RI Bisa Loh Kurangi Impor Energi, Begini Caranya!
CNBCIndonesia.com | Jum’at, 9 Oktober 2020
RI Bisa Loh Kurangi Impor Energi, Begini Caranya!
Pemerintah dalam memenuhi kebutuhan energi saat ini masih sangat tergantung dari impor. Bahkan yang diimpor merupakan energi berbasis fosil yang dinilai tidak ramah lingkungan. Pemerintah pun kini tengah mengupayakan untuk mengurangi ketergantungan impor, salah satunya yakni dengan mendorong penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT). Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengakui bahwa ketergantungan impor ini menjadi hal yang berat dalam rangka memenuhi kebutuhan energi nasional. Oleh karena itu, pemerintah akan meningkatkan pengembangan EBT untuk mengurangi impor energi. “Ketergantungan impor menjadi salah satu yang berat untuk jaga ketahanan energi nasional. Negara-negara di dunia kini juga berkomitmen mengurangi perubahan iklim. Pemerintah bertekad mengurangi (ketergantungan impor dan dampak energi kotor) melalui transisi ke EBT,” tuturnya dalam acara peluncuran secara virtual Indo EBTKE ConeX 2020, Jumat (09/10/2020). Saat ini pemerintah memiliki target bauran energi baru terbarukan sebesar 23% pada 2025. Lalu akan meningkat menjadi 30% pada 2050. Adapun saat ini potensi EBT mencapai lebih dari 400 Giga Watt (GW), tersebar di seluruh Indonesia. “Tidak dapat dipungkiri merebaknya pandemi Covid-19 jadi tantangan tersendiri dalam proses transisi,” ungkapnya. Dia mengatakan, pemerintah telah berupaya menekan angka impor bahan bakar minyak (BBM) khususnya solar melalui program Biodiesel 30% (B30) yang sudah berjalan sejak awal tahun ini. Program ini ditargetkan akan terus didorong menjadi Biodiesel 40% (B40) pada tahun depan. “Contohnya, pelaksanaan B30 dan green refinery (untuk tekan impor BBM),” ujarnya. Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Dharma berpandangan pemanfaatan potensi EBT yang ada belum dilakukan secara maksimal. Data terakhir menunjukkan pemanfaatannya baru mencapai 9,15% dari target bauran energi 23% pada 2025. “Sayangnya potensi yang ada belum bisa dimanfaatkan secara maksimal. Pemanfaatan baru 9,15%. Perlu akselerasi dalam upaya antisipasi krisis ekonomi dan energi. EBT bisa dorong investasi, dorong pembangunan berkelanjutan. Pemanfaatannya masih perlu disosialisasikan dengan komprehensif,” jelasnya.
Mungkinkah Target Bauran EBT 23% Tahun 2025 Bisa Tercapai?
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Harris menjelaskan saat ini Indonesia masih didominasi energi fosil yakni sebesar 91% terdiri dari batu bara, minyak, dan gas. Capaian bauran energi sebesar 9,15% saat ini tediri dari pembangkit dan non pembangkit, di mana sekitar 75% berasal dari pembangkit listrik dan 25% sisanya dari non pembangkit listrik. Untuk mencapai target bauran EBT 23% pada 2025, menurutnya setidaknya harus memiliki kapasitas pembangkit listrik EBT lebih dari 19.000 MW. Posisi saat ini pembangkit listrik berbasis EBT baru ada 10.000 MW, sehingga butuh sekitar 9.000 MW lagi untuk tambahannya. Sementara dalam beberapa tahun terakhir, penambahan kapasitas pembangkit listrik EBT rata-rata hanya sekitar 500 MW per tahun. Bila ke depan tidak ada upaya percepatan, maka artinya pada 2025 hanya menambah sekitar 2.500 MW. Artinya, ini masih jauh lebih rendah dari yang dibutuhkan untuk mencapai target bauran EBT 23% pada 2025. Demi mengejar bauran energi baru terbarukan, PT PLN (Persero) akan berpartisipasi dalam penambahan pembangkit sebesar 5.500 MW sampai 2024. Dengan demikian, sampai 2025 baru ada tambahan 7.000 MW. Oleh karena itu, menurutnya perlu keterlibatan pihak swasta dalam upaya mencapai target 23% ini. “Keterlibatan swasta juga perlu,” ungkapnya. Demi mendorong EBT, saat ini sedang diselesaikan Peraturan Presiden (Perpres) mengenai pembelian listrik. Di dalam Perpres yang sedang dirancang ini akan diatur mengenai harga EBT yang disesuaikan dengan aspek keekonomian dan berdasarkan pada lokasi EBT yang akan dibangun. “Harga yang sudah dimasukkan lebih menarik untuk memberikan daya tarik yang besar pada pelaku bisnis berinvestasi di Indonesia,” tuturnya.
Antaranews.com | Minggu, 11 Oktober 2020
BGR gandeng ITS kembangkan biodiesel hingga logistic
BUMN jasa logistik, PT Bhanda Ghara Reksa (Persero) atau BGR bersinergi dengan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya untuk pengelolaan minyak jelantah menjadi biodiesel, program ketahanan pangan dari pemerintah, dan pengintegrasian logistik berbasis Internet of Things . Direktur Utama BGR Logistics, M Kuncoro Wibowo dalam keterangannya di Jakarta, Minggu mengatakan kerja sama ini merupakan langkah awal realisasi iktikad baik untuk melanjutkan ke tahapan selanjutnya. Nota kesepahaman tersebut ditandatangani langsung oleh Direktur Utama BGR Logistics, M Kuncoro Wibowo dengan Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Prof Dr Ir Mochamad Ashari, M.Eng, serta disaksikan oleh Vice President Corporate Secretary BGR Logistics, Rifanni Sari di Kampus ITS Surabaya. Kuncoro menjelaskan bahwa peluang kerja sama untuk wilayah Jawa Timur meliputi pengelolaan dan pemanfaatan minyak jelantah menjadi biodiesel (B30), pemanfaatan platform Warung Pangan sebagai bagian untuk menyukseskan ketahanan pangan di Jawa Timur, serta pendampingan halal produk-produk warung pangan dari Mitra Warung Pangan. Aplikasi Mitra Warung Pangan merupakan aplikasi berbasis digital yang diperuntukkan bagi pemilik warung untuk membeli stok bahan pangan dari BUMN Pangan. Melalui aplikasi tersebut, pemilik warung dapat membeli stok kebutuhan warung, berupa bahan sembako, seperti beras, minyak, dan gula, dengan mudah dan bebas biaya pengiriman, Sementara itu Rektor ITS Mochamad Ashar menyambut dengan antusias salah satu program dari BGR yang memanfaatkan limbah minyak jelantah untuk menjadi biodiesel. “ITS memiliki berbagai bidang disiplin ilmu yang sejalan dengan hal tersebut, salah satunya adalah Departemen Teknik Kimia. Kami berharap kerja sama ini juga dapat masuk ke bidang energi,” ujarnya.
