Indonesia Berpotensi Produksi Biodiesel dengan Bahan Baku Melimpah

| Articles
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Borneonews.co.id | Senin, 26 Oktober 2020

Indonesia Berpotensi Produksi Biodiesel dengan Bahan Baku Melimpah

Indonesia berpotensi untuk memproduksi biodiesel domestic, mengingat bahan bahan baku atau feedstock yang melimpah. Selama ini bahan baku hanya diekspor ke luar negeri lalu tentu saja kemudian kembali lagi ke dalam negeri dalam bentuk produk olahan yang harganya jauh lebih tinggi. Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia atau Aprobi, Paulus Tjakrawan mengatakan bahwa Indonesia sebenarnya punya potensi untuk menjadi produsen, tidak hanya bahan mentah, tetapi juga produksi matang seperti biodiesel berbahan dasar kelapa sawit yang memang melimpah di negara ini. “Selama ini feedstock kita dengan biodiesel domestic yang diolah di dalam negeri itu perbandingannya sangatlah kecil. Kita justru lebih banyak mengekspor feedstock itu,” kata Paulus Tjakrawan dalam kegiatan Fellowship Journalist Batch II yang dilaksanakan secara virtual atas kerjasama Jurnalisme Profesional Untuk Bangsa atau JProf dan BPDP-KS di bawah Kementerian Keuangan pada Rabu-Kamis, 21-22 Oktober 2020. Menurut Paulus, pada 2018 feedstock Palm Oil Production mencapai 43.000 ton sementara biodiesel domestic hanya diproduksi 3.263 ton atau 7,5 persennya saja. “Tahun 2019 lumayan meningkat tetapi tetap jauh perbandingannya. Feedstock Palm Oil Production mencapai 45.000 ton sementara biodiesel domestic hanya diproduksi 5.542 ton atau 12,03 persen,” tuturnya. Lalu di 2020, tutur Paulus, feedstock Palm Oil Production mencapai 46.000 ton sementara biodiesel domestic hanya diproduksi 8.091 ton atau 17,5 persennya saja. “Tahun 2018, produksi minyak kelapa sawit ita itu mencapai 43,709 MTon dan yang kita ekspor, refine, lauric, oleo itu sebanyak 33,027 MTon atau sekitar 77,4 persen. Bayangkan kalau produksi minyak kelapa sawit kita itu dijadikan biodiesel domestic, kita tidak akan kekurangan bahan bakar nabati atau BBN, bahkan untuk menunjang listrik di PLN pun bisa dengan BBN ini,” terangnya. Hal inilah yang sedang diperjuangkan menurut Paulus. Indonesia ingin berdigdaya dengan kekayaan alamnya dan memanfaatkannya demi kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia.

https://www.borneonews.co.id/berita/190383-indonesia-berpotensi-produksi-biodiesel-dengan-bahan-baku-melimpah

Borneonews.co.id | Senin, 26 Oktober 2020

Menuju Keberlanjutan Industri Biodiesel dan Implementasinya

Indonesia sedang memperjuangkan keberlanjutan industri kelapa sawit dalam hal ini tujuannya mengembangan biodiesel dengan mengimplementasikan segala kebijakan, termasuk bahan baku atau feedstock dari kelapa sawit. “Indonesia telah menerapkan moratorium deforestasi atau pembukaan lahan, untuk penggunaan apa pun sejak 9 tahun lalu, pada 2011. Selain itu diberlakukan juga moratorium untuk perkebunan kelapa sawit baru pada tahun 2018. Juga, telah dibentuk Badan Restorasi Gambut 2016. Ini membuktikan keseriusan Indonesia untuk menjaga lingkungan namun juga memberdayakan perkebunan yang sudah ada untuk keperluan negara,” kata Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia atau Aprobi, Paulus Tjakrawan. Hal ini disampaikannya dalam kegiatan Fellowship Journalist Batch II yang dilaksanakan secara virtual atas kerjasama Jurnalisme Profesional Untuk Bangsa atau JProf dan BPDP-KS di bawah Kementerian Keuangan pada Rabu-Kamis, 21-22 Oktober 2020. “Standar Keberlanjutan Kelapa Sawit RSPO atau Roundtable on Sustainable Palm Oil standar sudah dimiliki oleh 51 persen dari Perkebunan di Indonesia,” bebernya. Standar ISPO atau Indonesia Sustainable Palm Oil lebih dari 500 perkebunan Indonesia sudah bersertifikat ISPO ini. Sementara ISCC atau International Sustainability & Carbon Certification, banyak perusahaan telah mendapatkan sertifikasi ISCC. “Karena ini soal keberlanjutan, maka Indonesia terus mengembangkan teknologi pengolahan ramah lingkungan, biofuel agar Indonesia dapat mandiri dalam hal Bahan Bakar Nabati atau BBN karena kita sudah memiliki bahan bakunya. Daripada bahan baku itu terus diekspor, lebih baik diolah di dalam negeri demi kesejahteraan Indonesia,” tutupnya.

