Tok! Biodiesel Domestik Dipatok 9,2 Juta KL di 2021

| Articles
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

CNBCIndonesia.com | Jum’at, 25 Desember 2020

Tok! Biodiesel Domestik Dipatok 9,2 Juta KL di 2021

Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Energi Baru Tarbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan volume alokasi Bahan Bakar Nabati (BBN) jenis biodiesel untuk dalam negeri pada 2021 sebesar 9,2 juta kilo liter (kl). Alokasi pada tahun depan tersebut masih dengan asumsi penerapan program pencampuran biodiesel sebesar 30% ke dalam bahan bakar minyak (BBM) jenis solar atau biasa dikenal dengan B30. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengakui target penyerapan biodiesel pada 2021 tersebut lebih rendah dibandingkan dengan target 2020 ini. Hal ini juga dipicu lebih rendahnya realisasi penyerapan biodiesel pada tahun ini dibandingkan target awal yang telah ditentukan.  “Penurunan tersebut disebabkan karena dampak pandemi Covid 19 yang diperkirakan pada tahun 2021 masih berlanjut,” kata Dadan seperti dikutip dari keterangan resmi Kementerian ESDM. Dia mengatakan, hingga akhir Desember 2020, penyerapan biodiesel domestik diperkirakan hanya sebesar 8,5 juta kl atau 88% dari target tahun ini yang ditetapkan sebesar 9,6 juta kl. Lebih rendahnya realisasi dibandingkan target pada tahun ini menurutnya karena adanya pandemi Covid-19 dan terjadinya gagal suplai beberapa Badan Usaha BBN dalam penyaluran biodiesel. Terkait penyaluran di tahun 2021, Pemerintah telah menunjuk 20 Badan Usaha (BU) BBM dan BU BBN sebagai pemasok biodiesel. Keputusan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 252.K/10/MEM/2020 yang ditetapkan pada tanggal 18 Desember 2020. Adapun untuk Badan Usaha pemasok biodiesel, antara lain PT Wilmar Nabati Indonesia mendapatkan alokasi sebesar 1,37 juta kl diikuti oleh PT Wilmar Bioenergi Indonesia sebesar 1,32 juta kl. Kemudian ada PT Musim Mas dan PT Cemerlang Energi Perkasa yang akan mendistribusikan biodiesel masing-masing sebesar 882 ribu kl dan 483 ribu kl. Sebagai informasi, saat ini telah terdaftar 41 BU BBN yang telah memiliki Izin Usaha Niaga BBN dengan total kapasitas 14,75 juta kl, yang terdiri dari 27 BU BBN yang aktif dan 14 BU BBN yang tidak aktif. Disamping itu, terdapat 1 BU BBN yang melakukan perluasan pabrik biodiesel dengan kapasitas 478 ribu kl dan 3 BU BBN yang sedang melakukan pembangunan pabrik biodisel baru dengan kapasitas total 1,57 juta kl dan akan mengajukan IUN BBN pada tahun 2021.

https://www.cnbcindonesia.com/news/20201225085412-4-211495/tok-biodiesel-domestik-dipatok-92-juta-kl-di-2021

CNBCIndonesia.com | Rabu, 23 Desember 2020

Bos Pertamina Buka-bukaan Soal Strategi Energi Berkelanjutan

PT Pertamina (Persero) terus meningkatkan perannya dalam menggerakkan perekonomian nasional dengan mengembangkan strategi untuk memenuhi energi nasional secara berkelanjutan dalam rangka mengurangi impor minyak dan gas. Strategi tersebut diungkap Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati dalam Forum Outlook Perekonomian Indonesia bertajuk “Meraih Peluang Pemulihan Ekonomi 2021” yang berlangsung di Jakarta, Selasa (22/12). Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati menjelaskan grand strategy energi nasional dikembangkan dari rencana pemerintah untuk mewujudkan ketahanan energi nasional yang telah ditetapkan dari Peraturan Pemerintah No 79 Tahun 2014 mengenai kebijakan energi nasional. Saat ini, posisi Indonesia masih berada di score 6.57 atau status Tahan. “Ini menjadi tantangan bagaimana kita tingkatkan lagi posisinya menjadi Sangat Tahan. Inilah yang mendasari pemerintah untuk menyusun grand strategy energy nasional,” ungkapnya. Lebih lanjut Nicke menguraikan, dengan visi untuk mewujudkan ketahanan energi nasional, maka tantangannya adalah meningkatkan produksi migas, menurunkan impor baik minyak maupun LPG, serta membangun infrastruktur baik untuk migas maupun electricity. Dari ketiga hal tersebut, Pemerintah menyusun 11 program yang sebagian besar bertujuan menurunkan impor dan memaksimalkan dengan mengolah sumber daya alam yang banyak dimiliki oleh Indonesia. Sebagai BUMN di sektor Energi, Pertamina mendapat tanggung jawab menjalankan program tersebut dengan berupaya meningkatkan produksi crude 1 juta bopd dan akuisisi lapangan minyak luar negeri untuk kebutuhan kilang. Amanah ini harus dijalankan, saat ini kontribusi Pertamina sebesar 40%, tahun depan akan mencapai 60%, sehingga ini akan sangat dominan. “Dengan peran sebagai BUMN untuk mendorong driver pertumbuhan energi nasional, maka investasi Pertamina ke depan tentu akan disesuaikan dengan grand strategy energi pemerintah ke depan. Kalau kita bicara tentang hulu energi, 60% investasi akan dilakukan di hulu energi,”imbuh Nicke.