Thejakartapost.com | Sabtu, 10 Oktober 2020
Revisiting Indonesia’s bioethanol transport fuel policy
By 2025, Indonesia aims to increase its renewable energy share to 23 percent for transportation in line with the country’s commitment to reduce its greenhouse gas emissions made during the COP 21 conference on climate change in Paris in 2015. Policies to shift from the use of diesel and gasoline fuels to biodiesel and bioethanol are among the strategies to meet that climate change target. On top of that, the country needs to reduce its dependency on imported refined products, especially imported gasoline, which currently serves more than 50 percent of national consumption. In contrast to the biodiesel blend mandate — a 30 percent mandatory blend in diesel fuel that has been in place since December of last year — the planned bioethanol mandate program has yet to be implemented. The Ministry of Energy and Mineral Resources (MEMR) has mandated that gasoline fuel be blended with bioethanol, setting targets of 5 percent by 2020 and 20 percent by 2025. Nevertheless, the blend percentage of bioethanol in gasoline fuel remains zero. In fact, bioethanol blend requirements was first mandated in 2008. According to the Association of Denatured Alcohol and Ethanol (ASENDO), between 2012 and 2017 only around 500 kiloliters of bioethanol was blended with gasoline fuels and since 2018 there has been practically no bioethanol used as transport fuel. In contrast to bioethanol, according to MEMR data and the United States Department of Agriculture’s Foreign Agricultural Service report, the blend rate of biodiesel in diesel transport fuel in Indonesia grew from less than 1 percent in 2010 to nearly 20 percent in 2019 which is in line with the targets set by the biodiesel mandate. During the same period, the road transport sector in Indonesia consumed more gasoline than diesel fuel with a ratio of around 55:45. With an estimated 13.6 million gasoline-fueled cars and 12 million motorcycles compared to about 4.7 million diesel fueled vehicles in operation and assuming that electric vehicle penetration will be limited, we expect that gasoline fuel consumption will still be more important than diesel for the next 20 years.
The bottleneck hindering the bioethanol mandate may be attributed to three factors: high cost of sugarcane (molasse), fluctuations in the price of molasse, and low production capacity. First, the high production cost of sugarcane, which is the main feedstock of bioethanol, results in a big gap between bioethanol and gasoline prices. For example, the market ceiling price of bioethanol fuel in August 2020 was Rp 14,779 (US$1.1) per liter, while gasoline ranges from Rp 7,650 to Rp 9,200 per liter in most provinces. Second is the fluctuation of molasse prices. A recent example: MEMR’s historical data shows that the average price of molasse jumped by more than 45 percent between June and August 2020, causing the bioethanol market ceiling price to increase by nearly 30 percent during the same period — the highest price since the 2016 decree issuance. The stagnating or even reduced production of sugarcane since 2015 combined with the increasing demand for sugar and molasse may be the main factor behind the price jump. In addition, molasse exports increased by 20 percent between 2017 and 2018 and by 26 percent between 2018 and 2019. Another factor that might contribute to the price fluctuation is the sugarcane purchasing system called the ‘ cut-purchase system’. In this system, factories buy sugarcane from farmers at a fixed reference price that varies only in relation to the measured sugarcane yield but which is not connected to sugar prices in the market. As the sugar price fluctuates in the market, sugar factory stakeholders might see this reference price as a risk, resulting in additional costs to cover. In addition, sugarcane yield measurement can be problematic. Farmers may tend to trade with the factories that assign higher yield to their products. As a result, the new purchasing system tends to eliminate small and private factories from the market, thus reducing competition while at the same time increasing the price. The molasse and sugar yield become less certain. Third is the low capacity of fuel grade bioethanol production. There are currently only three factories that can produce molasse-based fuel-grade bioethanol in Indonesia with a total yearly production capacity of 45,000 kiloliters of bioethanol, which means that if Indonesia had implemented the 5 percent bioethanol mandate, only about 2.6 percent of the demand could have been met. To address these issues, the Government of Indonesia needs to take the following three measures. First and most importantly, it must improve the current “cut-purchase system”. A periodic price adjustment mechanism should be put in place to link the fixed benchmark purchase price of sugarcane to the fluctuating sugar price. With the adjustment mechanism, risk of loss for sugar factories would be reduced as prices would be regularly adjusted while farmers would receive guaranteed prices. A more standardized and transparent method of sugarcane yield measurement is also essential. It would encourage farmers to trade with the nearest factory, thus reducing the risk of yield drop and should guarantee fair measurement, especially during the harvesting period. Furthermore, small, and private factories would be able to remain in the market, thereby restoring competition.