https://www.borneonews.co.id/berita/190384-menuju-keberlanjutan-industri-biodiesel-dan-implementasinya

Listrikindonesia.com | Senin, 26 Oktober 2020

Produksi Berlebih, Pengusaha Sawit Mengandalkan Program Biodiesel

Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) mencatatkan, produsen sawit di tanah air berlebih. Sehingga, tidak sedikit pengusaha sawit mengandalkan program biodiesel dari pemerintah. “Para pengusaha sawit mendukung penuh program biodiesel ini. Selain memang bisa menekan angka impor, disatu sisi program ini juga bisa membantu para perusahaan sawit untuk bisa meningkatkan serapan produk hasil sawit,” ujar Ketua Harian Aprobi, Paulus Tjakrawan, kemarin. Melimpahnya pasokan sawit di tanah air, ungkapnya, salah satunya disebabkan karena ada masalah pelarangan penggunaan produk sawit di beberapa negara. Hal ini menyebabkan kondisi produksi dalam negeri berlebih dan menyebabkan harga anjlok. “Kami tentu tak bisa menampik kondisinya saat ini pasokan sangat berlebihan. Namun dengan program ini setidaknya bisa meningkatkan serapan dalam negeri,” kata Paulus. Saat ini, ungkapnya, produksi nasional sebesar 68 juta metrik ton CPO. Padahal konsumsi dalam negeri di luar program biodiesel hanya 9 sampai 11 juta metrik ton. Dengan adanya program biodiesel ini setidaknya serapan domestik bisa bertambah. “Sekarang produksi kita itu 68 juta kiloliter FAME. Padahal kita cuman pakai 15 juta. Kebutuhan dalam negeri hanya 10 juta,” ujar Paulus. Ia pun mendukung penuh upaya pemerintah untuk bisa terus mengembangkan produk biodiesel ini dengan meningkatkan komposisi FAME dalam campuran. Harapannya, maka serapan dalam negeri akan terus bertambah. Disatu sisi, angka ketergantungan impor minyak mentah juga bisa semakin rendah dan pada saatnya indonesia bisa terbebas dari ketergantungan impor minyak mentah. “Ini bisa terus dijalankan dan ditingkatkan. Setelah kami hitung dan lihat ini harus tetap jalan, Untuk kepentingan kita bersama,” ujar Paulus.

Direktur Utama (Dirut) Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Eddy Abdurrachman menjelaskan sejak mandatori biodiesel, industri sawit sudah menyumbangkan eksistensinya dalam pasokan FAME yang merupakan campuran utama dari biodiesel. “Industri sawit punya peranan penting dalam mendorong energi baru terbarukan di Indonesia. Saat ini produk biodisel bahkan bisa menekan angka ketergantungan impor solar. Ini bisa menghemat devisa,” kata Eddy. BPS mencatat dengan program biodiesel sepanjang semester I, impor minyak bisa ditekan sampai 11,73 persen atau 10,33 juta ton. Nilai impor hasil minyak juga merosot dari 39,3 persen menjadi 1,98 miliar dolar AS. Meski tak bisa ditampik, program mandatory biodiesel ini tak bisa berjalan mulus tanpa peran BPDPKS. Sebab, sebenarnya program mandatory ini tak bisa sampai ke masyarakat karena persoalan harga bahan baku FAME. BPDPKS mengaku jika memang tidak ada subsidi dari pungutan ekspor yang dilakukan BPDPKS, maka harga jual biodiesel ini jauh lebih tinggi daripada solar.

https://listrikindonesia.com/produksi_berlebih_pengusaha_sawit_mengandalkan_program_biodiesel_5610.htm

BERITA BIOFUEL

Tempo.co | Senin, 26 Oktober 2020

Menjawab Tantangan Energi Masa Depan

Indonesia bersiap menghadapi krisis energi pada 2050 dengan mencari energi alternatif untuk mengatasi cadangan energi fosil yang semakin menipis. Namun, pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) sebagai energi alternatif belum optimal. “Padahal sumber energi baru terbarukan tersebar di seluruh wilayah Indonesia.  EBT berada pada kisaran lebih dari 400 gigawatt, tapi baru termanfaatkan 10 gigawatt atau 2,5 persen,” ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, dalam acara Tempo Energy Day 2020 yang berlangsung virtual selama dua hari, 21-22 Oktober 2020. Dari total kapasitas sumber energi saat ini sebesar 70 gigawatt, EBT hanya 10,9 persen. Sisanya sebanyak 19,5 persen mengandalkan gas bumi, 35 persen batu bara dan minyak bumi sebesar 34,8 persen. Porsi ini diharapkan berubah menjadi 23 persen pada 2025, lalu meningkat hingga 31 persen pada 2050. Demi mencapai target tersebut, pemerintah mengambil empat langkah kebijakan. “Pertama, kita memaksimalkan energi baru terbarukan, lalu meminimalisasi penggunaan minyak bumi, mengoptimumkan gas bumi, dan menjadikan batu bara sebagai swinger,” kata Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Rida Mulyana. Empat langkah kebijakan tersebut dijalankan perusahaan-perusahaan di klaster energi dan minerba (mineral dan batu bara) di bawah Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Menteri BUMN Erick Thohir telah menugaskan PLN, Pertamina, PT Bukit Asam, dan MIND ID berinvestasi. Sejumlah hasil menggembirakan telah dicapai. “Transformasi energi telah terjadi. Implementasi program biodiesel B30 sudah berjalan. Percepatan program klasifikasi batu bara untuk dijadikan metanol dan dimetil eter sehingga bisa mengurangi impor LPG yang sekarang sudah mencapai  sekitar 6 juta metrik,” kata Erick. Selain itu, kata Erick, percepatan pembangunan listrik tenaga surya antara PLN dengan Masdar dari UAE (Uni Emirat Arab) dengan kapasitas 145 megawatt. “Proyek terbesar di Asia Tenggara,” ujar Erick. Senior Vice President Strategy & Investment Pertamina Daniel S. Purba, mengatakan perseroan sedang menyiapkan empat pilar utama untuk memenuhi amanat Menteri Erick Thohir. Pilar pertama yakni pengembangan panas bumi (geothermal). “Kedua, bioenergi seperti pengembangan bioavtur dan biogasoline. Ketiga, optimalisasi produksi gas, dan terakhir, pengembangan baterai kendaraan listrik bekerja sama dengan PT Inalum dan PLN,” ujar Daniel.

Sedangkan PT Bukit Asam Tbk menyiapkan bisnis tenaga surya di bekas tambang mereka. “Kita sudah punya persiapan untuk mengembangkan pembangkit listrik dari surya. Ini akan dilakukan di lahan pasca-tambang di Tanjung Enim dan Ombilin,” ujar Direktur Utama Bukit Asam, Arviyan Arifin. Bukit Asam bekerja sama dengan PT Angkasa Pura II (Persero) untuk membangun panel surya di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Adapun dengan PT Jasa Marga (Persero) bekerja sama memanfaatkan areal tanah di tepi jalan tol sebagai lokasi bangunan panel surya. Arviyan menambahkan, perseroan juga akan memanfaatkan Danau Toba untuk dibangun tenaga surya. Sementara itu, PLN digandeng Kementerian ESDM menjalankan dua proyek. Pertama, pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap agar pelanggan bisa menghemat tagihan listrik hingga 30 persen, dan kedua adalah melistriki 433 desa yang akan dilaksanakan pada 2021. “Menjalankan amanat pemerintah untuk menerangi sampai pelosok negeri merupakan tugas yang harus kami penuhi,” kata Executive Vice Presiden EBT PLN (Persero), Cita Dewi. Walau demikian, upaya perusahaan BUMN merintis EBT demi pencapaian target 23 persen akan sulit jika iklim investasi tidak mendukung. Sebab itu, pengamat energi dari Universitas Gajah Mada, Fahmy Radhi, mendorong pemerintah memberikan insentif yang dapat menarik minat investor. “Pemerintah mestinya bisa menyiapkan insentif agar kerja investor lebih ringan,” kata dia. Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma menyoroti tarif EBT yang lebih mahal dibandingkan dengan tarif energi fosil. Hal ini mengakibatkan perusahaan penyedia energi cenderung memilih bahan bakar migas. “Pemerintah harus mengeluarkan kebijakan tentang kepastian harga atau tarif yang sesuai, misalnya tenaga angin berapa tarifnya, surya berapa, panas bumi berapa,” ujar Darma. Usulan-usulan tersebut terjawab dengan peraturan presiden yang bakal dikeluarkan dalam waktu dekat. Direktur Aneka EBT Kementerian ESDM Harris, menyebutkan isi rancangan perpres tersebut. “Di dalamnya ada ketentuan tarif yang lebih simpel, pengadaan yang bisa ditunjuk langsung, juga tentang insentif tambahan. Dulu sudah ada insentif tetapi tidak spesifik. Nah, di dalam Perpres nanti lebih jelas,” kata dia. Rencana penerbitan perpres mendapat apresiasi dari Surya Darma. Ia berharap Perpres mampu menjawab semua persoalan yang bertahun-tahun menyulitkan pengembangan EBT. Pasalnya, banyak regulasi sebelumnya yang mudah berganti. “Kami berharap perpres tidak mudah berubah sebagaimana peraturan menteri yang terdahulu,” ujarnya.

https://nasional.tempo.co/read/1399540/menjawab-tantangan-energi-masa-depan/full&view=ok

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *