Regulasi Biodiesel 40 Persen Masih Menunggu Hasil Uji Teknis
Bisnis.com | Jum’at, 11 September 2020
Regulasi Biodiesel 40 Persen Masih Menunggu Hasil Uji Teknis
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral masih menunggu hasil uji teknis campuran biodiesel 40 persen untuk memulai membuat regulasi bahan bakar nabati itu. Direktur Bioenergi, Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Andriah Feby Misna menjelaskan bahwa hasil uji teknis yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian ESDM diperlukan sebagai salah satu masukan untuk membuat regulasi B40. Namun, pihaknya belum dapat memastikan berapa lama pembuatan draf regulasi tersebut setelah hasil uji teknis tersebut rampung. “Saya belum bisa pastikan karena banyak faktor untuk menerbitkan regulasi,” katanya kepada Bisnis, Jumat (11/9/2020). Sebelumnya, Kepala Badan Litbang ESDM Dadan Kusdiana mengatakan bahwa saat ini kajian penerapan B40 telah memasuki tahap pengujian ketahanan mesin dengan engine test bench selama 1.000 jam terhadap dua formulasi. Formulasi yang pertama adalah B40, yakni campuran 60 persen solar dengan 40 persen fatty acid methyl esther (FAME). Formulasi yang kedua adalah campuran 60 persen solar dengan 30 persen FAME dan 10 persen distillated fatty acid methyl esther (DPME). Dadan menargetkan kajian penerapan B40 akan selesai pada akhir 2020. Namun, Balitbang untuk sementara tidak akan melakukan uji jalan B40 seperti yang dilakukan pada kajian penerapan B30 dikarenakan pandemi Covid-19.
Mediaindonesia.com | Sabtu, 12 September 2020
Menristek Sambut Biofuel ITB-Pertamina
PENGEMBANGAN bahan bakar biofuel berbahan minyak sawit oleh ITB dan Pertamina mendapat sambutan Kementerian Riset dan Teknologi atau Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Kemarin, Menteri Ristek/BRIN Bambang Brodjonegoro menyatakan bahan bakar nabati berbasis sawit akan membuat perekonomian Indonesia bergerak lebih cepat. “Bahan bakar berbasis sawit akan meminimalkan dampak perlambatan ekonomi yang melanda banyak negara. Karena itu, kita wajib memberikan apresiasi kepada semua pihak yang menghasilkan inovasi di bidang tersebut,” ujar Bambang ketika berbicara dalam webinar The Development of Biofuels Indonesia-Brazil, kemarin. ITB dan Pertamina telah berhasil memproduksi green diesel D100 dengan menggunakan katalis merah putih hasil pengembangan mereka dengan kapasitas 1.000 barel sawit. “Sawit merupakan komoditas sumber daya alam terbarukan yang jumlahnya berlimpah. Biofuel memberi peluang memberdayakan petani sawit,” kata Menteri.
Kompas | Senin, 14 September 2020
Menambang di Ladang Sawit
Saat ini biodiesel menjadi andalan baru ketahanan energi Indonesia. Tantangannya, mewujudkan pemanfaatan 100 persen biodiesel sebagai bahan bakar minyak nabati. Film In The Heart of the Sea yang dibintangi Christopher Hemsworth mengisahkan perburuan paus untuk diambil minyaknya Film berlatar tahun 1820 ini menunjukkan berharganya minyak paus sebagai bahan bakar. Perburuan paus terhenti tatkala minyak bumi mulai ditemukan pada awal abad ke-20. Manusia tak perlu lagi berlayar berbulan-bulan memburu paus dengan risiko kapal dihantam badai, karam, terdampar, bahkan kehilangan nyawa Begitulah gambaran salah satu potongan cerita dalam film yang diluncurkan pada 2015 itu. Menambang di ladang atau perut bumi bukan lantas menjadi mudah. Manusia harus kembali ke laut lepas saat cadangan minyak bumi di daratan mulai menipis, bahkan tak menghasilkan apa-apa Sempat mencatatkan produksi minyak melampaui konsumsi, kini situasi berbalik. Indonesia defisit minyak. Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) nasional mencapai 1,5 juta barel per hari. Sementara, produksi minyak di Indonesia saat ini kurang dari 750.000 barel per hari. Kekurangan itu ditutup dari impor, baik berupa minyak mentah maupun BBM. Terdapat 128 cekungan (basin) di wilayah Indonesia Sejauh ini, baru 20 cekungan yang berhasil diproduksi untuk menghasilkan minyak dan gas bumi. Sebanyak 70 cekungan sama sekali belum diteliti, Sebagian besar cekungan berada di laut dalam wilayah Indonesia bagian timur.