Second, the government needs to secure molasse supply for domestic use. A practical measure would be to imitate the export fee implemented on crude palm oil exports, whose revenue is used to close the gap between biodiesel and pure diesel prices and to support palm plantations. In the case of bioethanol, the revenue should be used principally to support sugarcane farmers, thereby decreasing production costs and, to a limited extent, narrowing the price gap between bioethanol and gasoline prices. Levying an export fee of $25 per ton on exported molasse, for example, would provide a fund of roughly $190 million from which $155 million could be allocated to support sugarcane plantations while the rest ($35 million) should provide at least enough funds for the government to buy bioethanol from producers at the ceiling price and sell it to gasoline retailers at the gas station gasoline prices in any E2 program at the provincial level. Third, the government must start immediately with a bioethanol mandate program, taking advantage of the current low gasoline consumption caused by the COVID-19 pandemic-related mobility restrictions and economic downturn. Mandates can start at the national level, for example, at a very low 0.2 percent blend rate or at the provincial level such as a 2 percent blend rate in East Java. Mandating low blend rates should pave the way for a bioethanol supply chain and pricing mechanism from plantations to gas stations.
Akurat.co | Minggu, 11 Oktober 2020
Permintaan Menurun, Legislator Minta Produksi Avtur Tetap Terjaga
Penurunan jumlah penerbangan, baik maskapai domestik maupun internasional turut berimbas pada permintaan avtur. Pandemi Covid-19 memang telah memukul hampir semua sektor, tak terkecuali industri penerbangan. Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten sebagai salah satu pintu masuk ke Indonesia, turut terdampak adanya pandemi ini. Anggota Komisi VII DPR RI Rudy Mas’ud menilai, akibat adanya pandemi membuat avtur dari Pertamina kehilangan pasarnya, sehingga terkontraksi cukup dalam. Ia berharap pandemi Covid-19 segera berakhir, sehingga sektor penerbangan maupun sektor-sektor lainnya kembali pulih. “Saat ini dengan pandemi, kita kehilangan pasar (permintaan avtur) cukup dalam kontraksinya. Menurut saya ini adalah temporary, artinya ini mudah-mudahan pandemi segera berlalu. Insya Allah ekonomi kembali pulih. Nah yang perlu kita ansitisipasi adalah penerbangan-penerbangan ini akan bertambah. Sehingga menurut saya perlu diantisipasi supaya produksi avtur tetap dijaga. Pertamina mesti siapkan juga storage tank, supaya bisa menampung produksi avtur ini cukup untuk tetap bisa dijaga produksinya,” papar Rudy, saat mengikuti Kunjungan Kerja Reses Komisi VII DPR RI ke Tangerang, Banten. Adapun pasokan listik dari PLN dan avtur untuk Bandara Soekarno-Hatta dari Pertamina mendapat sejumlah sorotan dari Tim Kunker Komisi VII DPR RI. Akibat dari menurunnya permintaan avtur, termasuk produk-produk lainnya, Pertamina mengalami kerugian yang cukup signifikan. Sebagai antisipasi kerugian semakin tinggi, sejumlah masukan pun datang dari Anggota Komisi VII DPR RI. Salah satunya dengan menghentikan pada produksi Pertamina yang berbiaya mahal, seperti biodiesel. Rudy pun sepakat dengan hal tersebut. Politisi Partai Golkar itu menyarankan agar Pertamina menyetop dan memangkas produksi untuk produk-produk mahal, agar harganya bisa tetap kompetitif. “Nah, yang harus dilakukan supaya minyak biodiesel ini kalau bisa ditiadakan dulu, karena memang juga dari sisi kualitasnya Pertamina juga sangat merugi. Memang demand-nya yang juga kurang baik. Dari sisi (produk) avturnya, demand industrinya bukan juga untuk masyarakat. Memang itu sangat berkurang, karena berkaitan dengan pandemi ini kita memang dibatasi aktifitasnya,” jelasnya.
