Mencari Diversifikasi Bahan Bakar Nabati yang Ideal di Indonesia

| News
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Mongabay.co.id | Senin, 10 Januari 2022

Mencari Diversifikasi Bahan Bakar Nabati yang Ideal di Indonesia

Bersama negara-negara di seluruh dunia, Indonesia berkomitmen untuk ikut menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang berdampak pada perubahan iklim dengan menandatangani Persetujuan Paris (Paris Agreement) pada 2016 lalu. Indonesia bertekad untuk menurunkan emisi karbon hingga 29% atau 41% dengan bantuan dari luar negeri pada 2030. Komitmen ini telah tercantum dalam dokumen komitmen negara (nationally determined contribution/NDC). Setelah lima tahun berlalu, iktikad baik pemerintah untuk menjaga temperatur bumi yang kian memanas tiap harinya semakin kuat. Hal ini terlihat dari keikutsertaan Indonesia dalam KTT Perubahan Iklim atau COP26 di Glasgow 2021 dan fokus utama Indonesia saat Presidensi kelompok negara G20 pada 2022 ini. Sayangnya, komitmen tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan target pengurangan emisi nasional seperti tercantum dalam NDC Indonesia. Juga dengan target emisi bersih (net-zero emition) yang ditargetkan pada 2060 atau lebih cepat. Target tersebut jauh lebih lambat dari apa yang dituliskan dalam paragraf 22 Pakta Iklim Glasgow, dimana negara-negara di dunia didorong untuk mencapai bebas karbon pada 2050. Salah satu sektor pengemisi karbon adalah sektor energi. Indonesia sendiri telah berkomitmen untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dengan bertahap beralih ke energi yang lebih ramah lingkungan. “Green energi ini sudah menjadi sebuah kebutuhan dan keharusan, nggak bisa enggak,” kata Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, yang dihubungi pada Sabtu (18/12/2021). Kebijakan pemerintah untuk mengurangii bahan bakar fosil, seperti memensiunkan dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang menggunakan bahan baku batubara. Di saat yang sama, akselerasi kendaraan listrik (electric vehicle/EV) juga tengah dilakukan. Selain itu, sembari menunggu kesiapan ekosistem EV, penggunaan bahan bakar nabati (BBN) atau biofuel juga semakin didorong sebagai ganti bahan bakar fosil. Sementara itu, sebagai negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia, Indonesia memfokuskan minyak sawit (crude palm oil/CPO) sebagai bahan baku BBN nusantara. Selain itu, sawit menjadi pilihan karena sudah terbukti dapat menjadi bauran energi sejak lebih dari satu dekade yang lalu. Hal ini terlihat dari adanya B30, program pencampuran 30% biodiesel sawit ke dalam solar. Bahkan, alokasi sawit sebagai BBN sudah diatur sejak 2015 lalu oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), seiring dengan dibentuknya Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). “Yang mana meraka juga menyediakan mekanisme insentif biodiesel dengan dana yang berasal dari pungutan sawit,” beber Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana, yang dihubungi pada Sabtu (18/12/2021). Insentif ini, lanjut Dadan, sangat diperlukan mengingat harga biodiesel alias bahan bakar solar campuran fatty acid methyl ether (FAME) yang menjadi campuran B30 masih selangit. Untuk insentif biodiesel sendiri diambil dari dana pungutan ekspor produk-produk sawit dan turunannya, yang dikelola BPDPKS. “Makanya insentif saat ini hanya diberikan untuk biodiesel sawit saja. Kalau untuk BBN dari tanaman lainnya belum ada,” imbuh dia. Sementara itu, sama halnya dengan bahan bakar nabati lainnya, biodiesel cenderung lebih mahal ketimbang harga bahan bakar dari fosil lantaran harga bahan baku yang memang lebih tinggi, ketersediaan pasokan yang tak sebanyak BBM dan proses produksi lebih rumit. Ini juga terjadi seiring dengan harga CPO yang masih terjaga tinggi, sejak awal pandemi Covid-19. Karena itu, tak heran jika sampai saat ini pengembangan B40, sebagai upgrade dari B30 masih menemui kendali pada ongkos produksi. Selain harga, alokasi sawit untuk dijadikan bahan bakar lantas menjadi tantangan berikutnya dari pengembangan biofuel. Sampai saat ini, alokasi sawit sebagai bahan biodiesel memang terus mengalami peningkatan. Namun, di saat yang sama alokasi sawit untuk ekspor CPO juga terus ditambah. Spesialis Sistem Informasi Geografis Yayasan Madani Berkelanjutan Fadli Ahmad Naufal bilang, penjualan ke luar negeri akan terus ditingkatkan, mumpung harga sawit dunia masih bagus. “Pengusaha (sawit-red) tidak mau rugi. Mereka tidak mau kehilangan momen harga sawit yang lagi mahal ini,” ujarnya saat dihubungi, Jumat (17/12/2021). Sebagai informasi, berdasarkan data dari sejumlah asosiasi perkelapasawitan, total produksi CPO pada tahun lalu mencapai 51,58 juta ton, di mana sebanyak 34 juta ton atau 66% diekspor dan 17,34 juta ton atau sebanyak 34% digunakan untuk kebutuhan domestik. Dari kebutuhan dalam negeri tersebut, 14% di antaranya digunakan untuk kebutuhan biodiesel. Angka itu diperkirakan akan mengalami kenaikan pada tahun ini, yakni mencapai 15,2%. Sementara hingga Semester II-2021, produksi biodiesel telah mencapai 5,06 juta kiloliter, dengan pemakaian domestik sebesar 4,63 juta kiloliter. Kondisi ini lantas membuat Fadli khawatir. Pasalnya, jika sawit terus diperas untuk kebutuhan ekspor dan biodiesel, potensi deforestasi utamanya hutan alam, hutan lindung, hingga hutan adat akan kian besar. Padahal, dengan meningkatnya deforestasi akan membuat emisi karbon yang dihasilkan akan semakin sulit untuk dikurangi. Meski Indonesia telah beralih menggunakan energi baru terbarukan (EBT). “Kalau sawit terus jadi yang utama ya deforestasi akan tidak bisa dihindari. Pengusaha-pengusaha yang punya lahan sawit memang akan mau meningkatkan alokasinya untuk biofuel. Tapi mereka tidak akan mau untuk menurunkan penjualan ekspor. Jalan terakhir adalah buka lahan,” urainya. Sampai saat ini berdasarkan catatan Yayasan Madani Berkelanjutan, memang masih ada 1,16 juta hektar lahan yang tersisa di izin sawit. Namun, dari total luasan lahan tersebut masih terdapat tumpang tindih dengan perhutanan sosial bersertifikat, lahan food estate, sumber mineral dan gas, hingga sumber mineral dan batubara. “Sehingga mungkin hanya tinggal tersisa 613 ribu hektar lahan sawit saja, yang tidak tumpang tindih,” lanjut Fadli. Dengan perkiraan pertumbuhan kendaraan hingga 6% per tahun. Artinya produksi biofuel perlu ditingkatkan hingga 50% dalam waktu tiga tahun mendatang, untuk memenuhi permintaan penurunan emisi karbon sebanyak 36 juta ton pada 2040. Dus, peningkatan produksi ini akan berdampak terhadap pembukaan lahan untuk tanaman yang menjadi bahan dasar biofuel, diperkirakan sebesar 1,2 juta hektare, atau hampir seperempat dari total lahan perkebunan sawit di Indonesia. Karenanya, untuk mencapai bauran energi baru terbarukan sebesar 23% di tahun 2025, Fadli menilai penting agar pemerintah melakukan diversifikasi biofuel. Menurutnya, penganekaragaman bahan bakar nabati sangat mungkin dilakukan, mengingat Indonesia memiliki banyak tanaman yang berpotensi untuk dijadikan bahan bakar bersih. Dalam Laporan Akhir Kajian Pengembangan Bahan Bakar Nabati yang dirilis Bappenas 2015 silam, ada beberapa tanaman yang bisa diolah sebagai biodiesel, bioavtur dan bioethanol. Di antaranya adalah kelapa sawit, kelapa, jarak pagar, nyamplung, kemiri sunan, mikroalga, tebu, ubi kayu, jagung, sagu, aren, sorghum, makroalga. Selain itu, ada juga limbah kehutanan, limbah pertanian, hingga rumput gajah yang juga bisa digunakan sebagai bahan baku biomassa. Spesialis Bahan