PTPN Bakal Fokus Sawit untuk Tingkatkan Produksi Bahan Bakar
Republika.co.id | Selasa, 29 September 2020
PTPN Bakal Fokus Sawit untuk Tingkatkan Produksi Bahan Bakar
PT Perkebunan Nusantara (PTPN) Holding menyatakan bakal memfokuskan pengembangan budidaya kelapa sawit untuk kepentingan ketahanan energi. Ia mengatakan, minyak sawit menjadi bahan baku andalan di Indonesia dalam produksi biofuel. “Saya pernah sampaikan bahwa sebenarnya yang cocok adalah membangun kemandirian energi berbais biofuel dari minyak sawit,” kata Direktur Utama Holding PTPN III, Mohammad Abdul Ghani dalam webinar LPP Agro Nusantara, Selasa (29/9). Ia mengatakan, sejauh ini total luas perkebunan kelapa sawit secara nasional mencapai 14,7 juta hektare dengan produksi rata-rata 45 juta ton per tahun. Dengan kata lain rata-rata produktivitas masih sekitar 3 ton per hektare. Lebih lanjut, ia memaparkan dari total produksi itu, sekitar 15 juta ton digunakan untuk industri hilir termasuk untuk bahan bakar. Sisanya, 30 juta ton digunakan untuk kebutuhan lain. PTPN, kata Abdul, telah menyusun roadmap agar produktivitas sawit kelolaan perseroan bisa mencapai 5 ton per hektare dalam waktu lima tahun. Tingginya produktivitas akan memberikan ruang bagi PTPN dan pemerintah dalam mengelola minyak sawit untuk kebutuhan energi nasional. “Target ke depan, PTPN akan masuk ke dalam industri hilir bahan bakar. Semakin terlibatnya PTPN dalam energi kita pastikan kemandirian energi biofuel akan makin meningkat,” ujarnya. Abdul mengatakan pihaknya juga telah bekerja sama dengan PT Pertamina (Persero) untuk memproduksi minyak kelapa sawit. Yakni untuk kilang Cilacap, Jawa Tengaj dan Kilang Plaju di Sumatera Utara untuk produksi green energy biofuel.
Kontan.co.id | Selasa, 29 September 2020
Kurangi lahan karet dan teh, PTPN III Holding fokus pada kelapa sawit dan gula
PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) Holding, BUMN yang bergerak di sektor perkebunan, telah menyusun peta jalan (road map) dalam mendukung program food and energy security atau ketahanan pangan dan energi nasional. Sebagai informasi, PTPN Grup adalah BUMN yang memiliki lebih dari 1,18 juta hektare lahan di mana terdapat enam komoditas yang dibudidayakan yakni kelapa sawit, tebu, karet, teh, kakao, dan kopi. Direktur Utama PTPN III Holding, Mohammad Abdul Ghani mengatakan Menteri BUMN menugaskan PTPN untuk mendukung program food and energy security. “PTPN Grup merumuskan road map yang fokus pada dua komoditas, yakni kelapa sawit (kecukupan energi) dan tebu (kecukupan pangan),” jelasnya dalam acara mega-webinar Menuju Indonesia Emas 2045: Mewujudkan Ketahanan Pangan dan Energi secara virtual, Selasa (29/9). Abdul memaparkan ketika manajemen memetakan bisnis PTPN lima tahun belakangan, komoditas teh dan karet memberikan kerugian karena beberapa persoalan. Komoditas karet dipengaruhi harga jual yang turun di tingkat internasional, sedangkan komoditas teh dinilai harus ada perubahan model bisnis. Di sisi lain, setelah Abdul mencoba mengaitkan antara komoditas teh dan karet dengan peran BUMN sebagai kepanjangan tangan negara dalam program ketahanan pangan dan energi, kedua komoditas itu hanya berkaitan dengan penciptaan lapangan kerja dan devisa ekspor. Artinya, fungsi teh dan karet tidak terlalu signifikan untuk program ketahanan pangan dan energi nasional. Maka dari itu, peta jalan bisnis PTPN lima tahun ke depan adalah mengurangi luas areal perkebunan karet dan teh untuk menambah areal kelapa sawit dan tebu. Tujuan utama yang ingin dicapai PTPN adalah bisa meningkatkan produktivitas CPO dan gula di dalam negeri. Mengenai komoditas gula, Abdul mengatakan saat ini areal kebun tebu PTPN seluas 55.000 hektare.
Adapun hingga lima tahun ke depan targetnya PTPN bisa meluaskan areal budidaya menjadi 2 kali lipat. PTPN juga mengajak Perhutani untuk bekerja sama memanfaatkan areal hutan dan mengajak masyarakat untuk budidaya tebu. Selain memperluas areal budidaya, PTPN juga akan meningkatkan produktivitas pabrik gula dengan melakukan kolaborasi bersama investor strategis. Seiring dengan produktivitas yang meningkat, Abdul mengatakan tujuan PTPN juga ingin membantu pemerintah menstabilkan harga gula ke konsumen. “Tahun ini kami akan memasarkan gula ritel 40.000 ton mungkin dalam waktu 5 tahun akan menjadi 400.000 ton,” kata Abdul. Mengenai kelapa sawit, Abdul memaparkan keberpihakan PTPN dalam program kemandirian energi adalah dengan memperluas areal budidaya kelapa sawit, tujuannya untuk meningkatkan produktivitasnya. Abdul mengungkapkan rata-rata saat ini tingkat produktivitas kelapa sawit PTPN sebanyak 4,5 ton per hektar, targetnya 5 tahun mendatang menjadi 5 ton per hektar. Menurut Abdul, Indonesia lebih cocok membangun kemandirian energi berbasis bio fuel CPO. Maka target PTPN ke depan adalah bisa masuk ke industri hilir bahan bakar di mana saat ini baru masuk di industri hilir olein. Abdul bilang saat ini PTPN sudah melakukan MoU dengan Pertamina untuk memenuhi kebutuhan RBDPO di plant Cilacap dan kebutuhan CPO di pabrik Sumatra Selatan, Plaju. “Dengan terlibatnya PTPN di dalam industri energi terutama biofuel, ke depan kemandirian energi biofuel akan semakin meningkat,” kata Abdul.
Antaranews.com | Selasa, 29 September 2020
Jonan sebut kampanye BBM ramah lingkungan tugas KLHK dan Kemenkes
Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menyebutkan bahwa kampanye dan edukasi penggunaan BBM ramah lingkungan kepada masyarakat seharusnya dilakukan oleh dua kementerian, yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Kesehatan. “Yang harus kampanye adalah Menteri Kesehatan dan Menteri Lingkungan Hidup atau dua kementerian ini yang harus kampanye bagaimana menggunakan bahan bakar lebih ‘eco friendly’, bukan Menteri ESDM,” kata Jonan dalam webinar yang diselenggarakan di Jakarta, Selasa, mengutip Antara. Mantan Menteri ESDM yang menjabat selama tiga tahun tersebut menegaskan bahwa dalam konsep keamanan energi (energy security), aspek keamanan lingkungan hidup juga sangat dipertimbangkan oleh dunia saat ini. Menurut dia, sumber energi yang sangat bertentangan dengan lingkungan hidup, seperti BBM fosil, tidak akan bertahan lama digunakan karena dampak lingkungan dan kesehatan yang jauh lebih besar. Namun demikian, BBM jenis premium dan Pertalite hingga kini masih bertahan digunakan oleh masyarakat Indonesia, padahal kadar polusi yang ditimbulkan sangat tinggi. Indonesia termasuk tujuh negara di dunia yang masing menggunakan bahan bakar di bawah RON 90, yakni Kolombia, Mesir, Ukraina, Mongolia, Uzbekistan, dan Bangladesh. Indonesia pun masih menggunakan BBM jenis premium dengan RON 88. Oleh karena itu, Jonan mendorong peningkatan penggunaan energi terbarukan, seperti biodiesel lewat program B30 yang sudah dijalankan Pemerintah saat ini. Selain itu, ia menilai bahwa penggunaan bahan bakar ramah lingkungan, seperti ethanol dan biofuel masih akan terus digunakan setidaknya hingga 50 tahun ke depan, daripada BBM fosil dan energi listrik. “Kendaraan listrik tidak akan menjadi dominasi menurut saya, sampai dengan 50 tahun lagi. Pasti kendaraan-kendaraan yang menggunakan bahan bakar likuid yang masih jalan, makanya itu dibutuhkan biodiesel,” kata Jonan.
Suara.com | Selasa, 29 September 2020
Menteri ATR/BPN Minta Pemangku Kepentingan Turut Dorong Program Biodiesel
Pain sharing merupakan kunci keberlanjutan program biodiesel, yang bertujuan untuk melewati tekanan saat ini. Seluruh pemangku kepentingan harus turut berkomitmen dalam mendorong program biodiesel. Hal ini dikemukakan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Sofyan A. Djalil, dalam “Analisis Sensitivitas Skenario Program Biodiesel” yang diselenggarakan oleh Independent Research & Advisory Indonesia (IRAI). “Konsep pain sharing menjadi sangat penting, tapi bagaimana kita bisa menjaga keseimbangan yang justifiable kepada dua pihak, kepada pemerintah dan industri. Jika terlalu banyak pemerintah yang menanggung, nanti akan menimbulkan politik backfire,” tambahnya dalam acara tersebut secara virtual di Jakarta, Jumat (25/9/2020). “Justifikasi pemerintah untuk green energy, lingkungan yang lebih bersih, tetapi kemudian terdapat narasi yang berkembang di luar, seolah-olah pemerintah mendukung korporasi sawit yang terbatas, yang oligopolistik, padahal tidak seperti itu,” tambahnya. Kelapa sawit merupakan primadona dalam hal ekspor di Indonesia, karena memiliki kontribusi signifikan. Tetapi jika kebijakannya salah, ditambah dengan faktor internasional, membuat harga kelapa sawit memberikan dampak kurang baik. “Rekomendasi saya, bagaimana kita mencari sebuah formula untuk membuat harga sawit cukup bagus guna memberikan margin sekitar 20-30 persen. Itu bagus sekali, karena tidak ada investasi sekarang ini yang bisa kita dapatkan margin seperti itu,” ujar Sofyan.
Ia menambahkan, masih ada ruang, creative regulation, serta policy, yang perlu dilakukan sehingga dapat mencari keseimbangan antara berbagai opsi, agar nantinya, nasib kelapa sawit akan tetap cerah. Sofyan menuturkan, di era Covid-19, harus tetap adaptif sehingga industri kelapa sawit tetap berjalan baik. “Era Covid-19 ini, kita harus berpikir alternatif lain, sehingga skema yang ada tetap bisa berkelanjutan untuk jangka pendek. Setelah Covid-19 mungkin perlu didorong policy yang bagus,” ujar mantan Menko Perekonomian 2014-2015 ini. Acara tersebut dimoderatori oleh Founder & CEO IRAI, Lin Che Wei, dan diikuti 87 peserta, yang terdiri dari jajaran Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), termasuk anggota Dewan Pengawas BPDPKS periode 2015 – 2020, Loso Judijanto yang juga Staf Khusus Menteri ATR/Kepala BPN, perwakilan dari Kementerian Keuangan, Kemenko Bidang Perekonomian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan dan jajaran IRAI.
CNBCindonesia.com | Selasa, 29 September 2020
Sering Dituding Merusak Lingkungan, Begini Respons Penambang
Pertambangan batu bara kerap sekali dituding sebagai penyumbang utama emisi karbon yang berdampak negatif pada lingkungan dan juga perubahan iklim. Lantas, bagaimana pelaku industri tambang merespons hal tersebut? Hendra Sinadia, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI), mengatakan perusahaan tambang juga terus memperbaiki pengelolaan tambang sesuai dengan kaidah tambang yang baik (good mining practices) salah satunya dengan menggunakan teknologi yang lebih ramah lingkungan. “Permasalahan utama sektor pertambangan antara lain adanya sentimen negatif atas dampak lingkungan. Tapi penggunaan teknologi dan inovasi adalah kunci untuk mengurangi intensitas karbon,” tutur Hendra dalam sebuah webinar terkait pengembangan EBT pada Senin (29/09/2020). Dia mengatakan, beberapa upaya yang bisa dilakukan penambang untuk mengurangi intensitas karbon ini antara lain dengan mengganti bahan bakar terutama untuk jasa angkutan atau kendaraan tambang dengan menggunakan bahan bakar biodiesel dengan kandungan FAME 30% (B30). Selain itu, perusahaan bisa memperbaiki proses penambangan dengan meningkatkan produktivitas dan menghilangkan redundansi. Lalu, penambang juga bisa menambahkan sumber terbarukan ke pasokan listrik dengan memasang solar PV untuk menggantikan sebagian genset yang menggunakan bahan bakar diesel.
Penambang juga harus mengoptimalkan aktivitas transportasi atau logistik dengan menggunakan GPS untuk memantau pergerakan truk dan menghindari hambatan kemacetan di lapangan. Lalu, membangun pembangkit listrik dengan teknologi ultra supercritical (USC) boiler yang memiliki tingkat efisiensi lebih tinggi dan menghasilkan polusi yang lebih rendah. “Bisa juga menjajaki penggunaan teknologi terbaru dalam peningkatan dan pemrosesan batubara, serta melaksanakan rehabilitasi dan reklamasi di lahan bekas tambang secara efektif,” tuturnya. Meski kerap dinilai menimbulkan masalah lingkungan, tapi di sisi lain menurutnya batu bara masih berperan penting dalam bauran energi nasional, apalagi kini masih banyak pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara yang beroperasi. “Batu bara juga berperan untuk menciptakan peluang investasi,” ujarnya. Pihaknya memperkirakan konsumsi batu bara domestik tahun ini mencapai 125-230 juta ton, lebih rendah dari target yang ditetapkan pemerintah sebesar 155 juta ton. Berdasarkan data Minerba One Data Indonesia (MODI), konsumsi batu bara domestik hingga Agustus baru mencapai 86.09 juta ton atau sekitar 55,5% dari target 155 juta ton tahun ini. Dari sisi produksi, pemerintah menargetkan produksi batu bara pada tahun ini mencapai 550 juta ton. Berdasarkan data Minerba One Data Indonesia (MODI), produksi batu bara hingga Agustus mencapai 370,01 juta ton atau 67,3% dari target 550 juta ton.
Antaranews.com | Selasa, 29 September 2020
Kementerian ESDM terus lakukan kajian untuk penerapan B40
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus melakukan kajian untuk penerapan Biodiesel B40. “Meneruskan jejak keberhasilan penerapan B30, Kementerian ESDM juga terus melakukan pengkajian untuk penerapan B40 yang diharapkan bisa selesai dalam waktu dekat,” ujar Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Ego Syahrial dalam acara virtual di Jakarta, Selasa. Selain itu, dia juga menambahkan bahwa selama setahun terakhir berbagai catatan kinerja telah dicapai oleh Kementerian ESDM, antara lain penetapan UU Minerba, harga gas industri telah turun, regulasi kontrak migas yang lebih fleksibel hingga regulasi energi baru terbarukan yang telah siap diterbitkan. Dalam penyediaan listrik, rasio elektrifikasi telah meningkat menjadi 98,8 persen. Sementara kapasitas terpasang pembangkit listrik nasional hingga saat ini telah mencapai lebih dari 71 GW. Angka ini naik 1,3 GW dibandingkan akhir tahun 2019 lalu sebesar 69,7 GW. Kemudian sejak 2018 pengembangan pembangkit difokuskan kepada pengembangan pembangkit-pembangkit yang berbasis energi baru terbarukan. “Implementasi kebijakan di sektor ESDM kami gerakkan secara lebih dinamis, untuk mengimbangi perkembangan dunia yang berkembang sangat pesat,” katanya. Dalam rangka melindungi ekonomi rakyat, kebijakan pro rakyat di sektor energi pun terus digalakkan. BBM satu harga, pembagian konverter kit LPG baik untuk petani dan nelayan kecil, pembangunan jaringan gas kota, sumur bor air bersih hingga penyediaan listrik bagi masyarakat yang belum menikmati listrik sama sekali. Sekitar 50 persen anggaran Kementerian ESDM dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur yang dinikmati langsung oleh masyarakat. “Dengan mengusung tema bangkit untuk Indonesia Maju, Hari Jadi Pertambangan dan Energi pada tahun ini merefleksikan semangat insan pertambangan dan energi untuk bangkit bersama menghadapi tantangan pandemi, tidak mengendorkan semangat untuk memberikan yang terbaik bagi kemajuan bangsa,” ujar Ego Syahrial.