Menurutnya penurunan permintaan avtur bukan hanya di Jakarta, tapi seluruh Indonesia. Dan sebenarnya demand itu yang paling banyak di Jawa, Madura, Bali. Pemakaian daerah-daerah lain seperti Kalimantan, Sulawesi itu sedikit, apalagi berkaitan dengan produksi kegiatan tambang batu bara. “Memang pangsa pasar itu hilang banyak sekali untuk industri ini,” legislator dapil Kalimantan Timur ini. Sebelumnya, jajaran Direksi PT. Pertamina menyampaikan, permintaan avtur nasional dalam kurun waktu beberapa bulan terakhir turun hingga 48 persen. Bahkan, permintaan avtur untuk Bandara Internasional Soekarno-Hatta anjlok mencapai 58 persen, dimana konsumsi avtur bandara di Tangerang ini mencapai 35 persen dibandingkan bandara-bandara domestik lainnya. Penurunan permintaan ini diakibatkan adanya pandemi Covid-19. Kendati ada penurunan permintaan avtur dan pengurangan kapasitas operasi, Pertamina memastikan akan kembali memaksimalkan produksinya jika demand (permintaan) kembali meningkat. Dalam Kunker Komisi VII DPR RI yang dipimpin Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Alex Noerdin ini, Tim Kunker menggelar pertemuan dengan jajaran Ditjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), Ditjen Ketenagalistrikan KESDM, BPH Migas, Direksi Pertamina, Direksi PLN, Kepala DPPU Pertamina Aviation Soetta, dan Kepala PLN Gardu Induk Cengkareng.
Republika.co.id | Jum’at, 9 Oktober 2020
Peneliti UGM Kembangkan Mikroalga Jadi Bahan Bakar Biojet
Tim Peneliti UGM sejak 2008 telah mengembangkan mikroalga sebagai sumber bahan bakar alternatif ramah lingkungan. Riset bertujuan memanfaatkan potensi mikroalga perairan Indonesia yang melimpah dan belum teridentifikasi. Riset melibatkan peneliti Fakultas Biologi, Fakultas Teknik dan Pusat Studi Energi UGM. Kandungan lipid dan karbohidrat sebagai sumber bahan bakar layaknya senyawa karbon menarik perusahaan dan badan penelitian Jepang. New Energy and Industrial Technology Development Organization: Japanese National Research and Development Agency menunjuk Eko Agus Suyono (Biologi) dan Arief Budiman dari (Teknik), serta Euglena Co. Ltd. Pengembangan fokus ke teknologi produksi bahan bakar biojet dengan teknologi berbasis mikroalga. Eko menuturkan, kerja sama ini turut mendorong mikroalga Euglena sebagai bahan bakar pesawat terbang bisa diproduksi secara massal. Ia menuturkan, UGM terus mengoleksi mikroalga lokal yang hidup di lingkungan Indonesia. Lalu, memilih strain yang tumbuh paling efisien dalam cuaca di Indonesia, mengevaluasi kandungan dan sifat lemak dan minyak terakumulasi. “Mikroalga ini potensial sebagai bahan bakar pesawat terbang karena sumbernya organisme hidup, di mana tingkat produktivitasnya tinggi, cepat panen, kaya sumber bahan bakar nabati, hemat lahan dan bisa menyerap CO2,” kata Eko, Selasa (6/10).
