Tantangan Emisi Biodiesel (Jejak karbon yang dihasilkan selama proses produksi dari hulu ke hilir perlu menjadi perhatian)
CNBCIndonesia.com | Rabu, 31 Maret 2021
Tantangan Emisi Biodiesel (Jejak karbon yang dihasilkan selama proses produksi dari hulu ke hilir perlu menjadi perhatian)
Persoalan emisi karbon menjadi pekerjaan rumah Indonesia dalam mencapai target pengurangan emisi yang telah ditetapkan Perjanjian Paris 2015. Pemerintah mulai mendorong penggunaan energi alternatif berupa bahan bakar nabati biodiesel yang dinilai lebih rendah emisi. Meski biodiesel menghasilkan emisi lebih sedikit, jejak karbon yang dihasilkan selama proses produksi dari hulu ke hilir perlu menjadi perhatian. Kajian Traction Energy Asia menunjukkan, emisi bahan bakar yang digunakan untuk proses operasional pembukaan lahan berada di kisaran 10,44 hingga 13,48 kilogram karbon dioksida ekuivalen per ton TBS (kgCO2e/tTBS). Sementara limbah cair yang dihasilkan di pabrik pengolahan kelapa sawit berada di kisaran 373,9 hingga 390 kilogram karbon dioksida equivalen per ton CPO (kgCO2e/tCPO). Pada proses ini dihasilkan 83 hingga 95 persen emisi di hulu biodiesel. Kalkulasi The International Council on Clean Transportation (ICCT) mencatat emisi karbon monoksida (CO) yang dihasilkan biodiesel lebih rendah dari solar fosil. Solar menghasilkan emisi sebesar 0,88 gram/km. Sedangkan pada B20, CO yang dihasilkan sebesar 0,83 g/km. Sementara semakin tinggi tingkat campurannya, semakin rendah emisi CO yang dikeluarkan. Pada B30 dan B50 masing-masing emisi yang dihasilkan adalah 0,82 g/km dan 0,77 g/km. Sejumlah cara untuk mengurangi emisi pada hulu dan hilir produksi biodiesel penting untuk dijalankan. Di antaranya penggunaan Crude Palm Oil (CPO ) dari perkebunan yang dibuka sebelum 2008 dan melibatkan perkebunan petani swadaya serta menghentikan ekspansi lahan sawit. Di samping itu, menggunakan penangkap gas metan atau methane capture pada pabrik kelapa sawit juga dapat mengurangi keluaran emisi hingga 48,8 persen di tahap ini (baca juga: Menakar Emisi dalam Produksi Biodiesel). Adapun penggunaan bahan baku alternatif juga penting seperti pemanfaatan used cooking oil (UCO). Terakhir, standar bahan bakar rendah emisi pada kendaraan juga perlu diterapkan.
Sindonews.com | Rabu, 31 Maret 2021
Kebijakan Mandatori B30 Jadi Sentimen Positif Harga CPO
Program mandatori biodiesel 30 persen (B30) menjadi salah satu faktor utama yang mendorong kenaikan harga crude palm oil (CPO) di tahun 2020. Corporate Secretary PT Astra Agro Lestari (AALI) Tbk Mario CS Gultom mengatakan, implementasi program B30 di tahun ini juga akan menopang harga CPO di dalam negeri. Adapun pemanfaatan pemanfaatan biodiesel tahun 2021 ditargetkan mencapai 9,2 juta KL. “Kami merasakan dampaknya cukup signifikan untuk menyanggah permintaan maupun harga CPO itu sendiri. Jadi mestinya dengan pemerintah komitmen terhadap pemakaian biodiesel harga tidak akan jatuh terlalu jauh,” ujarnya pada closing market IDX Channel, Rabu (31/3/2021). Dia menargetkan produksi CPO AALI di tahun 2021 sama dengan tahun sebelumnya. Pada tahun 2020, volume produksi CPO AALI sebesar 1,4 juta ton. Produksi tersebut akan digunakan untuk domestik maupun ekspor. “Jika harga lokal lebih bagus daripada ekspor, tentunya kami akan melakukan jual beli lokal. Sebaliknya, kalau harga ekspor bagus kami akan jual ekspor juga. Pada tahun 2020, porsi ekspor Astra Agro sebesar 55% dari total revenue perseroan,” tuturnya.
