Jokowi Minta Program biodiesel Dilanjutkan
Investor Daily Indonesia | Selasa, 7 Juli 2020
Jokowi Minta Program biodiesel Dilanjutkan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta jajarannya untuk konsisten melanjutkan program mandatori biodiesel, baik B30, B50, maupun B100, sebagai salah satu upaya menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Berdasarkan Konvensi Perubahan Iklim yang telah diratifikasi, Indonesia memiliki target untuk menurunkan emisi GRK sebesar 29% pada 2030 dan atau 41 % dengan dukungan kerja sama teknik dari luar negeri. Melalui penurunan GRK itu, Indonesia berharap membantu mengendalikan perubahan iklim global. Demikian disampaikan Presiden Jokowi saat memimpin rapat terbatas tentang Kelanjutan Kerja Sama Penurunan Emisi GRK Indonesia dan Norwegia serta Kebijakan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon (Carbon Pricing) di Jakarta, Senin (6/7). Dalam rapat tersebut, Kepala Negara menyatakan bahwa penurunan emisi GRK, termasuk kerja sama Indonesia-Norwegia yang harus terus berlanjut, merupakan salah satu agenda strategis nasional pemerintah saat ini selain persoalan pengendalian Covid-19. Jokowi menuturkan, untuk menurunkan emisi GRK, langkah pertama yang harus dilakukan adalah Indonesia harus terus konsisten menjalankan dan melanjutkan program pemulihan lingkungan, perlindungan gambut, dan percepatan rehabilitasi hutan dan lahan, terkait itu maka kebakaran hutan dan lahan (karhutla) harus diwaspadai mengingat saat ini telah masuk musim panas (kemarau). “Perlindungan biodiversity yang sudah melekat sebagai upaya pengendalian hutan dan pemulihan habitat juga harus dipastikan betul-betul berjalan di lapangan, pun pengembangan biodiesel B30, B50, dan akan ke B100 agar terus dilanjutkan, juga pengembangan energi surya, energi angin, saya kira kita juga sudah memulai ini,” kata Jokowi.
Langkah kedua dalam penurunan GRK adalah segera menyelesaikan seluruh tahapan dalam menurunkan emisi GRK, yakni regulasi dan instrumen pendanaan termasuk insentif bagi pemangku kepentingan. Pemerintah harus bisa memas- tikan bahwa pengaturan karbon betul-betul berdampak signifikan bagi pencapaian target penurunan GRK sebesar 26% pada 2020 dan 29% pada 2030. “Kita memiliki kesempatan banyak, baik itu di lahan hutan gambut, hutan mangrove, dan juga hutan lainnya,” jelas Jokowi. Jokowi menjelaskan, berdasarkan Konvensi Perubahan Iklim yang telah diratifikasi, Indonesia memiliki target penurunan emisi GRK 29% pada 2030 dan 41% dengan dukungan kerja sama teknik dari luar negeri. Merujuk hal tersebut maka Indonesia memiliki kewajiban untuk menurunkan emisi GRK dari sektor kehutanan 17,20%, sektor energi 11%, sektor limbah 0,32%, sektor pertanian 0,13%, serta sektor industri dan transportasi 0,11%. “Untuk itu, kerja sama penurunan emisi GRK Indonesia dan Norwegia juga harus berlanjut, proses kerja sama ini juga sudah cukup panjang, sejak 2010 dan Indonesia terus berkomitmen menurunkan GRK sebanyak 26% pada 2020 dan meningkat 29% pada 2030,” papar Jokowi.
Berlanjut Hingga 2030
Dalam kesempatan itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menyampaikan, sesuai arahan Presiden Jokowi maka kerja sama Indonesia-Norwegia dalam penurunan GRK dilanjutkan sampai 2030. Pembayaran dari hasil kerja pemenuhan komitmen untuk penurunan emisi GRK antara Indonesia dengan Norwegia dan juga rencana pengaturan carbon pricing akan disusun dalam bentuk peraturan presiden (perpres). “Ada tiga hal letter ofintent (LoI), kerja sama antara Indonesia dan Norwegia itu sudah dilakukan sejak 26 Mei 2010, seperti arahan Bapak Presiden maka kita akan melanjutkan,” ujar dia. Terkait kelanjutan kerja sama hingga 2030, Siti mengatakan, ada beberapa hal yang disesuaikan seperti keberadaan punish agreement. “Di LoI tahun 2010 dikatakan bahwa komitmen Indonesia itu 26% pada 2020 dan di UU No 16Tahun 2016 tentang ratifikasi perubahan iklim itu sudah kita sesuaikan,” kata dia. Jadi, besaran penurunan emisi GRK pada 2030 adalah 29% dan atau 41% penurunan emisi GRK pada 2030 dengan dukungan kerja sama teknik luar negeri. LoI itu bahkan telah menjadi contoh bagi negara-negara lain di dunia dalam rangka reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+). Prestasi Indonesia dalam kerangka REDD+ itu sangat banyak, di antaranya dalam penanganan gambut dan inpres moratorium perizinan yang mulai dipermanenkan pada 2019 yang artinya sejak 2019 sudah tidak tidak boleh lagi ada izin baru di hutan primer dan di lahan gambut.