Pengubahan kandungan mikroalga jadi sumber bahan tahap ekstraksi dilakukan lewat isolasi dan optimasi kultivasi strain. Lalu, diidentifikasi kandungan senyawa, namun konversi ke bahan bakar nabati hampir seperti minyak dan gas. “Jadi, pada dasarnya sama dengan senyawa untuk migas,” ujar Eko. Ia menerangkan, Euglena salah satu spesies mikroalga yang mampu menyerap CO2 melalui fotosintesis dan tumbuh menyimpan karbon serta menghasilkan oksigen. Karbon yang diserap Euglena terakumulasi sebagai lemak dan minyak dalam sel. “Dengan proses kimiawi Euglena dapat mengubah lemak dan minyak jadi berbagai jenis karbohidrat yang digunakan untuk biodiesel dan biojet untuk pesawat terbang yang berkelanjutan,” kata Eko. Mereka akan menggunakan CO2 yang dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga batu bara yang bisa dipakai untuk bahan baku proses fotosintesis Euglena. Yang mana, diisolasi dari Indonesia yakni di Yogyakarta dan Kalimantan. Bila proyek riset bersama ini berhasil, kata Eko, inisiatif UGM mendorong salah satu program Sustainable Development Goals (SDGs) yang diadopsi PBB. Yaitu, berkontribusi terhadap pembangunan global yang berkelanjutan.
Investor Daily Indonesia | Sabtu, 10 Oktober 2020
PTPN Group Mulai Garap Bisnis Biofuel
JAKARTA-Holding Perkebunan Nusantara PTPN III (Persero) atau PTPN Group melakukan ekspansi bisnis dengan menjadi produsen bahan bakar nabati (BBN/ biofuel) berbahan baku sawit. Selain memperkuat bisnis hilir sawit yang telah dijalani perusahaan dengan produk berupa minyak goreng (olein), langkah tersebut dilakukan PTPN Group untuk membantu pemerintah mewujudkan kemandirian energi nasional. Direktur Utama PTPN Group Muhammad Abdul Ghani mengatakan, pihaknya telah meneken nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) dengan Pertamina, dalam waktu dekat PTPN akan menyuplai kebutuhan RBDPO (refined bleached, de-odorized palm oil) untuk kilang di Cilacap, juga segera memenuhi kebutuhan minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) untuk kilang di Sumatera Selatan (Sumsel). Untuk kilang di Sumsel saat ini sudah menerapkan teknologi terbaru sehingga bisa menghasilkan greendiesel dan untuk di Cilacap masih menggunakan teknologi FAME (fatty acid methyl ester). “Sekarang produktivitas CPO PTPN 4,50 ton per hektare (ha), dalam lima tahun ke depan akan menjadi 5 ton per ha. Target PTPN makin masuk lebih dalam ke industi hilir sawit, kalau sekarang kita baru masuk ke industri olein, ke depan kita masuk industri hilir bahan bakar,” kata Abdul Ghani, kemarin. Abdul Ghani mengatakan hal tersebut saat membuka seminar daring bertajuk Menuju Indonesia Emas 2045 : Mewujudkan Ketahanan Pangan dan Energi yang diselenggarakan untuk memperingati HUT ke-70 LPP Agro Nusantara, belum lama ini. Ghani menuturkan, Indonesia dengan luas areal sawit 14,70 juta ha dan produksi 45 juta ton CPO, yang paling cocok dikembangkan Indonesia ke depan adalah membangun kemandirian energi berbasis CPO/sawit. “Kita tidak mungkin membangun kemandirian energi seperti Brasil yakni etanol dari tebu karena tingkat produktivitas tebu dan harga pokok etanol di Indonesia tidak cocok untuk biofuel. Karena itu, kami akan mengurangi lahan karet dan teh dan menambah lahan sawit. Keberpihakan kami dalam kaitannya dengan kemandirian energi adalah fokus ke sawit, kita akan perluas areal sawit sekaligus meningkatkan produktivitasnya,” papar Ghani.