Bakar Bersih Institute for Essential Services Reform (IESR) Julius Christian Adiatma mengatakan, sebenarnya Indonesia pernah sukses menganekaragamkan bahan bakar fosil dengan bioethanol atau BBN yang berbahan dasar tebu. “Tapi sayangnya ini cuma sebentar. Terakhir dipakai untuk bahan bakar kendaraan di 2020. Volume yang diproduksi juga enggak besar kayak sawit,” tuturnya usai memberikan materi dalam Media Briefing Indonesia Energy Transition Outlook 2022, di Jakarta Pusat, Senin (20/12/2021). Menurut Dirjen EBTKE Kementerian ESDM Dadan Kusdiana penghentian produksi biotenol untuk kebutuhan masal, utamanya di sektor transportasi disebabkan oleh belum adanya sumber insentif yang dapat mendukung program ini. Berbeda dari sawit dengan insentifnya yang berasal dari dana pungutan ekspor CPO, tidak ada dana khusus untuk memproses pasokan (feedstock) tebu atau gula menjadi bioethanol. Dengan begitu, ongkos produksi bioethanol menjadi berkali-kali lebih mahal dari biodiesel maupun bioavtur untuk bahan bakar pesawat. “Karena nggak ada lembaga khusus kayak BPDPKS yang menangani dana dari bioethanol,” jelas Julius. Padahal, jika dilihat dari pasokan, masih banyak lahan-lahan tebu yang sampai saat ini terbengkalai dan bisa dimanfaatkan untuk menambah produksi bioethanol. Berdasarkan catatan Yayasan Madani, sedikitnya ada 172.880 lahan tebu eksisting di seluruh Indonesia. Selain bioethanol dari tebu, rasanya pemerintah juga bisa mengembangkan bahan bakar diesel lainnya dari kelapa atau yang lebih dikenal sebagai cocodiesel. Bahan bakar pengganti BBM ini pun sebelumnya pernah diproduksi oleh Balai Besar Kimia dan Kemasan (BBKK) Kementerian Perindustrian bersama Balai Termodinamika Motor dan Sistem Propulsi dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), tepatnya pada 2020 lalu. Hasilnya, kualitas BBM cocodiesel ternyata tidak kalah dengan biodiesel yang diproduksi PT. Pertamina. Bahkan, cocodiesel lebih bermutu dari BBM jenis solar karena angka setana (cetane number) coco-diesel bisa mencapai sebesar 63 dan 70. Unjuk kerja coco-diesel (coco methyl ester) pada mesin memang belum banyak diketahui jika dibandingkan dengan biodiesel dari minyak sawit. Namun, menurut Peneliti pada Pusat Teknologi Sistem dan Prasarana Transportasi BPPT Rizqon Fajar mengungkapkan bahwa unjuk kerja cocodiesel tidak jauh berbeda dibandingkan biodiesel sawit. Belum lagi, kandungan emisi gas buang karbonmonoksida, hidrokarbon dan partikulat dari cocodiesel juga lebih rendah dibanding minyak diesel petroleum (solar). Sedangkan kandungan emisi dari coco-diesel bisa lebih tinggi atau sama dengan solar tergantung dari tipe atau penyetelan mesin diesel. “Karena kandungan rantai rangkap dalam minyak kelapa coco lebih rendah dibanding minyak sawit, maka emisi NOx cocodiesel bisa lebih rendah dibanding biodiesel sawit,” jelas Rizqon, saat dihubungi awal Desember lalu. Angka setana dari cocodiesel dilaporkan sebesar 63 dan 70, sedangkan angka setana dari biodiesel sawit adalah 50-70 dan 65. Kandungan kalori coco-diesel (35,3 MJ/Kg) sedikit lebih rendah dibandingkan biodiesel sawit (37 MJ/Kg) sehingga unjuk kerja (power dan torsi) dan emisi dari kedua jenis biodiesel diperkirakan tidak ada perbedaan yang signifikan. Keunggulan dari cocodiesel lainnya adalah bilangan iodine yang lebih rendah dibandingkan biodiesel sawit. Rendahnya bilangan iodine menunjukkan rendahnya kandungan ikatan rangkap tak jenuh dalam coco-diesel. Hal ini akan mengurangi resiko terjadinya serangan oksigen dari udara yang dapat menyebabkan reaksioksidasi selanjutnya polimerisasi membentuk padatan atau deposit (kerak). Padatan tersebut akan terbentuk pada saluran dan sistem injeksi bahan bakar. Kondisi ruang bakar yang lebih ekstrem (temperatur tinggi) akan