Nicke menambahkan, Pertamina juga meningkatkan kapasitas kilang, dalam rangka optimalisasi produk BBM dan memperbaiki kualitas BBM dan Naptha. Untuk mengantisipasi penurunan demand terhadap BBM, Pertamina mengintegrasikan kilang petrochemical, mengingat saat ini Petrochemical masih impor 70%. Lalu, dalam rangka menjawab era transisi energi, Pertamina akan mempercepat pemanfaatan pembangkit EBT (dominasi PLTS) dan meningkatkan produksi BBN (biodiesel atau biohidrokarbon). Menurutnya, transformasi energi ke depan ke arah new and renewable energi. Sesuai arahan Pemerintah, Biodiesel merupakan salah satu yang akan terus dikembangkan ke depan sehingga kita bisa mengoptimalkan sawit yang berlimpah di Indonesia. “Selain harus melakukan eksplorasi dari sisi migas, kita juga akan meningkatkan kontribusi dari bioenergy. Setelah Biodiesel (B30) dan tahun depan akan masuk ke B40, Pertamina juga akan masuk ke Biogasoline yang kebutuhannya cukup tinggi,”tegasnya. Dari sisi gas, lanjut Nicke, Pertamina juga akan mengembangkan gasifikasi dari energi batu bara yang melimpah menjadi DME sehingga dapat mengkonversi LPG. Selain itu, Pertamina terus membangun dan menambah jaringan gas rumah tangga hingga mencapai 3 juta pelanggan. Sehingga masyarakat punya pilihan LPG, DME, Jargas, atau kompor listrik. Ini yang nantinya akan membuat perekonomian lebih berputar. Nicke menegaskan, secara garis besar Pertamina akan masuk ke pengembangan bisnis dan produk-produk baru untuk mengisi gap tadi sehingga bisa menurunkan impor migas yang selama ini terjadi. Selain itu, Pertamina juga menjalankan program mandatory terkait BBM subsidi seperti BBM 1 untuk harga di 243 titik wilayah 3 T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar) dan untuk pemerataan akses produk non subsidi, Pertamina telah menyiapkan Pertashop di di 2.192 titik. Program mini outlet ini melibatkan UMKM bekerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Koperasi dan UMKM dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. “Kita harapkan menjadi driver perekonomian daerah. Satu komitmen kami, meskipun dalam kondisi pandemic, semua aktivitas usaha, semua asset Pertamina tetap dioperasikan. Karena yang masuk dalam ekosistem pertamina ini ada 1,2 juta tenaga kerja Jadi sangat besar. Oleh karena itu motor penggerak ini tidak boleh terhenti. Jadi ada misi perusahaan untuk menjaga motor tetap bergerak agar tetap menyerap tenaga kerja dan tetap mendorong industry nasional untuk bergerak,” pungkas Nicke.

https://www.cnbcindonesia.com/news/20201223173031-4-211307/bos-pertamina-buka-bukaan-soal-strategi-energi-berkelanjutan