Dia menuturkan, dengan semakin terlibatnya PTPN dalam industri energi terutama CPO maka ke depan dipastikan penggunaan energi biofuel di Tanah Air akan semakin meningkat. Namun demikian, secara umum di Indonesia masih terdapat sejumlah persoalan terkait biofuel, salah satunya produksi. Dengan produksi CPO 45 juta ton, digunakan untuk industri hilir domestik 15 juta ton dan 30 juta ton diekspor. Sementara, rata-rata produktivitas CPO masih di bawah 3 ton per ha, hal ini menjadi tugas bersama untuk meningkatnya. Misalnya, jika dari 2,80 ton CPO per ha dinaikkan menjadi 4 ton per ha dengan luas areal sawit 20 juta ha maka diperoleh 80 juta ton CPO. “Jika untuk pangan dan lainnya 20 juta ton maka masih ada 60 juta ton setara biofuel atau biosolar untuk bahan bakar,” jelas Ghani. Persoalan lain dalam penggunaan biofuel adalah terkait harga, mengingat saat ini jauh lebih murah minyak fosil. Di sisi lain, adalah persoalan terkait teknologi, dengan masih menggunakan teknologi FAME maka dibutuhkan kapasitas produksi yang tinggi agar keekonomian tercapai, untuk pabrik swasta misalnya minimal setahun harus memproduksi 1 juta ton. Hal ini bisa menjadi persoalan karena ada biaya logistik dari pabrik Kelapa Sawit (PKS) ke pabrik. “Inilah yang sedag dipikirkan oleh teman-teman dari PPKS tentang katalis yang memungkinkan menghasilkan biofuel sawit langsung dari CPO. Kalau ini berhasil, setiap pabrik Kelapa Sawit (PKS) cukup dilengkapi satu pabrik sederhana untuk hasilkan FAME. Kalau ini terjadi maka bisa dibayangkan akan ada 1.000 unit produsen biofuel yang tersebar di seluruh Indonesia, di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, sehingga persediaan energi semakin membaik,” ujar dia. Abdul Ghani menambahkan, agar program biofuel berjalan optimal ke depan maka perlu kebijakan fiskal yang berpihak ke penggunaan biofuel di Tanah Air. Saat ini, pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk kendaraan bermotor berbahan bakar bensin dan solar berbeda, lebih mahal untuk yang berbahan bakar solar. Mestinya itu dibalik, PPnBM untuk kendaraan bermotor berbahan bakar solar dimurahkan, sehingga masyarakat lebih memilih membeli mobil berbahan bakar biofuel solar. “Jadi, sambil kita menunggu listrik sebagai sumber energi mobil maka kita bisa kurangi impor solar fosil. Dengan demikian, ke depan Indonesia benar-benar bisa menjadi negara yang mandiri dari sisi energi,” ujar dia.
Bisnis Masa Depan
Sementara itu, mantan Menteri ESDM Ignasius Jonan berpendapat, pengertian mandiri (kemandirian) energi tidak harus diartikan bahwa bangsa ini harus bisa memproduksi sendiri, hal ini mengingat Indonesia sejak platform politik 1998 dimulai telah mengikuti globalisasi dan itu harus diterima. Sebab, Indonesia tidak memilih sebagai negara yang menutup diri tapi memilih sebagai negara yang merdeka dan menjadi bagian dari globalisasi. “Jadi, perspektif mandiri tidak harus diartikan harus bisa memproduksi sendiri,” ujar Jonan. Jonan juga mengatakan, terdapat empat bisnis yang menjadi rujukan di masa depan, yakni bisnis daring (online), energi terbarukan, listrik, dan lingkungan hidup. PTPN Group bisa memiliki dua kesempatan bisnis dari empat tersebut yaitu energi terbarukan dan lingkungan hidup. Ini karena PTPN Group yang bisnisnya berbasis perkebunan dan pertanian memiliki potensi yang lebih besar daripada yang lain. “Mengapa empat bisnis itu karena dunia itu berubah. Bagaimana supaya PTPN bisa sukses maka create something yang mempengaruhi jalan hidup manusia. Dan bisnis biofuel saya rasa bukan pemerintah penentunya tapi konsumen, konsumen akan memilih sumber energi mana yang lebih hebat. Maka, PTPN buatlah produk biofuel yang hebat, jangan menunggu penugasan, kalau bisa buat sendiri dan jual sendiri,” ujar Jonan.