Terkendala Covid-19, Penyelesaian Sengketa Sawit Tertunda
Bisnis.com | Jum’at, 5 Juni 2020
Terkendala Covid-19, Penyelesaian Sengketa Sawit Tertunda
Proses penyelesaian dan perundingan terkait dengan sengketa dagang antara Indonesia dengan Uni Eropa (UE) terkait dengan produk sawit untuk bahan baku biofuel, harus terkendala lantaran adanya wabah Covid-9 yang melanda dunia. . Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga mengakui, proses penyelesaian sengketa perdagangan biofuel dengan UE melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengalami penundaan. “Wabah Covid-19 ini membuat proses perundingan terkait praktik diskriminasi UE dalam kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation (DR) Uni Eropa tertunda. Seharusnya sejak tahap konsultasi pada Februari lalu, 60 hari setelahnya sudah dapat diputuskan apakah berlanjut ke establishment of panel atau tidak,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (6/4/2020). Namun keputusan tersebut belum dapat diambil lantaran perwakilan Indonesia dan Uni Eropa belum dapat bertemu kembali. Adapun, proses konsultasi dilakukan Indonesia dan UE pada 19 Februari 2020 di kantor pusat WTO di Jenewa, Swiss.
Kala itu Indonesia berupaya meminta jawaban atas 108 pertanyaan yang telah lebih dulu dilayangkan kepada UE terkait penerapan kebijakan RED II dan Delegated Regulation, yang dinilai mendiskriminasikan produk minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) terutama yang digunakan untuk bahan baku biofuel. Selanjutnya, Indonesia dan UE dapat melakukan perundingan untuk menemukan jalan tengah atau keputusan bersama atas konflik tersebut. Namun apabila selama 60 hari sejak proses konsultasi dilakukan tidak ditemukan kesepakatan bersama, maka Indonesia berhak membawa sengketa tersebut ke panel Dispute Settlement Body (DSB) WTO. Apabila sesuai dengan jadwal, maka tenggat waktu terakhir kedua negara untuk berunding adalah 19 April 2020. Namun hingga saat ini perwakilan kedua negara belum dapat menemukan kesepakatan mengenai sengketa tersebut. “Memang cukup sulit kondisinya. Saya sudah berbicara dengan Komisioner WTO, mereka pun juga kesulitan melakukan agendanya di tengah pandemi Covid-19. Di sisi lain saya juga terus mencoba berkomunikasi dengan perwakilan UE terkait masalah ini,” katanya. Kendati demikian, dia berharap Indonesia dan UE dapat menemukan jalan tengah atas konflik tersebut tanpa harus melalui proses sidang panel di WTO. Dia pun yakin UE akan menerima argumentasi dari Indonesia yang menjelaskan bahwa produk CPO Tanah Air diproduksi dengan menerapkan aspek keberlanjutan. “Kami tetap tegaskan bahwa diskriminasi tidak boleh dilakukan. Indonesia sangat keberatan dengan status high risk Indirect Land Use Change (ILUC) pada minyak kelapa sawit yang ditetapkan Uni Eropa. Karena hal ini berakibat impor minyak kelapa sawit sebagai bahan baku biofuel, dilarang di Uni Eropa.” katanya.
Kontan.co.id | Minggu, 7 Juni 2020
Gapki: Indonesia punya peluang menang di WTO
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) optimistis Indonesia bisa menang dalam gugatan di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Seperti diketahui, Indonesia akan mengajukan panel ke WTO terkait diskriminasi atas sawit Indonesia oleh Uni Eropa (EU). Kebijakan RED II yang diberlakukan EU membuat minyak sawit Indonesia tak bisa digunakan sebagai bahan biodiesel. “Harusnya Indonesia punya peluang untuk menang,” kata Ketua Umum Gapki Joko Supriyono saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (7/6). Tindakan diskriminatif EU dinilai penting untuk digugat. Hal itu agar kebijakan serupa tidak ikut diterapkan di negara lain yang menjadi penghambat ekspor. Oleh karena itu Gapki mendukung langkah pemerintah untuk melakukan panel ke WTO. Meski pun saat ini kebijakan tersebut belum berjalan dan belum memberi dampak pada ekspor sawit Indonesia. “Belum berdampak, ekspor masih normal. Kalau tidak salah mulai 2021 (diterapkan) dengan berbagai tahapan dan baru full nanti 2030,” terang Joko. Sebagai informasi, produksi sawit Januari – Maret 2020 lebih rendah 14% dari periode yang sama tahun 2019. Sementara konsumsi dalam negeri lebih tinggi 7,2% dan ekspor lebih rendah 16,5% dengan nilai ekspor 9,45% lebih tinggi yaitu US$ 5,32 miliar. Konsumsi minyak sawit untuk pangan dalam negeri turun sekitar 8,3%. Sebaliknya konsumsi untuk produk oleokimia naik sebesar 14,5% dan konsumsi biodiesel relatif tetap. Produk oleokimia naik karena kebutuhan bahan pembersih sanitizer meningkat. Dari 68.000 ton kenaikan konsumsi oleokimia, 55% terjadi pada gliserin yang merupakan bahan pembuatan hand sanitizer.