Investor.id | Kamis, 24 Desember 2020

SPKS Berharap Program B30 Bisa Dinikmati Petani Sawit

Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) berharap program biodiesel B30 harus dievaluasi dulu karena belum ada keterlibatan petani sawit dan peningkatan kesejahteraan petani sawit dari program ini. Setelah itu pemerintah melalui Kementerian ESDM harus segera membuat aturan yang mewajibkan perusahaan-perusahaan  yang memproduksi biodiesel membeli bahan baku untuk kebutuhan biodiesel berasal dari kebun-kebun petani sawit terutama sawit swadaya melalui kemitraan dengan koperasi-koperasi milik petani. “Memang saat ini petani swadaya banyak yang tidak memiliki kelembagaan koperasi tetapi ini harus menjadi tangung jawab perusahaan-perusaan tersebut mulai melakukan pendampingan kepada petani sawit membangun koperasi dan melatih petani sawit. ini harusnya wajib dilakukan karena perusahaan-perusaan biodiesel ini mendapatkan subsidi yang besar dari dana sawit yang sudah dikumpulkan oleh Badan Pengelola Perkebunan Sawit (BPDPKS), ” kata Mansuetus Darto, Sekjen SPKS Nasional dalam keterangan tertulisnya, Minggu (27/11). Pada kesempatan itu, Darto membantah pernyataan Dadan Kusdiana selaku Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM dimana sebelumnya menyatakan bahwa jumlah petani yang terlibat dalam program mandatori biodiesel di on farm sekitar 1.198.766 petani dan pada off farm sekitar 9.046 orang pada tahun 2020.

Darto meragukan  data yang disampaikan tersebut dan menyatakan dengan tegas bahwa program biodiesel B30 ini belum dinikmati oleh petani sawit.  “Saat ini petani sawit terutama petani swadaya belum terlibat dalam program biodiesel B30. Bahan baku program biodiesel saat ini berasal dari kebun-kebun perusahaan sendiri bukan dari kebun-kebun petani swadaya, tidak ada satupun kelembagan tani saat ini yang mensuplai bahan baku kepada perusahan-perusahaan yang memproduksi biodiesel B30 tersebut, padahal banyak petani swadaya disekitar perusahan-perusahaan ini. Petani-petani swadaya ini justru menjual buahnya kepada tengkulak, lodingram, yang menyebabkan harga sangat rendah diterima oleh petani, artinya ini program biodiesel ini belum mampu mensejahterakan petani sawit, ” tegas Darto . Lebih lanjut ia mengatakan, jumlah dana sawit yang dikumpulkan oleh BPDPKS  tersebut sejak tahun 2015-2019 senilai Rp 47, 28 triliun, di mana alokasi untuk subsidi program biodiesel paling mayoritas dari tahun 2015 hingga 2019 sangat besar berjumlah Rp 30,2 T atau 89,86% dari total dana sawit  dan terus naik setiap tahun. Sementara yang disalurkan untuk petani melalui program peremajaan sawit rakyat hanya petani Rp 4,5 triliun sampai dengan saat ini.

https://investor.id/business/spks-berharap-program-b30-bisa-dinikmati-petani-sawit

