Relaksasi Mandatori Tak Ganggu Serapan Biodiesel
Investor Daily Indonesia | Rabu, 3 Juni 2020
Relaksasi Mandatori Tak Ganggu Serapan Biodiesel
JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan target serapan biodiesel tahun ini sebesar 10 juta kiloliter (KL) tidak akan terganggu adanya relaksasi penjualan solar murni yang diberikan kepada PT Pertamina (Persero). Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Andriah Feby Misnah menuturkan, kelebihan pasokan solar yang dimiliki Pertamina diizinkan untuk dijual kepada badan usaha bahan bakar minyak (BBM). Namun, mandatori pencampuran biodiesel tetap melekat pada badan usaha BBM. “Badan usaha BBM lain ini selanjutnya akan mem-blending dengan FAME (fatty acid methyl ester) menjadi B30, baru didistribusikan ke konsumen. Jadi bukan berarti bisa pakai BO,” kata dia dalam pesan pendeknya kepada Investor Daily, belum lama ini. Sehingga, lanjutnya, target serapan biodiesel tahun ini diharapkan tetap berjalan sesuai dengan rencana. Adanya relaksasi penjualan solar murni yang tidak dicampur biodiesel atua BO tidak berdampak pada target serapan biodiesel. Kebijakan ini justru diharapkan akan berdampak pada impor BBM. “Yang pasti impor turun, karena badan usaha BBM lain enggak perlu impor,” tutur Feby.
Kementerian ESDM mengirimkan surat kepada Pertamina yang isinya memberikan relaksasi untuk menjual solar murni atau BO. Dalam surat Kementerian ESDM ke Pertamina disebutkan bahwa penjualan solar murni atau solar yang belum dicampur dengan biodiesel hanya boleh dilakukan kepada Badan Usaha BBM yang merupakan importir solar yang mendapat alokasi unsur nabati (fatty acid methyl ester/FAME). Kuota penjualan solar BO yang diberikan sebanyak 1,95 juta kiloliter (KL) dan Pertamina wajib melaporkan realisasi penjualannya setiap bulan. Terkait mandatori pencampuran biodiesel 30% atau B30, pemerintah telah menambah dana insentif untuk menutup selisih harga solar dan biodiesel sebesar Rp 2,78 triliun. Menurut Feby, adanya tambahan dana insentif akan melancarkan implementasi mandatori B30, mengingat selisih harga solar dan biodiesel kian membesar. “Semoga bisa jalan,” ujarnya. Dalam menerapkan mandatori B30, pemerintah menyediakan dana untuk menutup seluruh selisih harga solar dan biodiesel. Pasalnya, harga biodiesel cenderung lebih mahal dari solar. Pada April lalu, Harga Indeks Pasar (HIP) sesuai ketetapan pemerintah yakni sebesar Rp 8.019 per liter belum termasuk ongkos angkut. Sementara rata-rata harga solar sesuai Means of Platts Singapore (MOPS) pada April lalu tercatat turun menjadi US$ 28,33 per barel. Dengan asumsi kurs tengah Bank Indonesia Rp 15.157, harga solar tersebut setara dengan Rp 2.701,13 per liter. Sehingga selisih harga keduanya mencapai Rp 5.317,87 perliter. Padahal, di Januari kemarin, selisih harga biodiesel dan solar belum sebesar itu. Harga rata-rata solar pada awal tahun ini sesuai MOPS tercatat masih mencapai US$ 64,03 per barel atau setara Rp 6.104,94 per liter dengan kurs tengah Bank Indonesia di 30 April Rp 15.157. Sementara harga biodiesel relatif stabil, yakni Rp 8.706 per liter. Selisih harga solar dan biodiesel ini hanya sekitar Rp 2.601,06 per liter. Serapan Rendah Meski demikian, Feby menambahkan, realisasi serapan biodiesel hingga saat ini kurang menggembirakan. Pasalnya, realisasi serapan itu masih di bawah target. “Serapan biodiesel sampai dengan 15 Mei sebesar 3,08 juta KL,” kata dia.
Investor Daily Indonesia | Rabu, 3 Juni 2020
Tuduhan Dumping Marak
Bisnis, JAKARTA – Tuduhan dumping dan subsidi terhadap produk ekspor Indonesia meningkat selama pandemi Covid-19. Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan Pradnyawati mengatakan banyak negara maju dan berkembang yang intens menuduh Indonesia melakukan praktik dumping dan subsidi selama pandemi. Bagaimanapun, dia enggan memerinci negara yang dimaksud dan apa saja produk RI yang menjadi sasaran tuduhan. Namun, menilik data Kemendag per Februari 2020, setidaknya terdapat 34 jenis produk dengan potensi penyelamatan ekspor US$3,66 miliar yang tengah diperjuangkan RI dari pengenaan trade remedies negara lain. Baja, tekstil, biodiesel dan kimia merupakan segelintir produk ekspor unggulan RI yang menjadi objek trade remedies negara lain. Adapun, sejumlah negara yang aktif melakukan penyelidikan terhadap produk RI sebelum pandemi a.l. India, Amerika Serikat, Uni Eropa, Australia, dan Turki. Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta W. Ramdani menilai Indonesia tidak perlu mengkhawatirkan tuduhan persaingan tidak sehat dalam perdagangan internasional selama bisa membuktikan komitmen sebagai anggota WTO. Namun, dia memperingatkan maraknya tuduhan dumping dan subsidi pada produk ekspor Indonesia dapat mengganggu kinerja perdagangan RI bila kebijakan-kebijakan yang mendistorsi perniagaan dalam waktu lama dipertahankan.
Kebijakan penyelamatan industri dalam negeri yang terimbas pandemi virus corona seperti pengurangan pajak dan restrukturisasi, menurut Shinta, haruslah berlaku sementara. “Kalau kondisi darurat ekonominya sudah lewat, kebijakan-kebijakan tersebut harus kita lepaskan sehingga produk ekspor nasional tidak terkena tuduhan dumping atau subsidi perdagangan pada periode new normal,” jelasnya saat dihubungi, Senin (1/6). Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal berpendapat maraknya penyelidikan antidumping dan safeguard terhadap produk ekspor RI merupakan imbas dari mulai lunturnya multilateralisme perdagangan yang dibangun lewat kesepakatan dagang kawasan. “Terdapat outlook yang memperkirakan bahwa volume perdagangan emerging market bisa mencapai 30% pada 2030. Kalau dahulu yang mendominasi Amerika Serikat dan Uni Eropa, kini kondisi berbalik,” ujar Fithra.