Pemerintah RI juga bekerja keras untuk penanganan karhutla, penurunan deforestasi, serta penegakan hukum. “Ada energi angin yang di Sulawesi, kemudian electro-mobility juga kita sudah mulai, kemudian juga biodiesel B30 yang akan menjadi B50. Bapak Presiden malah sudah mengarahkan akan ke B80 atau kalau mungkin ke B100,” ujarnya. Atas prestasi itu, Indonesia sendiri mendapatkan insentif dari Norwegia, telah disepakati bahwa 11 juta ton emisi yang berhasil diturunkan itu senilai US$ 56 juta atau Rp 800 miliar akan diperoleh Indonesia. Dengan insentif itu, berarti Indonesia terus konsisten terhadap komitmennya dalam penurunan emisi GRK dunia. Sedangkan terkait pengaturan perdagangan karbon, Menteri LHK menyampaikan, regulasinya sudah disiapkan dan sekarang sudah dibahas di tingkat Setkab, Setneg, dan segera ke Kemenkumham untuk diselaraskan antarke-menterian. Melalui regulasi itu, Indonesia menjamin pencapaian kontribusi penurunan emisi GRK atau National Determined Contribution (NDC).
CNNIndonesia.com | Senin, 6 Juli 2020
Jokowi Targetkan Emisi Gas Rumah Kaca Turun 26 Persen
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26 persen pada 2020. Hal tersebut merupakan kesepakatan antara Indonesia dengan Norwegia sejak 2010 lalu. Jokowi menyatakan Indonesia akan terus menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 10 tahun mendatang. Targetnya, emisi gas rumah kaca bisa turun hingga 29 persen pada 2030. “Laporan yang saya terima pembicaraan antara Indonesia dan Norwegia untuk menurunkan gas rumah kaca prosesnya sudah cukup panjang, sudah sejak 2010 dan Indonesia terus berkomitmen untuk menurunkan gas rumah kaca,” ungkap Jokowi dalam video conference, Senin (6/7). Ia bilang tahapan penurunan emisi gas rumah kaca perlu segera diselesaikan. Pemerintah juga akan segera menentukan skema pendanaan untuk merealisasikan penurunan emisi gas rumah kaca. “Emisi harus segera diselesaikan, urusan instrumen pendanaan termasuk inisiatif untuk pemangku kepentingan juga harus dilihat,” terang Jokowi. Selain itu, Jokowi bilang Indonesia juga harus menurunkan emisi karbon di sejumlah sektor. Rinciannya, emisi karbon di sektor kehutanan ditargetkan turun 17,2 persen, sektor energi 11 persen, sektor limbah 0,32 persen, sektor pertanian 0,13 persen, serta sektor industri dan transportasi 0,11 persen. “Di sini harus terus konsisten menjalankan program lingkungan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, kemudian juga perlindungan gambut dan percepatan rehabilitasi hutan dan lahan harus terus dilanjutkan,” jelas Jokowi. Kemudian, Jokowi mengingatkan jajarannya untuk tetap mengimplementasikan target program mandatori biodiesel 50 persen atau B50 dan 100 persen atau B100. Lalu, pemerintah juga akan mengembangkan energi surya dan energi angin. “Indonesia sudah memulai ini, jadi agar ini terus dilanjutkan,” kata Jokowi.