Liputan6.com | Rabu, 23 Desember 2020

Industri Oleokimia Kian Optimis di 2021

Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN) mengapresiasi dukungan pemerintah melalui serangkaian kebijakan yang dirasakan manfaatnya pada 2020. Kebijakan pemerintah semakin meningkatkan kinerja industri oleokimia untuk memenuhi kebutuhan domestik dan ekspor pasar global. Ketua Umum APOLIN Rapolo Hutabarat menjelaskan bahwa perkembangan industri oleochemical Indonesia sepanjang tahun 2020 tumbuh dengan positif, hal itu sejalan dengan kebijakan pemerintah yang sangat responsif di bulan Maret yang lalu melalui Izin Operasional dan Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI) setelah adanya Pandemi Covid-19 bulan Maret yang lalu. Dengan adanya IOMKI tersebut maka pasokan bahan baku, proses produksi, logistik dan pengiriman ke pasar ekspor dan pasar di dalam negeri berjalan dengan lancar. Di pasar domestik, sepanjang tahun 2020 ini berada pada 150 ribu ton per bulan, sehingga volume konsumi produk oleochemical di pasar domestik berkisar 1,8 juta-2 juta ton. Tren positif juga terlihat dalam perdagangan ekspor oleokimia Indonesia sepanjang 2020. Data Badan Pusat Statistik Data untuk ekspor produk oleokimia dengan 15 HS Code menunjukkan volume ekpor produk oleokimia dari Januari-November 2020 mencapai 3,5 juta ton dan nilai ekspornya sebesar USD 2,4 miliar. Capaian ini lebih tinggi dibandingkan periode sama 2019 masing-masing volume ekspor 3 juta ton dan nilai ekspor oleokimia sebesar USD 1,9 miliar. “Hingga akhir tahun 2020, volume ekspor diproyeksikan sebesar 3,87 juta ton. Sementara nilai ekspornya sebesar 2,6 miliar dolar,” jelas Rapolo dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (23/12/2020). Terkait PMK 191/2020, dikatakan Rapolo, merupakan oase bagi semua pemangku kepentingan industri sawit di Indonesia mulai dari sektor hulu (petani, perkebunan dan perkebunan terintegrasi); mid downstream (refinery) dan further downstream (produsen FAME dan produsen Oleochemical) termasuk pemerintah. PMK 191/2020 memberikan empat benefit bagi industri sawit. Pertama, adanya kepastian penghimpunan dana yang dilakukan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapsa Sawit, yang dapat digunakan untuk berbagai hal di industri sawit seperti Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang perlu ditingkatkan luasnya dari 180 ribu hektar menjadi 500 ribu hektar per tahun mulai tahun 2021; kesinambungan pendanaan riset-riset industri sawit; program bea siswa; pendanaan promosi dan advokasi. Kedua, pelaku usaha dan pemerintah untuk melanjutkan program mandatori B30 yang bisa dilanjutkan menjadi B40 bahkan B50. Ketiga, program B30 saat ini merupakan tulang punggung utama industri sawit Indonesia karena menyerap 9,6 juta KL FAME. Keempat, Momentum paling besar dari terbitnya PMK 191/2020 ini dapat dikatakan sebagai persiapan implementasi program B40 yang sudah barang tentu akan menyerap CPO di dalam negeri kira-kira 12 juta-13 juta ton yang artinya adanya penambahan konsumsi CPO di dalam negeri sebesar kira-kira 2,8 juta-3 juta ton. Potensi peningkatan ini harus kita tangkap persen terjemahkan sebagai salah satu strategi jitu industri sawit Indonesia guna menghadapi pasar global yang selalu menyudutkan industri sawit Indonesia. “Dari sisi industri oleochemical Indonesia, kami memandang bahwa langkah pemerintah sudah sangat tepat karena dengan kenaikan pungutan ini maka menjamin tersedianya bahan baku industri oleochemical dan akan mendorong adanya investasi di sektor oleochemical. Sebagai informasi bahwa tahun 2020 ini ada investasi sektor oleochemical yang akan meningkatkan volume produksi nasional kita tahun 2021 yang akan datang,” ujar Rapolo. APOLIN memproyeksikan pasar domestik dan ekspor semakin positif pada 20201. Di pasar ekspor tahun 2021 kami perkirakan volume akan tumbuh berkisar 17 persen-22 persen sehingga rata-rata volume ekspor oleokimia Indonesia akan berada di kisaran 364 ribu sampai 379 ribu ton per bulan, dengan kata lain volume ekspor oleochemical Indonesia tahun 2021 akan berada di kisaran 4,3 sampai 4,6 juta ton. Sedangkan pasar domestik berada pada 150 ribu ton per bulan dan untuk tahun 2021 akan tumbuh 10 persen-12 persen, sehingga volume serapan di dalam negeri berada pada kisaran 165-168 ribu ton per bulan. Dikatakan Rapolo bahwa permintaan global dan domestik tentu sangat dipengaruhi seberapa cepat pemulihan ekonomi di berbagai negara akibat adanya Pandemi Covid-19.

Tantangan 2021

Rapolo menjelaskan industri oleokimia akan menghadapi sejumlah tantangan di tahun depan yang berkaitan seberapa cepat pemulihan ekonomi dari negara-negara tujuan ekspor utama produk oleochemical Indonesia, seperti India, Tiongkok, Eropa, Pakistan dan lain-lain. Kalau pemulihan ekonomi negara-negara utama tujuan ekspor tersebut dapat segera pulih, maka ada harapan yang positif atau permintaan produk oleochemical Indonesia akan tetap tumbuh positif. Untuk menghadapi tantangan tersebut, dijelaskan Rapolom APOLIN perlu bersinergi dengan pemangku kepentingan lain termasuk pemerintah. Sebagai contoh, diplomat kita di berbagai belahan untuk senantiasa mengkampanyekan industri sawit Indonesia secara umum dan oleochemical secara khusus. Upaya ini, di tahun 2021 kami dari APOLIN akan membangun komunikasi dengan fungsi ekonomi kita di berbagai KBRI. Selain itu, menurut Rapolo, APOLIN tentu sangat mengharapkan dukungan dari pemerintah berupa konsistensi regulasi baik dari sisi pungutan ekspor, adanya tax holiday dan tax allowance serta harga gas industri USD 6 per MMBTU di halaman industri. Konsistensi berbagai regulasi tersebut akan memberikan kepastian bagi investor untuk menanamkan modalnya di sektor hilir kelapa sawit di Indonesia. Saat ini, ada beberapa perusahaan yang sudah beroperasi di Indonesia dan menghubungi APOLIN yang menyatakan niat untuk investasi di sektor oleokimia. “Komitmen ini belum bisa kami proyeksikan nilai investasinya. Para investor (investasi baru maupun perluasan) biasanya akan memanfaatkan fasilitas tax holiday dan tax allowance, dan lazimnya (pengalaman selama ini) pihak pemerintah akan mengundang industri untuk menampung berbagai masukan, “pungkasnya.

https://www.liputan6.com/bisnis/read/4441093/industri-oleokimia-kian-optimis-di-2021

Bisnis.com | Jum’at, 25 Desember 2020

Catatkan Kinerja Moncer, Industri Oelokimia Apresiasi Dukungan Pemerintah

Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN) mengapresiasi dukungan pemerintah melalui serangkaian kebijakan pada 2020. Kebijakan pemerintah itu dinilai semakin meningkatkan kinerja industri oleokimia untuk memenuhi kebutuhan domestik dan ekspor pasar global. Ketua Umum APOLIN Rapolo Hutabarat mengatakan perkembangan industri oleochemical Indonesia sepanjang 2020 tumbuh dengan positif. Hal itu sejalan dengan kebijakan pemerintah yang sangat responsif di Maret lalu melalui Izin Operasional dan Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI) setelah adanya pandemi Covid-19.  “Dengan adanya IOMKI tersebut maka pasokan bahan baku, proses produksi, logistik dan pengiriman ke pasar ekspor dan pasar di dalam negeri berjalan dengan lancar,” katanya, Jumat (25/12/2020). Di pasar domestik, produksi sepanjang tahun ini berada pada level 150.000 ton per bulan sehingga volume konsumsi produk oleokimia di pasar domestik berkisar 1,8 juta-2 juta ton. Tren positif juga terlihat dalam perdagangan ekspor oleokimia Indonesia sepanjang 2020. Data Badan Pusat Statistik untuk ekspor produk oleokimia  dengan 15 HS Code menunjukkan volume ekpor produk oleokimia dari Januari-November 2020 mencapai 3,5 juta ton dengan nilai ekspor sebesar US$2,4 miliar. Capaian itu lebih tinggi dibandingkan periode sama 2019 masing-masing volume ekspor 3 juta ton dan nilai ekspor oleokimia sebesar US$1,9 miliar. Hingga akhir tahun 2020 pun, volume ekspor diproyeksikan sebesar 3,87 juta ton sedangkan nilai ekspornya sebesar US$2,6 miliar. Di sisi lain, Rapolo menambahkan adanya PMK 191/2020 telah menjadi oase bagi semua pemangku kepentingan industri sawit di Indonesia mulai dari sektor hulu (petani, perkebunan dan perkebunan terintegrasi), mid downstream (refinery) dan further downstream (produsen FAME dan produsen oleochemical) termasuk pemerintah. Menurutnya, PMK 191/2020 memberikan empat benefit bagi industri sawit. Pertama, adanya kepastian penghimpunan dana yang dilakukan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapsa Sawit (BPDPKS), yang dapat digunakan untuk berbagai hal di industri sawit.

Diantaranya adalah Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang perlu ditingkatkan luasnya dari 180.000 hektar menjadi 500.000 hektar per tahun mulai 2021, kesinambungan pendanaan riset-riset industri sawit, program bea siswa, pendanaan promosi, dan advokasi. Kedua, pelaku usaha dan pemerintah untuk melanjutkan program mandatori B30 yang bisa dilanjutkan menjadi B40 bahkan B50. Ketiga, program B30 saat ini merupakan tulang punggung utama industri sawit Indonesia karena menyerap 9,6 juta KL FAME. Keempat, momentum paling besar dari terbitnya PMK 191/2020 yang dapat dikatakan sebagai persiapan implementasi program B40 yangakan menyerap CPO di dalam negeri kira-kira 12 juta-13 juta ton yang artinya adanya penambahan konsumsi CPO di dalam negeri sebesar kira-kira 2,8 juta-3 juta ton. Potensi peningkatan ini diakuinya harus ditangkap dan diterjemahkan sebagai salah satu strategi jitu industri sawit Indonesia guna menghadapi pasar global yang selalu menyudutkan industri sawit Indonesia. “Dari sisi industri oleochemical Indonesia, kami memandang bahwa langkah pemerintah sudah sangat tepat karena dengan kenaikan pungutan ini maka menjamin tersedianya bahan baku industri oleokimia dan akan mendorong adanya investasi. Sebagai informasi bahwa tahun ini ada investasi baru yang akan meningkatkan volume produksi nasional 2021,” ujar Rapolo.

https://ekonomi.bisnis.com/read/20201225/257/1335358/catatkan-kinerja-moncer-industri-oelokimia-apresiasi-dukungan-pemerintah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *