeri kita menjadi barang mahal.

Saya berharap tidak ada lagi mis-manajemen dalam implementasi kebijakan JPS. Kedua: desain kebijakan stimulus untuk UMKM, terutama dari sisi keuangan sebagaimana yang tertuang dalam kebijakan PEN 2020 sudah sangat baik. Hemat saya dalam tahun 2021 kebijakan sektor hulu untuk UMKM harus lebih diperbaiki. Harapan “UMKM go online” sangat baik, karena akan memperluas segmen pasar. Namun jangan lupa, kita lupa mempersiapkan arsitektural pembentukan rantai pasok ekonomi dalam negeri (domestic supply chain) melalui UMKM, terutama sektor kebutuhan pangan pokok. Pembentukan domestic suplly chain akan memperkokoh kekuatan ekonomi nasional, selain kebijakan memperbesar TKDN untuk komponen industri strategis, dan kebijakan B30. Ketiga: reformasi kebijakan energi, terutama subsidi LPG 3 kg dan subsidi listrik dari hulu sampai hilir, peningkatan kebijakan B30 ke B40, dan percepatan pembangunan kilang minyak.  Besaran subsidi LPG 3 kg dan listrik terus meningkat. Produksi LPG yang bertumpu dari minyak mengakibatkan harga LPG terpengaruh harga minyak.

Pemerintah perlu mempercepat saluran gas alam ke rumah tangga sebagai alternatif penggantian LPG. Pengembangan city gas akan mengurangi besaran subsidi LPG 3 kg yang tidak tepat sasaran. Subsidi listrik yang dinikmati 7 juta pelanggaan untuk R1 900 VA dan 23,99 juta pelanggan untuk R1 450 Va perlu terus kita bantu, namun dari sisi hulu Kementrian ESDM perlu memikirkan strategi kebijakan listrik yang murah. Keempat: Kita harus pandai membaca peluang dari trade war Amerika Serikat dan Tiongkok. Jangan cuma jadi penonton yang malah terkena imbas negatif. Kita bisa menjadi pemasok alternatif atas berbagai kebutuhan pasar domestik kedua negara akibat saling banned. Oleh karena itu, kebijakan ekspor harus memberi ruang tumbuh bagi sektor sektor yang dibutuhkan oleh kedua raksasa tersebut. Pemerintah harus menjadi dirijen bagi pelaku pelaku usaha untuk memainkan peran ini. Dua hal sekaligus kita dapat, neraca perdagangan internasional meningkat, dan devisa masuk. Kelima: pembangunan infrastruktur tahun 2021 harus diarahkan untuk menopang pencapaian kebijakan kebijakan yang saya utarakan diatas. Lakukan focusing anggaran infrastruktur diberbagai sektor untuk transformasi program program diatas. Terakhir, saya amat yakin jika kita fokus pada rencana kebijakan diatas, ekonomi kita tahun 2021 akan rebound. Target pemerintah untuk mencapai angka pertumbuhan ekonomi pada 4,5 -5,5% bukan hal yang sulit untuk dicapai.

https://investor.id/opinion/menyoal-pokokpokok-asumsi-makro-dan-kebijakan-fiskal-2021

Indopos.co.id | Minggu, 14 Juni 2020

Era New Normal, Sinergi Lintas Sektoral Kunci Ketersediaan Pangan

Pandemi Covid-19 mempengaruhi seluruh aspek kehidupan yang ada di seluruh negara. Bahkan virus ini juga telah mengubah paradigma, sehingga kebijakan-kebijakan baru harus ditata untuk menjawab tantangan menuju new normal. Hal ini pula yang disikapi Kementerian Pertanian (Kementan). Kepala BPPSDMP Kementan Prof Dedi Nursyamsi mengatakan, penyikapan terhadap masalah ini dilakukan dengan menetapkan strategi dan cara bertindak mendukung peran petani dan penyuluh dalam gerakan ketahanan pangan nasional. Alasannya hal ini untuk menjaga ketersediaan pangan dalam negeri yang jumlahnya cukup besar. Apalagi Menteri Pertanian (Mentan) RI Syahrul Yasin Limpo telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk mengatasi persoalan pangan tersebut. “Pandemi Covid-19 mempengaruhi produksi dan distribusi hasil produksi pertanian, akibat pembatasan sosial hingga isolasi mandiri. Tantangan tersebut harus diantisipasi dengan strategi yang saling membangun dari sisi pelaksana, pembiayaan dan pengawasan sehingga kebijakan yang dijalankan lebih efektif dan efisien,” katanya meniru ucapan Mentan Syahrul saat ditemui di Gedung Kementan, Jumat (12/6/2020).

Tak sampai di sana, lanjut Dedi, melalui kegiatan ‘Mentan Sapa Petani dan Penyuluh’ atau MSPP dengan video conference mampu menguraikan arahan Mentan Syahrul. Yakni tentang strategi Kementan dan cara bertindak di era New Normal, yang disebutnya sebagai Agenda SOS/Emergency. Agenda Darurat yang dimaksud, dijelaskan Dedi, tak lain untuk menjaga stabilitas harga pangan, membangun penyanggah stok pangan utama di daerah, padat karya pertanian, jaring pengaman sosial, fasilitasi pembiayaan petani melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan asuransi pertanian, memperluas akses pasar melalui pengembangan toko tani dan usaha kemitraan. “Sementara agenda jangka menengah antara lain padat karya lanjutan pasca Covid-19, diversifikasi pangan lokal, mendukung daerah-daerah defisit pangan, antisipasi kekeringan, menjaga semangat kerja pertanian melalui bantuan sarana produksi dan mesin pertanian,” paparnya. Tak kalah penting, Dedi mengaku, program pekarangan pangan lestari atau P2L, mendorong kelancaran distribusi pangan, penguatan ekspor pertanian dan penguatan Komando Strategis Pembangunan Pertanian (Kostra Tani) pada balai penyuluhan pertanian (BPP) di tingkat kecamatan. Ditambahkan Dedi, Mentan Syahrul juga menguraikan tentang Agenda Permanen untuk jangka panjang meliputi peningkatan produksi pertanian tujuh persen per tahun, penurunan kehilangan pasca panen (losses) menjadi lima peresen, ekstensifikasi tanaman pangan pada lahan rawa, penumbuhan pengusaha petani milenial, pengembangan korporasi petani, pengembangan B30 dan kelapa sawit, pertanian era 4.0, peningkatan ekspor tiga kali lipat dan peningkatan Nilai Tukar Petani (NTP).

https://indopos.co.id/read/2020/06/14/238226/era-new-normal-sinergi-lintas-sektoral-kunci-ketersediaan-pangan/

Kompas | Sabtu, 13 Juni 2020

Indonesia Berpotensi Kembangkan Biomassa

Indonesia berpotensi mengembangkan biomassa, terutama pengolahan limbah sektor pertanian dan perkebunan, menjadi bricket untuk kompor biomassa. Batang singkong, limbah kelapa sawit, sekam, limbah kertas, bonggol jagung, cangkang kemiri, sampah, dan limbah nabati lain merupakan bahan bakar nabati yang produk primernya dapat langsung dijadikan bahan baku biofuel. “Salah satu bentuk pengembangannya adalah menjadikan solid fiiel tersebut bio-bricket atau bio-pellet untuk bahan bakar kompor biomassa karena dinilai murah, mudah, dan efisien untuk pembakaran,” kata dosen IPB University di Divisi Teknik Energi Terbarukan Departemen Teknik Mesin dan Biosistem (TMB), Sri Endah Agustina. Pandangan itu disampaikan dalam webinar yang digelar Departemen TMB, Fakultas Teknologi Pertanian (Fa-teta) IPB University, Kamis (11/6/2020).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *