Permasalahan biodiesel Indonesia
Harian Kontan | Senin, 11 Mei 2020
Pandemi COVID-19 telah mengubah perekonomian global. Penerapan kebijakan social distancing di berbagai negara memaksa masyarakat tetap tinggal dan beraktivitas di rumah. Akibatnya berbagai Uni bisnis terganggu. Hotel, restoran, perdagangan dan transportasi adalah beberapa sektor yang terdam-pak langsung. Penurunan aktivitas bisnis di sektor tersebut akhirnya mengganggu permintaan komoditas utama Indonesia, khususnya minyak sawit mentah (CPO). Meski begitu, konsumsi CPO oleh rumah tangga masih terjaga karena mayoritas masyarakat tetap memasak makanan sendiri di rumah dan tetap membutuhkan CPO. Penurunan permintaan CPO terlihat dari kinerja ekspor CPO Indonesia dan Malaysia. Volume ekspor CPO Indonesia pada 1Q20 menurun 16% (yoy) menjadi 5,9 juta ton, sementara volume ekspor Malaysia di periode yang sama menurun 24,8% (yoy) menjadi hanya 3,5 juta ton. Selain itu, penurunan permintaan terjadi di konsumen CPO utama seperti India dan Tiongkok. Pada 1Q20, Volume impor CPO India turun 37,9% (yoy) menjadi 1,5 juta ton, sedangkan volume impor Tiongkok menurun 31% (yoy) menjadi 1,2 juta ton. Penurunan permintaan juga terefleksi dari tren pelemahan harga CPO. Harga CPO di pasar Malaysia pada 6 April 2020 sebesar USS 462 per ton (MYR 2.000 pm- ton) atau terkoreksi 37,9% (ytd). Kondisi yang tidak pasti di tengah pandemi ini juga menyebabkan rendahnya outlook harga CPO untuk tahun 2020. Konsensus Bloomberg pada April memperkirakan rata-rata harga CPO selama 2020 sebesar USS 533 per ton (MYR 2.300 per ton), lebih rendah dari konsensus Februari sebesar US$ 647 per ton (MYR 2.788per ton). Hal ini sejalan dengan perkiraan tim riset Bank Mandiri yang telah memproyeksikan rata-rata harga CPO tahun 2020 sebesar USS 521 per ton sejak Februari 2020 dengan asumsi pandemi berlangsung selama enam bidan.
Pembatasan aktivitas masyarakat dan bisnis menyebabkan penurunan drastis pada sektor transportasi. Akibatnya, permintaan bahan bakar minyak seperti solar menurun. Penurunan permintaan minyak ini terlihat dari harga minyakglobal yang telah terkoreksi 51,9% (ytd) menjadi lianya US$ 31,7per barel. Harga minyak bahkan sempat menyentuh USS 19,3 per barel pada 21 Apiil 2020 yang merupakan level terendah sejak 2003. Penurunan permintaan solar tentu akan disertai dengan penurunan permintaan bio- diesel. Contohnya Malaysia yang menangguhkan implementasi pivgram biodiesel 20% (B20) hingga waktu yang belum ditentukan. Implementasi B20 sehanisnya bergulir secara bertahap pada tahun ini. Lebih dalam lagi, harga minyak yang terlalu rendah menyebabkan produksi biodiesel tidak ekonomis. Untuk membuat biodiesel ekonomis, harga CPO harus lebih rendah dari harga solar (gasoil) USS 100-USS 150 pel\’ ton. Namun kondisi saat ini terbalik, dimana harga solar lebih rendah dari harga CPO sebesar USS 237 per lon. Oleh karena itu, perlu insentif untuk dapat mencampur dan menjual biodiesel, khususnya di Indonesia. Rata-rata insentif biodiesel di Indonesia pada Januari-April 2020 sebesar Rp 2.951 per liter. Rendahnya harga minyak pada April menyebabkan insentif biodiesel untuk Mei naik signifikan menjadi Rp 5.411 per liter, sehingga dana insentif yang dibutuhkan semakin besar. Hal ini dapat menjadi kendala dalam pencapaian target penyaluran biodiesel di Indonesia yang ditetapkan 9,6 juta kilo liter pada 2020. Sebagai catatan, dana insentif biodiesel berasal dari dana pungutan ekspor Kelapa Sawit yana dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
United States Department of Agriculture (USDA) memper- kirakan dana kelolaan BPDPKS pada akhir tahun 2019 sebesar Rp 18 triliun. Penerimaan BPDPKS tidak akan optimal tahun ini karena penurunan volume ekspor CPO pada awal tahun dan rendahnya harga CPO, sehingga dana eksportak lagi dipungut untuk periode Mei. Jika kondisi terus berlanjut, kami memperkirakan sisa dana yang ada hanya akan dapat memberikan insentif bagi 7,1 juta kilo liter biodiesel pada 2020, atau lebih rendah 2,5 juta kilo liter dari target semula. Keberlangsungan program biodiesel sangat penting bagi perkebunan Kelapa Sawit karena biodiesel mampii menyerap sekitar 20% ptvduksi CPO global. Penurunan permintaan biodiesel karena kebutuhan yang berkurang dan harga minyak bumi yang rendah tentu akan memukul sektor perkebunan sawit dan industri CPO. Di saat seperti ini, mau tak mau pelaku usaha menerapkan strategi bertahan dengan melakukan efisiensi agar bisa melewati masa ivabah vii-us Covid-19. Tentunya juga berdo\’a agar wabah ini dapat berlalu sehingga aktivitas ekonomi normal kembali.