Kontan.co.id | Senin, 6 Juli 2020
Jokowi minta target pencegahan perubahan iklim dijalankan dengan serius
Presiden Joko Widodo meminta kelanjutan program strategis nasional di tengah pandemi virus corona (Covid19). Salah satunya adalah penanganan pencegahan perubahan iklim. Indonesia sendiri memiliki kerja sama penurunan gas rumah kaca dengan Norwegia sebesar 26% pada tahun 2020 dan naik sebesar 29% pada tahun 2030. Selain itu Indonesia juga memiliki komitmen penurunan emisi karbon sebesar 29% pada 2030. Serta penurunan 41% dengan kerja sama teknik dari luar negeri. Penurunan emisi karbon juga dilakukan dalam sejumlah sektor. Antara lain sektor kehutanan 17,2%, sektor energi 11%, sektor limbah 0,32%, sektor pertanian 0,13%, serta sektor industri dan transportasi 0,11%. “Kita harus terus konsisten menjalankan program pemulihan lingkungan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca,” ujar Jokowi saat membuka rapat terbatas di Istana Merdeka, Senin (6/7). Beberapa hal ditekankan Jokowi seperti perlindungan gambut dan rehabilitasi hutan. Terutama mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan di musim kemarau seperti saat ini. Selain itu program pengembangan energi yang ramah lingkungan juga perlu didorong untuk mengurangi emisi karbon. Antara lain pengembangan Biodiesel 30% (B30) hingga mencapai B100. “Pengembangan energi surya, dan energi angin, saya kira kita sudah memulai ini dan agar terus dilanjutkan,” terang Jokowi. Baca Juga: Intip kekayaan Susi Pudjiastuti: Aset terbesarnya properti tanah dan bangunan Rp 70 M Kebijakan dalam mencapai hal tersebut juga perlu didorong penyelesaiannya. Termasuk dalam tahap pendanaan serta insentif dalam menjalankan program tersebut. “Kita harus memastikan bahwa pengaturan karbon memiliki dampak yang signifikan bagi pencapaian target gas rumah kaca,” jelas Jokowi.
Berita Satu TV (Youtube) | Senin, 6 Juli 2020
Jokowi: Lanjutkan Pengembangan Biodiesel B30 dan B50
Dalam rapat terbatas penanganan Covid-19, Presiden Jokowi mengatakan untuk melanjutkan pengembangan bahan bakar nabati dan diesel atau B30, B50, dan akan B100.
Katadata.co.id | Senin, 6 Juli 2020
Begini Efek yang Terjadi Jikalau Mesin Diesel Modern Diisi Solar Busuk
Sejumlah mobil diesel bermesin modern telah dilengkapi teknologi common rail hingga turbo. Berbeda dengan mesin diesel lawas, mobil diesel keluaran baru dianjurkan untuk diisi dengan BBM yang berkualitas bukan solar busuk (grade rendah). Nurkholis, National Technical Leader PT Toyota Astra Motor, mengatakan, mesin diesel yang menganut teknologi common rail hingga turbo memiliki tekanan ruang bakar yang sangat tinggi. Tanpa bahan bakar berkualitas, pembakaran mesin tidak akan sempurna. Bahkan mobil bisa mengeluarkan asap berlebih dan terjadi penurunan performa. “Itu memerlukan kualitas bahan bakar yang bagus, untuk menghindari dari friksi dan kerusakan-kerusakan yang terjadi, misalnya pada pompa dan injektor,” ujar Nurkholis, dalam diskusi virtual beberapa waktu lalu. Solar yang bagus ditandai dengan beberapa indikator. Misalnya untuk BBM jenis Pertamina Dex, memiliki angka cetane number 53, dengan kandungan sulfur minimal 1.200 ppm. Sementara Solar atau Bio Solar memiliki angka cetane number 48, dengan kandungan sulfur sekitar 3.500 ppm.
Tri Yuswidjadjanto Zaenuri, ahli konversi energi dari Fakultas Teknik dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung, mengatakan, solar dengan angka cetane number lebih rendah dapat menyebabkan detonasi pada mesin diesel. Kondisi ini diakibatkan pembakaran yang tidak terkontrol hingga menyebabkan tenaga mesin menurun, boros BBM, serta menghasilkan emisi gas buang yang tinggi. “Ini yang akan menyebabkan korosi, yang nanti akan menurunkan tekanan kompresi, kemudian mengubah spray pattern, akhirnya pembakaran menjadi lebih buruk,” ucap Yus, dalam kesempatan yang sama. Yus juga menambahkan, kerusakan yang terjadi pada mesin diesel modern tak hanya diakibatkan karena angka cetane number yang terlampau rendah. Tapi juga karena Solar yang dipakai tidak memiliki kandungan aditif deterjen yang bisa membersihkan ruang bakar. Menurutnya, Solar berkualitas rendah akan menyebabkan deposit atau kerak pada mesin diesel semakin banyak. “Kerak ini terbentuk saat mobil selesai dikendarai dan mesin sudah dimatikan. Kondisi ini membuat bahan bakar yang terjebak di injektor mengalami oksidasin dan membentuk kerak akibat panas serta tidak ada aliran,” kata Yus. “Deterjen pada Solar berkualitas berfungsi untuk membentuk lapisan licin, sehingga saat mesin dinyalakan kembali, kerak tersebut akan terdorong keluar dari ruang pembakaran,” tuturnya.