Bisnis Indonesia | Rabu, 30 September 2020
BIODIESEL TERSANDUNG HARGA GASOIL
Upaya minyak sawit untuk menggantikan bahan bakar fosil sebagai sumber energi semakin dalam terancam seiring dengan harga bensin yang menurun. Kondisi itu dikhawatirkan akan mengikis minat pasar untuk beralih ke biodiesel. Untuk diketahui, harga gasoil, termasuk solar, telah merosot hingga lebih dari 45% pada tahun ini, membuat jarak dengan harga minyak sawit atau crude Palm Oil (CPO) menjadi yang terlebar sejak 2011. Hal itu juga mengancam mandat pencampuran CPO ke dalam gasolin menjadi produk biodiesel. Program biodiesel direncanakan bergulir dalam skema yang sangat besar di negara berkembang, terutama Indonesia dan Malaysia. Ancaman tersebut turut memicu tekanan di pasar CPO berjangka. Alhasil, sentimen itu mematahkan reli sawit yang terbentuk dalam beberapa bulan terakhir. Ketua LMC International James Fry mengatakan bahwa melemahnya harga gasoil seiring dengan penurunan harga minyak mentah dunia akan menjadi pertanda buruk bagi industri penyulingan bumi, terutama biodiesel. “Jarak harga yang lebar antara harga minyak sawit dengan harga gasoil berarti menjadikan biodiesel dengan sawit telah menjadi sumber bahan bakar yang lebih mahal daripada bahan bakar fosil, sehingga tentu minat pasar akan tertuju pada produk yang lebih murah,” ujar Fry seperti dikutip dari Bloomberg, Selasa (29/9). Fry mencatat, harga minyak sawit saat ini sekitar US$350 per ton lebih mahal daripada minyak bumi, atau dua kali lipat dari rata-rata harganya tahun lalu. Berdasarkan data Bloomberg pada perdagangan Selasa (29/9) hingga pukul 16.39 WIB, harga CPO untuk kontrak Desember 2020 di bursa Malaysia berada di level 2.791 ringgit per ton, melemah 1,1% atau 31 poin. Padahal, pada perdagangan dua pekan lalu harga CPO sempat menyentuh level tertingginya dalam sembilan bulan terakhir di level 3.100 ringgit per ton. Sepanjang tahun berjalan 2020, harga CPO masih bergerak di zona merah melemah 4,64%. Fry menjelaskan bahwa hal ini membuat ongkos bahan bakar nabati di Indonesia juga berada di bawah tekanan, meskipun Presiden Joko Widodo tampaknya berkomitmen untuk mempertahankan mandat B30, yang mewajibkan pencampuran 30% bahan bakar nabati sawit ke dalam solar menjadi biodiesel. Hal yang sama juga akan terjadi di Malaysia yang tengah melanjutkan mandat B20 untuk sektor transportasi di negara bagian Sarawak pada bulan ini, setelah sempat tertunda karena pandemi. Untuk diketahui, Pemerintah Malaysia berencana untuk menerapkan campuran yang lebih tinggi di seluruh negara pada Juni 2021 dan akan menaikkan mandat menjadi B30 pada awal 2025. Fry menilai jika harga gasoil semakin melemah, maka diperlukan pemanis, seperti subsidi harga dari setiap pemerintah un- tuk mendorong konsumsi pasar terhadap biodiesel. “Namun, di luar Indonesia, spread harga minyak sawit ke gasoil biasanya juga akan mengarah pada kemunduran pada mandat biodiesel karena pemerintah menolak mendanai subsidi untuk biodiesel,” papar Fry. Dengan demikian, penyerapan CPO untuk bahan baku biodiesel yang akan lebih rendah dapat memperkeruh prospek permintaan CPO di tengah pandemi Covid-19 yang telah melemahkan daya beli konsumen.
DAMPAK LA NINA
Di sisi lain, Fry menilai harga CPO masih akan terbantu dengan tekanan pasokan akibat proyeksi cuaca di Indonesia dengan adanya fenomena La Nina yang dapat mengganggu produksi. “Saat ini, Indonesia mengkhawatirkan dampak hujan yang sangat lebat baru-baru ini terhadap evakuasi tandan ke pabrik dan minyak dari pabrik ke penyulingan, terutama jika hujan lebat akibat La Nina terjadi dalam beberapa bulan mendatang,” papar Fry. Sementara itu, tekanan pasokan juga datang dari Malaysia yang akan memberhentikan seluruh aktivitas di perkebunan dan pabrik Kelapa Sawit di distrik Kunak, Sabah selama dua pekan. Untuk diketahui, pada Senin (28/9), dewan setempat mengeluarkan pemberitahuan bahwa semua perkebunan kelapa sawit dan pabrik di daerah Kunak, Sabah harus ditutup mulai 29 September hingga 12 Oktober 2020 seiring dengan adanya perintah lockdown untuk menanggulangi pandemi Covid-19. Asosiasi Minyak Sawit Malaysia (Malaysian Palm Oil Association/ MPOA) mengatakan mereka akan mengajukan banding ke dewan untuk mengizinkan operasi tetap berjalan. “Ini membuat banyak ketidakpastian mengenai tingkat produksi untuk September dan Oktober,” kata Institutional Sales Manager and Broker Phillip Futures Marcello Cultrera, seperti dikutip dari Bloomberg, Selasa (29/9) Owner Palm Oil Analytics Singapura Sathia Varga mengatakan adanya lockdown di Sabah bisa jadi dapat membantu harga minyak sawit pulih dari kerugian. Namun, ketidakpastian tetap tinggi karena MPOA tengah melobi pemerintah agar tetap diizinkan beroperasi. Varga memperkirakan produksi minyak sawit Malaysia akan naik 8%-10% pada bulan September. Pun, produksi minyak sawit pada Oktober akan menjadi kunci, setelah lockdown terbaru di daerah produsen terbesar CPO Malaysia tersebut. Sementara itu, pasar juga tengah menunggu kejelasan mengenai perubahan pungutan biodiesel di Indonesia, kendati para trader telah memperhitungkan peningkatan pesanan minyak sawit mentah dari Indonesia. “Setiap indikasi mengabaikan mandat akan berdampak negatif pada harga,” tambah Varqa. Analis Mirae Asset Sekuritas Andy Wibowo Gunawan mengatakan bahwa harga CPO berpotensi menguat di tengah proyeksi pemulihan permintaan. Menurut Intertek Testing Services, sebuah perusahaan surveyor karog, ekspor CPO Malaysia untuk periode 1-25 September meningkat 6,9% dari bulan sebelumnya menjadi 1,3 juta ton. “Data ini menunjukkan bahwa permintaan CPO global telah menguat, dan hal ini dapat menimbulkan risiko kenaikan harga CPO global untuk minggu ini,” ujar Andy seperti dikutip dari publikasi risetnya, Selasa (29/9).