Bisnis Indonesia | Kamis, 1 April 2021
TANGKAL HAMBATAN EKSPOR SAWIT
Pemerintah terus berupaya menangkal berbagai hambatan tarif dan nontarif yang kerap menjadi ganjalan ekspor komoditas sawit Indonesia supaya kinerja perdagangan tetap terjaga. Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kementerian Perdagangan Asep Asmara menjelaskan bahwa Uni Eropa menjadi salah satu kawasan dengan restriksi sawit yang paling beragam. Selain kriteria keberlanjutan yang tertuang dalam kebijakan Renewable Energy Directive (RED II) yang berimbas ke hambatan pada produk biodiesel Indonesia, terdapat pula kebijakan-kebijakan lain yang berdampak pada komoditas ini. Salah satunya adalah penghapusan insentif pajak produk biofuel dari sawit yang diberlakukan oleh Prancis pada 2018. Peraturan tersebut menetapkan bahwa minyak sawit tidak tergolong dalam produk biofuel sehingga tidak mendapatkan fasilitas insentif pajak yang telah ditetapkan. Terdapat pula kebijakan batas kontaminan 3-MCPD ester sebesar 2,5 ppm dan glycidol ester (GE) maksimal 1 ppm yang diadopsi negara-negara Uni Eropa. Aturan ini lantas menghambat perdagangan minyak sawit yang memiliki kandungan 3-MCPD di atas 3 ppm. \’Ada pula penetapan bea masuk antisubsidi terhadap biodiesel Indonesia dengan besaran 8% sampai 18% sejak 10 Desember 2019,” ujarnya, Rabu (31/3). Selain itu, ada juga kebijakan pelabelan di Uni Eropa yang merugikan produk sawit. Di antaranya label \’0% palm oil\’ pada produk cokelat di Belgia, larangan pasokan barang berbahan minyak sawit oleh sejumlah supermarket di Belanda, dan pembatasan penggunaan minyak sawit untuk produk yang dipasarkan melalui jaringan ritel Carrefour di Prancis. “Selain itu ada juga isu tenaga kerja di Inggris, isu kesehatan di Australia dan Pakistan, dan di India ada hambatan tarif,” imbuhnya.
Asep mengatakan sejumlah upaya telah ditempuh Kementerian Perdagangan demi menjaga akses minyak sawit dan turunannya. Salah satu yang dilakukan adalah mengupayakan pengurangan hambatan tarif dan nontarif di negara tujuan melalui perundingan bilateral, regional, maupun bilateral. Selain itu, upaya untuk melakukan ekspor langsung juga ditempuh, seperti ekspor minyak goreng kemasan ke Afrika yang dilakukan lewat proses pengolahan oleh industri di Timur Tengah. Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar mengatakan kebijakan terhadap minyak nabati seharusnya dilakukan secara adil dan tidak hanya menyasar pada minyak sawit. Dalam hal standardisasi, misalnya, dia mencatat bahwa produk minyak sawit menjadi yang paling banyak menjadi sasaran regulasi dibandingkan dengan minyak nabati lain. “Sejak 1995 ada hampir 700 sertifikasi dan standar yang dikembangkan dan diimplementasikan di minyak sawit, padahal untuk rapeseed, sunflower, dan soybean oil hanya sekitar 30 dalam kurun yang sama,” kata Mahendra.
AKSES PASAR
Sementara itu, pelaku usaha sawit melihat adanya peluang pengakuan sertifikasi sawit Indonesia jika kerja sama perdagangan dijalin Indonesia dengan mitra dagangnya. Pengakuan tersebut disebut bisa menjadi jaminan akses pasar di tengah berkembangnya hambatan nontarif yang menyasar sawit. “Kehadiran FTA [kesepakatan perdagangan bebas] dan CEPA [kesepakatan kemitraan ekonomi komprehensif] akan sangat mendukung sertifikasi minyak sawit untuk diakui oleh mitra dagang, terutama yang sifatnya wajib seperti ISPO [Indonesia Sustainable Palm Oil],” kata Ketua Bidang Hubungan Internasional Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan. Fadhil menyebutkan sejumlah pelaku usaha telah mengupayakan sertifikasi sawit agar sesuai dengan permintaan pasar. Dalam sejumlah kasus, pelaku usaha bahkan memakai lebih dari satu sertifikasi seperti Roundtable Sus- tainable Palm Oil (RSPO) dan ISPO secara bersamaan. Meski demikian, Fadhil mengatakan prospek pasar untuk sawit masih terbuka untuk masa mendatang seiring dengan disepakatinya kesepakatan perdagangan dengan negara-negara Eropa, di antaranya adalah Indonesia-EFTA CEPA yang telah diratifikasi dan Indonesia-EU CEPA yang telah memasuki putaran ke-10 perundingan. “Pasar Uni Eropa sangat penting. Kawasan ini menempati peringkat ketiga tujuan ekspor terbesar dengan importir terbesar adalah Spanyol, Belanda, dan Italia,” kata dia. Pertumbuhan ekspor ke pasar Eropa dia sebut cenderung melambat dan landai dibandingkan dengan negara dan kawasan lain dalam 5 tahun terakhir akibat sejumlah hambatan. Meski demikian, volume ekspor terus bertambah sebagai refleksi dari naiknya permintaan. “Pasar utama kebanyakan hanya membutuhkan sawit untuk pangan, ini pilihan yang menyesuaikan kondisi konsumen di sana,” kata Fadhil. Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengemukakan disepakatinya ketentuan perdagangan sawit dalam payung Indonesia-EFTA CEPA oleh publik Swiss belum lama ini menciptakan posisi tawar lebih besar bagi produk sawit Indonesia. Meski Swiss tidak tergabung dalam UE, dia menyebutkan penerimaan sawit oleh Swiss bisa menjadi momentum bagi Indonesia untuk menampik sejumlah stigma negatif negara-negara Benua Biru terhadap komoditas tersebut. “Bersama dengan negara Eropa lainnya, Swiss mempunyai standar kualitas tinggi. Jika produk ekspor sawit bisa diterima di Swiss, tentu negara lain di Eropa berpotensi akan ikut membuka diri, ditambah dengan adanya kerja sama strategis ini,” katanya kepada Bisnis
Perkuat Posisi di Luar Negeri
Kendati masih diliputi berbagai tantangan, ekspor sawit diharapkan mampu terus bangkit pada tahun ini, khususnya ke pasar-pasar tradisional seperti negara-negara Eropa. Adapun, Kementerian Perdagangan memperkirakan harga sawit stabil di atas US$800 per ton pada tahun ini sehingga bisa mendorong pertumbuhan ekspor.
Tribunnews.com | Rabu, 31 Maret 2021
TA Khalid Cecar Dirut BPDPKS Soal Program Peremajaan Sawit Rakyat dan Biodiesel
Anggota Komisi IV DPR RI asal Aceh TA Khalid minta kejelasan jalannya program peremajaan sawit rakyat atau PSR di Aceh dan daerah lainnya di Indonesia. Politisi Partai Gerindra itu juga secara tamam mempertanyakan program biodiesel yang digunakan oleh korporasi. TA Khalid mengajukan pertanyaan itu dalam rapat Panitia Kerja (Panja) Pangembangan Sawit Rakyat Komisi IV DPR RI yang menghadirkan Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Kasdi Subagyono, dan Dirut Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit atau BPDPKS, Eddy Abdurrachman, di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (30/3/2021). “Seberapa luas areal yang sudah ditanami melalui program PSR itu selama lima tahun terakhir. Sebab anggaran yang sudah disalurkan Rp 5,9 triliun seluruh Indonesia,” ujar TA Khalid. Begitu juga untuk program biodiesel yang ternyata digunakan oleh sejumlah korporasi dengan anggaran mencapai 57 triliun selama tahun. “Sebagai contoh ternyata di Aceh ada bermasalah PSR, sekarangs edang ditangani kejaksaan. Itu baru satu contoh, bagaimana dengan daerah-daerah lainnya. Ini yang perlu dijelaskan,” katanya. Terkait dengan program biodiesel, TA Khalid menyoroti kemajuan dan pencapaian program tersebut, mengingat dana yang diberikan Rp 57 triliun. “Dari 57 triliun untuk biodiesel materialnya dimana, jangan-jangan perusahaan biodiesel itu uangnya dideposit,” ujar TA Khalid.
Ia mendesak Panja Komisi IV agar segera melakukan kunjungan kerja (Kunker) dan turun ke lapangan. “Kita ingin tahu berapa banyak biodiesel yang sudah diproduksi, kemudian berapa luas areal yang sudah ditanam melalui program PSR. Saya harap rapat ini memutuskan untuk Kunker,” tukas politisi asal Aceh ini. Politisi PKB Luluk Nurhamidah juga mencecar persoalan yang sama. Ia mempertanyakan kriteria penerima bantuan insentif untuk program biodiesel. “Kriterianya apa, siapa saja perusahaan yang menerima,” ujarnya. Luluk juga minta penjelasan tentang kasus PSR di Aceh sebesar Rp 684 miliar lebih yang saat ini tengah diusut kejaksaan. “Saya dengar KPK juga berminat menangani kasus ini. Tolong dijelaskan seperti apa sebenarnya,” kata Luluk. Seperti diberitakan sebelumnya, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh saat ini sedang mengusut dugaan korupsi program peremajaan sawit rakyat dengan nilai Rp 684,8 miliar lebih. Kepala Kejati (Kajati) Aceh Muhammad Yusuf mengatakan kasus dugaan korupsi ini sudah ditingkatkan dari tahap penyelidikan ke penyidikan. Yusuf menjelaskan sumber anggaran program peremajaan sawit rakyat berasal dari Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit yang berada di bawah Kementerian Keuangan. Program peremajaan sawit tersebut berlangsung selama tiga tahun anggaran yakni 2018, 2019, dan 2020. Tahun anggaran 2018 dikucurkan Rp 16 miliar, 2019 Rp 243,2 miliar, dan 2020 Rp 425,5 miliar. Yusuf mengatakan program peremajaan sawit rakyat di Provinsi Aceh dilakukan atas perjanjian tiga pihak antara Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), koperasi, dan perbankan.