mempercepat/meningkatkan terbentuknya deposit dan dapat merusak mesin dengan cepat. “Ini yang kemudian akan mengurangi risiko kerusakan, oksidasi dan polimerisasi pelumas mesin, sehingga umur pelumas akan lebih panjang,” imbuh Rizqon. Dari sisi ketersediaan lahan, kelapa juga masih memiliki lahan eksisting cukup luas. Menurut catatan Yayasan Madani, sedikitnya ada 969.278 hektar lahan kelapa yang masih bisa dimanfaatkan. Sementara itu, terlepas dari apapun bahan baku yang digunakan untuk menciptakan biofuel, harga jual energi hijau memang jauh lebih tinggi ketimbang bahan bakar fosil. Namun, menurut Fadli Ahmad Naufal dari Yayasan Madani Berkelanjutan, hal ini tidak bisa dijadikan alasan bagi Indonesia untuk tidak melakukan penganekaragaman bahan bakar nabati dan memeras sawit sebagai bauran energi yang utama. Bahkan, menurutnya diversifikasi saat ini juga telah menjadi sebuah keniscayaan, sama halnya dengan akselerasi penggunaan energi bersih di tanah air. “Ini kalau pemerintah tidak ingin deforestasi di negara kita semakin luas dan akhirnya justru malah menambah emisi,” tegas dia. Hal ini pun diamini oleh Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa. Dia bilang, seharusnya pemerintah menganggap harga mahal yang harus dibayar dari melakukan transisi energi sebagai investasi masa depan, alih-alih beban. Apalagi, di masa mendatang, negara-negara maju di dunia akan lebih tertarik untuk berinvestasi pada proyek-proyek hijau sebagai komitmen mereka untuk menjaga bumi agar tidak semakin panas. Ada banyak sumber pendanaan yang bisa menjadi sumber investasi energi terbarukan. Pemerintah dapat menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menarik investasi dari sumber pendanaan tersebut. “Misalnya dengan melakukan pemetaan sumber daya energi terbarukan, melakukan riset teknologi, dan mengadakan pilot project untuk projek baru energi terbarukan yang belum dikembangkan seperti energi laut, serta menyediakan instrument derisking untuk menarik investasi,” kata Fabby, di Jakarta, Senin (20/12/2021). Pada kesempatan yang sama, Spesialis Energi Bersih IESR Julius Chritian Aditama menyarankan agar pemerintah kembali mendorong produksi bioethanol kembali. Dia bilang, tak masalah jika harga jual bahan bakar dari turunan gula tersebut dijual dengan harga lebih tinggi dari solar. Atau jika tidak, bioethanol dapat digunakan untuk menggantikan pertamax yang juga memiliki harga tinggi. “Jadi memang penggunaannya ini dikhususkan untuk pengguna Pertamax, yang masyarakat kelas menengah atas. Jadi ini untuk pengganti BBM di kelas itu,” kata dia. Sementara itu, Dirjen EBTKE Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengungkapkan, pemerintah tidak akan menutup mata dari kemungkinan penggunaan bahan bakar nabati lainnya, selain sawit. Namun, dengan catatan keekonomian dari tanaman tersebut bisa terjangkau, sehingga bisa bersaing dengan bahan bakar fosil. Selain kedua hal itu, feedstock dari bahan baku nabati tersebut juga harus terjamin keberlanjutannya. Sehingga masih tetap bisa digunakan untuk fungsi awalnya. Di sisi lain, saat ini pemerintah juga masih terus mendorong penelitian untuk mendapatkan bahan baku lainnya untuk biofuel yang lebih efisien dan ekonomis. Menurut Dadan, hal ini dilakukan karena dia sepenuhnya sadar bahwa tidak hanya harga tinggi dan stok tanaman yang menjadi tantangan pengembangan biofuel, melainkan juga infrastruktur pendukung dan penerimaan masyarakat terhadap bahan bakar baru. “Ada lima strategi pemerintah untuk mengembangkan biofuel. Pertama dengan mengikuti prinsip-prinsip berkelanjutan, melibatkan petani, menciptakan standar mutu lebih baik, mebuat proses pengembangan seefisien mungkin dan terakhir menjaga agar harganya terjangkau dan terkendali,” tutup Dadan.