Minyak sawit
Pada 2008, Indonesia mulai menguji coba penggunaan minyak sawit (CPO) sebagai ba-han dasar biodiesel. biodiesel dicampurkan ke dalam minyak solar. Dalam 1 liter, komposisinya 2,5 persen biodiesel atau 25 mililiter dan sisanya solar murni atau B-2,5. Secara bertahap, kadar campuran biodiesel dinaikkan. Pada 2010, kadar biodiesel naik menjadi 7,5 persen (B-7,5) dan 10 persen (B-10) pada 2014. Selanjutnya, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 12 Tahun 2015 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biojuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Pada 2015, kadar pencampuran biodiesel menjadi 15 persen (B-15). “Kami terus meneliti dan menguji coba kemungkinan pemanfaatan biodiesel sebagai sumber bahan bakar minyak nabati. Seluruh penelitian dilakukan di sini,” ujar Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana, beberapa waktu lalu. Berdasarkan peraturan menteri tersebut, Indonesia seharusnya menerapkan B-30 per 1 Januari 2020. B-30 berarti dalam seliter BBM mengandung 30 persen, biodiesel dan 70 persen solar murni. Namun, pemerintah berhasil mempercepat penggunaan B-30 pada November 2019 yang sudah mulai dipasarkan PT Pertamina (Persero) di beberapa lokasi. Menurut catatan pemerintah, program B-30 berhasil menghemat devisa 3,35 miliar dollar AS pada 2019. Pada tahun itu, biodiesel yang dimanfaatkan 8,37 juta kiloliter. De- ngan demikian, minyak sebanyak itu tak perlu lagi diimpor karena diganti CPO, Tahun ini, pemerintah menargetkan pemanfaatan 10 juta kiloliter biodiesel. Saat ini, Balitbang Kementerian ESDM sedang menguji pemanfaatan B-40. Pengujian dilakukan dengan memakai B-40 pada mesin selama 1.000 jam. Ditargetkan, uji laboratorium B-40 selesai pada November 2020. “Metode uji ketahanan yang kami gunakan sudah mendapatkan persetujuan bersama dari Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia) dan Ikabi (Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia),” kata Ketua Tim Pengkajian B-40 Sylvia Ayu Bethari. Dari pelaku usaha perkebunan kelapa sawit, pemanfaatan biodiesel sebagai campuran bahan bakar turut mendongkrak harga CPO. Program ba-han bakar nabati ini menjadi salah satu faktor penyeimbang pasokan dan permintaan CPO di pasaran. “Program biodiesel menjadi faktor kunci menjaga kestabilan harga CPO. Harga CPO tahun ini berkisar 650 dollar AS per ton, masih lebih baik daripada tahun lalu yang di bawah 600 dollar AS per ton,” ujar Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Togar Sitanggang dalam webinar, beberapa waktu lalu. Tahun lalu, produksi CPO Indonesia 47,1 juta kiloliter, yang diperkirakan turun menjadi 46 juta kiloliter tahun ini. Produksi tersebut jauh di atas rata-rata konsumsi solar bersubsidi setiap tahun, yakni sekitar 15 juta kiloliter. Apakah mungkin solar murni digantikan sepenuhnya dengan biodiesel sehingga menjadi bahan bakar B-100? Barangkali tinggal menunggu waktu, lalu menambang minyak tak lagi mengebor perut bumi hingga ke laut lepas. Cukup dari kebun.
Kompas | Senin, 14 September 2020
Dilema B100
Indonesia sudah bisa memproduksi bahan bakar minyak yang dibuat dengan bahan nabati minyak sawit yang sepenuhnya bisa menggantikan solar (B100). Solar nabati ini diproduksi Pertamina Research and Technology Center (RTC). Solar nabati dibuat melalui proses transesterifikasi, yaitu mereak-sikan minyak sawit dengan alkohol, misalnya metanol, untuk menghasilkan solar nabati murni, yang juga dikenal dengan fatty acid methyl ester (FAME). Untuk sepenuhnya digunakan sebagai pengganti solar (B100), FAME harus diolah agar karakteristiknya semirip mungkin dengan solar.
Tantangan solar nabati
Kebijakan solar nabati ini masih meninggalkan beberapa pertanyaan. Pertama, bagaimana kelayakan keekonomiannya? Apa dampaknya pada harga energi di dalam negeri? Apakah perlu memperluas kebun sawit dari yang ada? Ide solar nabati ini digadang untuk menjembatani dua tantangan besar. Pertama, mengurangi kebutuhan impor BBM dan dengan demikian membantu neraca perdagangan Indonesia. Dan kedua, penggunaan solar nabati akan menambah permintaan dalam negeri akan minyak sawit dan dengan demikian akan meningkatkan harga sawit dunia dan akhirnya menguntungkan eksportir minyak sawit seperti Indonesia. Produksi minyak bumi Indonesia memang terus menurun. Produksi hanya bisa digenjot hingga 283 juta barel (778.000 barel per hari) saja pada 2018. Padahal, kebutuhan bahan bfdcar minyak Indonesia, termasuk solar nabati, pada tahun 2018 mencapai 466 juta barel per tahun. Kekurangan 120 juta barel per tahun itu harus dipenuhi melalui impor. Penggunaan B20 pada 2019 diklaim telah membantu Indonesia menurunkan impor solar hingga 45 persen dibandingkan 2018 dan menghemat devisa 5,5 miliar dollar AS. Bahkan, pada Mei 2019, impor solar CN 48 dihentikan walaupun kontrak pembelian jangka panjang tidak bisa begitu saja diputus. Lebih dari 6 miliar liter FAME digunakan untuk campuran solar hingga mencapai B20. Kedua, industri sawit dibayangi oleh harga minyak sawit dunia yang tak kunjung membaik. Apalagi ada ancaman dari sejumlah negara tujuan ekspor untuk menghentikan impor minyak sawit dari Indonesia. Harga minyak sawit dunia di bursa Malaysia hari ini sebetulnya mem- perlihatkan sedikit penguatan dengan harga 2.550 ringgit, atau sedikit di bawah 600 dollar AS per ton, sesudah sempat jatuh pada kisaran 2.207 ringgit (517 dollar AS) per ton awal Mei 2020. Awal Januari 2020, harga sempat mencapai 2.829 ringgit (663 dollar AS) per ton.
Industri sawit Indonesia pernah booming pada 2017 dengan nilai ekspor tertinggi sepanjang sejarah, 22,97 miliar dollar AS, saat harga minyak sawit mentah (crude palm oil) rata-rata 714,3 dollar AS per ton. Namun, masih ada dilema. Penggunaan solar nabati di dalam negeri akan menciptakan permintaan dalam negeri dan dunia, dan akan menaikkan harga Pada saat ekuilibrium tercipta, produsen minyak sawit akan menikmati volume dan harga yang tinggi. Namun, bukankah naiknya harga minyak sawit dunia akan meningkatkan pula bahan bakar nabati berbahan baku minyak sawit? Harga minyak mentah dunia saat ini masih rendah, 40,59 dollar AS (sekitar Rp 600.000) per barel, atau sekitar Rp 3.778 per liter. Harga sempat meningkat hingga 63,54 dollar AS pada 5 Januari 2020. Pada 21 April 2020, karena berkurangnya permintaan akibat pandemi, pertama kali dalam sejarah harga minyak di Amerika (West Texas Intermediate) untuk pengiriman Mei turun hingga negatif 37,63 dollar AS per barel (artinya, pembeli akan dibayar untuk membawa minyak). Harga futures gasoil selar untuk industri dunia saat ini sekitar 365 dollar AS per ton, atau sekitar Rp 5.292,5 per liter. Di Indonesia, harga solar dex hari ini Rp 10.200, dexlite Rp 9.500, dan biosolar Rp 9.400. Banyak yang berpendapat bahwa harga BBM seharusnya bisa lebih rendah lagi. Sementara itu, harga jual solar nabati mungkin bisa mencapai Rp 14.000 atau lebih, lebih tinggi dari harga solar. Tanpa subsidi, campuran solar dengan solar nabati justru menjadi lebih mahal daripada solar biasa. Perbedaan harga ini biasanya ditutup oleh dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) dengan dana yang dikumpulkan dari kutipan ekspor minyak sawit dan turunannya Turunnya harga minyak dunia akibat berkurangnya permintaan pasar akan berdampak pada naiknya kebutuhan subsidi kepada solar nabati untuk membuatnya kompetitif melawan solar.
Semakin banyak solar nabati digunakan di Indonesia, akan semakin tinggi pula harga minyak sawit dunia, dan pada gilirannya semakin tinggi juga harga solar nabati di Indonesia. Harga produk pangan dan produk lain yang menggunakan minyak sawit juga akan naik. Saat produsen sawit menikmati harga yang lebih baik, konsumen bahan bakar dan bahan lain harus bersedia membayar harga solar nabati lebih mahal, atau pemerintah memberikan subsidi lebih besar. Apa implikasi meningkatnya penggunaan solar nabati pada industri sawit kita? Pada 2019, konsumsi solar Indonesia kira-kira sekitar 16 juta kiloliter (16,2 miliar liter), lebih besar ketimbang kuota APBN 2019 sebesar 14,5 juta kiloliter. Kuota volume solar bersubsidi pada APBN 2020 adalah 15,3 kiloliter. Sebelum pandemi, konsumsi solar diperkirakan akan naik. Dengan adanya pandemi Covid-19, konsumsi solar dan BBM lainnya turun drastis. Konsumsi solar pada Mei 2020 adalah 818.224 kiloliter, turun sekitar 40 persen dari 1.355.120 kiloliter pada Mei 2019. Melihat kecenderungan saat ini, tampaknya kuota APBN 2020 tidak akan terlampaui pada akhir tahun. Namun, pandemi adalah keadaan luar biasa yang sementara. Pasca-pandemi, konsumsi akan kembali meningkat. Di beberapa tempat, bahkan sudah mulai menggeliat naik. Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), pada 2019 Indonesia memproduksi 47,2 juta ton CPO dan 4,6 juta minyak inti sawit (palm kernel oil) yang merupakan produk ikutan CPO. Produksi ini dihasilkan oleh 14,7 juta hektar total perkebunan sawit di Indonesia, dengan produktivitas rata-rata 3,2 ton CPO per hektar. Dari total produksi pada 2019 ini, 37,4 juta ton adalah untuk diekspor, 20 persen dalam bentuk CPO dan 80 persen sisanya dalam bentuk produk turunan, termasuk oleochemical (8 persen) dan solar nabati (3 persen). Sisanya, 16,67 juta ton, untuk dikonsumsi di dalam negeri. Konsumsi total pada 2019 meningkat 23,57 persen dibandingkan tahun sebelumnya, 3,49 juta ton. Sekitar sepertiga (35 persen), yaitu 5,75 juta ton, dari 16,7 juta ton total konsumsi minyak sawit domestik Indonesia pada 2019 adalah untuk solar nabati. Sementara konsumsi untuk pangan 9,86 juta ton dan untuk oleochemical 1,05 juta ton, dengan perkiraan penghematan devisa sebesar 3,8 miliar dollar AS dari berkurangnya impor solar. Target serapan solar nabati tahun ini diharapkan mencapai 9 juta-10 juta kiloliter, di antaranya karena ada dorong- an untuk mulai menggunakan B30. Jika itu tercapai, dapat menghemat devisa impor sebesar 5,4 miliar dollar AS.
Produktivitas lahan
Pada 2019, produksi solar nabati sebanyak 5,75 juta ton dihasilkan oleh 1,8 juta hektar perkebunan sawit, dengan produktivitas rata-rata 3,2 ton per hektar. Pada 2020,10 juta ton konsumsi minyak sawit untuk solar nabati akan dihasilkan oleh 3,1 juta hektar perkebunan sawit Dengan asumsi produktivitas yang sama, untuk memenuhi seluruh permintaan solar sebanyak 15 juta kiloliter, atau 15 juta ton sepenuhnya dengan solar nabati, akan dibutuhkan 4,8 juta hektar perkebunan sawit. Ini hampir sepertiga dari luas perkebunan sawit yang ada. Inpres No 8/2018 mengenai Penundaan dan Evaluasi Perizinan serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit (dikenal dengan “Moratorium Sawit”, ditandatangani 19 September 2018) membatasi pembukaan kebun sawit baru. Artinya, untuk memenuhi kebutuhan yang ada, jalan sau-satunya adalah meningkatkan produktivitas. Untuk bisa menghasilkan 10 juta ton tambahan produksi sawit dari 47,2 juta ton menjadi sekitar 57 juta ton tanpa menambah kebun baru, produktivitas perkebunan harus ditingkatkan dari 3,2 ton menjadi 3,9 ton per hektar, atau peningkatan produktivitas lebih dari 21 persen. Pada 2019, diperkirakan 8 juta hektar atau 54,7 persen perkebunan di Indonesia dikelola oleh swasta besar yang memproduksi 27,3 juta ton. Sementara 6 juta hektar atau 40,9 persen dikelola oleh perkebunan rakyat (smallholder) yang menghasilkan 16,2 juta ton. Sisanya, 0,63 juta hektar atau 4,3 persen, adalah perkebunan milik negara yang menghasilkan 0,63 juta ton. Ini berarti produktivitas perkebunan negara adalah yang paling tinggi, 3,67 ton per hektar, diikuti perkebunan besar swasta 3,39 ton dan perkebunan rakyat 2,69 ton per hektar. Sebagai perbandingan, produktivitas kebun di Malaysia adalah 3,7 ton per hektar. Apakah dengan demikian tuntutan untuk memperluas kebun sawit tidak bisa dihindari? Apabila kebutuhan itu dipenuhi dengan memindahkan suplai ekspor untuk kebutuhan dalam negeri, maka tidak dibutuhkan perkebunan baru, tetapi ini akan menaikkan harga minyak solar secara signifikan. Apabila ekspor tidak berubah, dan penambahan konsumsi dalam negeri ini dipenuhi dengan penambahan produksi, produksi 15 juta ton minyak sawit khusus untuk solar nabati akan membutuhkan 4,7 juta hektar perkebunan. Bahan bakar nabati selalu diklaim sebagai bahan bakar yang berwawasan lingkungan. Namun, keputusan perluasan kebun sawit ini harus mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan yang tampaknya signifikan.
Sawitindonesia.com | Minggu, 13 September 2020
APKASINDO: Perbaiki Tata Niaga TBS, Kenaikan Pungutan Ekspor Dikaji Ulang
Rencana pemerintah memperluas mandatori biodiesel campuran 30% atau B30 mendapatkan dukungan berbagai pihak termasuk petani. Program ini sangat efektif menjaga keseimbangan stok sawit di dalam negeri begitupula harga. Namun, B30 bisa dikatakan berhasil dengan syarat perbaiki tata niaga TBS terutama Permentan Nomor 01/2018. Dengan begitu, tidak ada lagi kritikan bahwa B30 hanya menguntungkan segelintir grup besar perusahaan sawit. “Program (B30) merupakan kebijakan strategis nasional untuk meningkatkan serapan produksi minyak sawit di dalam negeri dan tentu saja menjaga harga CPO agar ekonomis. Tidak bisa kita pungkiri bahwa dengan luasnya perkebunan sawit di 22 Provinsi seluruh Indonesia, maka produksi CPO melimpah. Oleh karena itu, kami mendukung kelanjutan program bagi ketahanan energi nasional ini. Apalagi di 22 Provinsi tersebut APKASINDO hadir melalui DPW (Red-Dewan Pimpinan Wilayah),” ujar Rino Afrino, ST.,MM, Sekjen DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) dalam perbincangan melalui telepon, Sabtu (12 September 2020).
Lebih lanjut Rino menguraikan bahwa program biodiesel ini perlu mendapat dukungan semua pihak karena memberikan nilai tambah bagi perekonomian dan menekan impor BBM. Itu sebabnya, pemerintah sangat berkepentingan atas keberlanjutan Biodiesel dari B30 sampai B100. Dalam perdagangan internasional disebutkan bahwa saat ini selisih harga CPO dan minyak bumi semakin melebar, hal ini berdampak kepada pemberian insentif B30 saat ini. Itu sebabnya, muncul semangat nasionalis mempertahankan program ini melalui berbagai skema mulai dari kenaikan pungutan ekspor dan menambah insentif dari APBN. “Bagi petani, persoalan pungutan ekspor dan B30 ini harus menguntungkan semua pihak. Dari konteks petani, kami ingin mendapatkan harga TBS yang wajar dan berkeadilan. Kuncinya adalah wajib diperbaiki tata niaga TBS di tingkat petani, tanpa ini muncul berbagai persoalan,” imbuh Rino. Menurutnya, dengan harga CPO rerata US$ 600 per ton maka harga TBS petani seharusnya Rp 1.500-Rp 1700 per kilogram. “Harga inilah yang seharusnya dapat dinikmati petani di seluruh Indonesia. Faktanya di lapangan, petani tidak memperoleh harga tersebut. Jauh dibawah harga tersebut. Apalagi yang sekarang CPO rerata mendekati US$ 700, harga TBS seharusnya Rp 1800-Rp 2200/kg. “Berdasarkan konsolidasi petani APKASINDO di 22 Provinsi dan 118 Kabupaten, fakta lapangan selalu menjadi keluhan utama yaitu rendahnya harga TBS. Yang terjadi , petani Sawit di Indonesia bagian Timur selisih harga lebih rendah sampai 40% dibandingkan harga di Indonesia bagian Barat,” tambah Rino.
Merujuk fakta tersebut, sebaiknya pemerintah mengkaji benar rencana kenaikan pungutan ekspor tersebut. Dikatakan Rino, harga TBS petani dapat terbebani Rp 90-105/Kg sebagai imbas kenaikan pungutan ekspor. “Kalau tata niaga TBS petani belum juga diperbaiki semua akan sia-sia. Terlebih, petani semakin terbebani dan dihantui Perpres ISPO yang memaksa wajib bersertifikat ISPO, tanpa sertifikat TBS Petani tidak dibeli pabrik sawit. Ini semua berpeluang menekan Harga TBS Petani. Jadi, (petani) tiga kali terkena dampaknya,” papar auditor ISPO ini. Konsep sharing the pain sebaiknya harus memperkuat semua pihak. Intinya adalah memperkuat yang lemah dan menjaga yang telah kuat. Rino mengakui di kala pandemi kita semua berbagi “sakit” tetapi perlu menjaga kekuatan diantara tiga pemangku kepentingan: petani, pengusaha, dan pemerintah. “Ketiganya jangan saling merugikan. Maka,kami ingin tata niaga TBS diperbaiki sesegera mungkin melalui revisi Permentan 01/2018 tentang tata niaga TBS. Barulah bisa kenaikan pungutan di atas harga CPO US$ 600/ton menjadi solusi atas kelanjutan program B30,” kata Rino. Dengan memperbaiki tata niaga TBS, menurut Rino, keadilan harga TBS dapat dinikmati petani. Alhasil, harga CPO sebesar US$ 600/ton akan berdampak positif bagi harga TBS petani. “Kami juga tidak ingin harga TBS petani diperlakukan tidak adil oleh pabrik. Banyak potongan harga yang dibebankan pabrik kepada petani dan juga potongan timbangan TBS Petani mencapai 12%. Beban-beban biaya yang tidak jelas dan ditimpakan kepada petani, Harus diingat, petani sawit sudah naik kelas dan setara. Kami tidak mau dibodohi lagi,” tegas Rino.