Mencari Diversifikasi Bahan Bakar Nabati yang Ideal di Indonesia

Beritasatu.com | Senin, 10 Januari 2022

Stop Impor Solar dan Avtur, Dirut Pertamina: Achievement Luar Biasa

Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan, sejak April 2019, Indonesia sudah tidak lagi mengimpor solar dan avtur. Hal ini adalah achievement yang luar biasa. “Indonesia sudah tidak lagi mengimpor solar, padahal ini adalah barang subsidi. Biasanya, barang subsidi seperti solar luar biasa (impornya). Namun, kini kita sudah tidak impor, semuanya sudah diproduksi di kilang kita,” kata Nicke dalam acara focus group discussion (FGD) dan kunjungan pimpinan redaksi media nasional di Balikpapan, Sabtu (8/1/2022). Pada kesempatan itu, dia juga ingin menyampaikan optimisme kepada seluruh masyarakat, khususnya pada milenial, untuk kembali menekuni teknologi. “Sekarang, sepertinya jarang anak muda yang menekuni teknologi, padahal kalau Indonesia mau neraca perdagangannya positif dari sisi energi, teknologi jawabannya. Ajak mereka kembali ke zaman Pak (Presiden) Soekarno dulu,” jelasnya. Pertamina, lanjut Nicke, meningkatkan produksi kilang maupun hulu secara konsisten. Selain itu, membangun industri petrochemical, karena akan menjadi salah satu pilar bisnis utama Pertamina ke depan. “Di hulu masif dan agresif kami lakukan, sehingga produksi meningkat. Di kilang kami lakukan perbaikan kualitasnya, sehingga produksinya sesuai dengan standar internasional dan kita tambah kapasitasnya,” tandasnya. Pertamina memastikan seluruh proyek kilang yang meliputi peningkatan kapasitas produksi BBM dan integrasi petrokimia terhadap kilang existing akan rampung tahun 2026, atau paling lambat 2027. Nilai investasi proyek mencapai US$ 43 miliar, dengan 40% pendanaan berasal dari equity. “Pada 2023 kapasitas kilang BBM kita akan bertambah, ditandai dengan onstream-nya (produksi) revamping unit pada proyek RDMP (Refinery Development Master Plan) Kilang Balikpapan pada Oktober 2023. Kalau proyek kilang seluruhnya selesai sekitar 2026. Paling lama ada di proyek Kilang Tuban, karena membangun baru refinery serta petrochemical dalam satu area,” jelas Nicke. Lebih lanjut Nicke menjelaskan, progres pembangunan kilang Pertamina, baik itu RDMP maupun GRR Tuban hingga saat ini tetap sesuai penugasan dalam mengembangkan dan membangun kilang minyak dan petrokimia di Indonesia. Secara umum, progres pembangunan kilang telah menunjukkan progres yang positif serta telah tercapai milestone penting. Itulah sebabnya, BUMN tersebut optimistis proyek kilang dapat selesai sesuai waktu yang telah ditetapkan.

https://www.beritasatu.com/ekonomi/877215/stop-impor-solar-dan-avtur-dirut-pertamina-achievement-luar-biasa